Menuju konten utama

Menyaksikan Marjinalisasi Imigran Perancis & Arab di Pinggir Paris

Sekelumit Kisah dari Seine-Saint-Denis, daerah termiskin di Perancis.

Menyaksikan Marjinalisasi Imigran Perancis & Arab di Pinggir Paris
Menara Eiffel. FOTO/iStocphoto

tirto.id - Potret kehidupan Kota Paris hampir selalu digambarkan menyenangkan dan indah. Setidaknya, stereotipe klise seperti romantis, berkelas, mewah, hampir selalu terucap ketika mendengar “Paris”. Bertopi baret merah menjelajah labirin kota di antara bangunan era Baron von Haussmann serba krem, menenteng tas belanja sembari menyusuri deretan etalase toko mewah sepanjang jalan Champs-Élysées, atau duduk bersantai di atas kain piknik kotak-kotak bergeletak baguette dan keju sambil menegak anggur di taman Champs-de-Mars Menara Eiffel--persis seperti apa yang ada di benak saya dulu sebelum berangkat ke Perancis.

Hingga pada suatu hari di Bulan Oktober 2018, saya berhasil menginjakkan kaki di Perancis. Diiringi denyit suara rangkaian gerbong kereta RER B yang melaju dari Bandara Charles-de-Gaulle menuju Paris, sesekali saya memandang keluar jendela melihat daratan benua biru untuk pertama kalinya, didampingi oleh seorang mahasiswa asal Indonesia di Paris. Masih diterpa jet lag, saya berusaha tetap fokus berkoordinasi dengannya untuk mempersiapkan registrasi perkuliahan sekaligus asrama di Université Paris 13, Villetaneuse, Seine-Saint-Denis.

“Dulu pernah ada mahasiswa yang baru datang juga dan tinggal di Saint-Denis,” ucap teman saya memulai topik baru. “Waktu baru datang naik tram, tiba-tiba di jalanan ada tembak-tembakkan antargeng. Dia langsung nangis, syok, dan minta balik ke Indonesia!” pangkasnya sambil tertawa lepas.

Saya pun langsung terbelalak dan turut syok. Sejak saat itu, mulai timbul rasa penasaran tentang bagaimana seluk-beluk kondisi dan situasi wilayah tempat tinggal saya.

Diskursus banlieue (suburban) atau daerah pinggiran Paris bukanlah hal yang asing di telinga saya. Sebagai gambaran singkat, Seine-Saint-Denis merupakan salah satu département atau wilayah setingkat kabupaten/kota di région atau provinsi île-de-France. Provinsi ini terbagi atas dua wilayah, outer ring (grande couronne) dan inner ring (petite couronne) yang mengelilingi Paris sebagai pusat département di tengahnya.

Terletak di wilayah utara petite couronne, Seine-Saint-Denis dihuni oleh lebih dari 1,5 juta penduduk--lebih dari setengahnya adalah imigran. Dari segi ekonomi, wilayah Seine-Saint-Denis menyandang predikat wilayah paling miskin se-Perancis dengan hampir tiga dari sepuluh penduduknya hidup dalam kemiskinan (INSEE, 2017). Rerata angka kriminalitas di wilayah ini juga tergolong tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Meski pernah disinggung semasa perkuliahan S1, kesan pertama tentang daerah Seine-Saint-Denis memang jauh dari bayangan saya.

Gegar Budaya Majemuk

Layaknya pendatang pada umumnya, perasaan gegar budaya atau culture shock tak terhindarkan. Letak geografis Seine-Saint-Denis yang bersinggungan dengan wilayah non-imigran mengharuskan saya beradaptasi dengan budaya warga Perancis kulit putih dan warga Seine-Saint-Denis yang lebih beragam.

Di pusat Kota Paris, kita mendapati kesan interaksi sosial yang dingin, cuek, cenderung agresif, dengan balutan produk budaya fesyen, kuliner, dan seni khas kiblat “ke-Eropa-an”.

Sekembalinya ke Seine-Saint-Denis, pemandangan itu berubah hampir 180 derajat. Keluar dari tram di stasiun Saint-Denis, seketika saya dikerubungi orang menggendong tas ransel yang menjajakan rokok dan kartu SIM telepon. “Cigarette! Cigarette! Cinq euros! Cinq euros!” (Rokok! Rokok! Lima euro! Lima euro!).

Sejauh saya memandang, terhampar hiruk-pikuk lautan manusia yang terlihat berasal dari wilayah Subsahara Afrika dan Maghreb alias Afrika Utara. Tampak para laki-laki berjenggot lebat mengenakan jubah dan peci, atau sekedar memakai baju koko. Mereka juga kerap berseliweran di jalanan di hari Jumat pada jam salat jumat. Para perempuan dengan jilbab dan cadar juga menjadi pemandangan yang akrab.

Di sudut lain terlihat muda-mudi asal Afrika Subsahara tengah bercengkerama sambil menenteng pengeras suara portable. Mereka memutar lagu-lagu hiphop Perancis kencang-kencang. Para remaja perempuan berdandan mencolok, dengan bibir berhias lipstik berwarna marun legam atau ungu gelap dipadukan dengan bulu mata lentik, sambil sesekali mengibaskan rambut panjang yang dikepang kecil-kecil. Ibu-ibu berbusana kain batik Afrika bercorak terang berlalu-lalang dengan kain surban di kepala. beberapa mengenakan wig panjang hitam mengkilat bertekstur lurus.

Pada waktu bersamaan saya mendengar berbagai bahasa dituturkan, mulai dari Perancis, bahasa Perancis beraksen Afrika Subsahara, aksen Arab, bahasa Arab, bahasa Berber (Aljazair), bahasa Kreol (campuran), dan berbagai dialek yang tak saya kenal.

Mendekat ke arah teras stasiun, samar-samar mengepul asap dan tercium aroma panggang menyengat. Usut punya usut, asap dan aroma tersebut datang dari belasan troli besi belanja sebagai media pemanggangnya. Mereka ternyata adalah para penjual sate sapi lengkap dengan kipas lusuhnya. Troli tersebut diisi tempat kayu bakar beserta perkakas lain dan di bagian atasnya diberi tambahan kawat-kawat untuk membakar sate yang dijual 1 euro per tusuknya. Beberapa orang menjajakan kacang kenari (walnut) bakar atau jagung bakar dengan metode yang sama. Di sudut lain, seorang pedagang duduk termangu menunggu pembeli di samping karung goni berisi kacang dan jagung rebus. Suasana teras stasiun ini memang sekilas menyerupai kebanyakan alun-alun di Indonesia.

“Le 93” dan Stigmatisasi

Pada suatu waktu, saya berkenalan dengan seorang Perancis asli dan ia menanyakan tempat tinggal saya. Setelah saya menjawab Seine-Saint-Denis, ia sontak merespons, “Ah! Le 93!” Ia pun menjelaskan secara singkat bahwa di Perancis dua angka pertama dari total lima angka kode pos menunjukkan kode département. Dalam hal ini, 93 merupakan dua angka pertama kode pos département Seine-Saint-Denis (93000) sekaligus suatu istilah khusus yang hampir selalu dipakai oleh para francilien (penduduk île-de-France), khususnya warga Seine-Saint-Denis.

Meski demikian, Truong (2012) dalam penelitiannya mengenai representasi kawasan Seine-Saint-Denis di wilayah Paris dan sekitarnya memaparkan bahwa istilah le 93 menjadi stigma negatif yang terawat di kepala orang-orang yang bukan warga Seine-Saint-Denis. Bagi mereka, istilah le 93 lekat dengan kekerasan, kericuhan, dan “sarang” teroris. Sebaliknya, istilah ini justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga Seine-Saint-Denis. Para responden menilai bahwa le 93 mencerminkan simbol dan identitas khas mereka, jauh lebih baik ketimbang istilah “ghettoisasi” atau pengasingan. Dengan berstatus “warga 93”, mereka tetap merasa terintegrasi secara nasional dengan Perancis, meski sekaligus mengalami segregasi dan marjinalisasi.

Anggapan buruk ini terus merembet ke berbagai hal. Misalnya, terkait jalur transportasi umum yang mengarah ke Seine-Saint-Denis. Seringkali kawan-kawan menyeletuk, “Jangan naik Metro 13 sama kereta RER D, dong! Kotor, bau!”. Sering juga muncul pertanyaan sarkastik, “Mau pulang ke Afrika, ya, kamu?” Masih dilanda rasa penasaran, saya mencoba menjelajahi media sosial dan mencari tahu tanggapan warganet Perancis. Hasilnya, penuh dengan sentimen negatif. "Seperti neraka! Metro terburuk di dunia! Parah!" ujar mereka. Dalam infografis non-resmi tentang pemeringkatan kenyamanan jalur metro dan kereta RER (antarkota) di île-de-France, Metro 13 dan RER D menempati peringkat terbawah.

Suatu hari, saya melakukan eksperimen kecil-kecilan. Saya menjajal metro dan kereta RER lain dengan rangkaian kereta atau trainset yang sama persis seperti Metro 13 dan RER D, yaitu Metro 8 dan RER C. Segala sisi saya amati dan perhatikan secara seksama: lantai, dinding, atap, kursi, kaca, aroma, bahkan kelembaban udara. Setelah dibandingkan, hasilnya ternyata identik. Lantainya sama-sama kusam, cahaya lampunya redup, tidak ber-AC, warna kursi yang lusuh dan memudar, serta sama-sama padat di kala jam sibuk. Pertanyaannya, jika tidak ada hal yang salah dengan rangkaian keretanya, apakah lantas para penumpang keretanya yang dianggap sumber rasa tidak nyaman?

Racial profiling juga menjadi problem. Pemandangan seseorang atau lebih dikelilingi sekelompok polisi untuk dimintai keterangan sudah sangat lazim terlihat. Polisi yang mengenakan rompi antipeluru, sepatu boots, dan senjata api yang menempel di pinggang, tak jarang menggeledah isi tas. Orang yang diinterogasi juga tak jarang disuruh untuk setengah telanjang. Respons para tersangka pun bervariasi, ada yang berusaha menjelaskan terbata-bata, ada yang bermuka pucat ketakutan menyerahkan diri. Tak sedikit pula yang frustrasi berteriak kesal seraya menyeka air mata.

Berdasarkan laporan penelitian Open Society Initiative dari Lembaga Riset Nasional Perancis (CNRS) tahun 2009, angka kejadian racial profiling terhadap warga Arab dan orang berkulit gelap berturut-turut berkisar antara 1,8 sampai 14,8 kali dan antara 3,3 hingga 11,5 kali lebih banyak dibandingkan terhadap kelompok kulit putih, bergantung pada lokasi observasi. Sebuah kolektif bernama Stop le contrôle au faciès (Stop Racial Profiling) didirikan pada 2011 untuk mengadvokasi kasus-kasus rasisme oleh aparat.

Walaupun begitu, harus diakui bahwa racial profiling di Perancis lebih lunak dibandingkan di Amerika Serikat. Le Moigne, dkk. dalam penelitiannya berjudul Neither Race Nor The 93 Are What You Think They Are (2016) menyimpulkan bahwa proses interogasi moderat ini salah satunya muncul karena gaya komunikasi para imigran Afrika dan Timur Tengah yang penuh humor, sehingga interaksi dengan aparat tidak sekeras seperti di Amerika Serikat.

Infografik Sisi Lain Saint Denis

Infografik Sisi Lain Saint Denis. tirto.id/Quita

Terhimpit Segregasi

Penganaktirian wilayah Seine-Saint-Denis masih berlangsung. Iklim politik di wilayah ini didominasi oleh kelompok-kelompok sayap kiri seperti Parti Communiste Français (PCF) dan Parti Socialiste. Poster-poster partai sayap kiri berlambang palu arit yang memuat kritik kebijakan ekonomi, kesehatan, imigran menghiasi dinding-dinding jalan, halte tram, dan bus.

Sebagai mahasiswa di salah satu dari dua universitas negeri di Seine-Saint-Denis, yaitu Université Paris 13 dan Université Paris 8, saya kerap menjumpai kader-kader partai sayap kiri di pintu keluar kampus. Mereka berdiri menyapa para mahasiswa sambil membopong tumpukan brosur. Kami yang tertarik bisa ikut menyimak sosialisasi visi-misi dan program partai, bahkan mendaftar sebagai anggota.

Keikutsertaan politik warga minoritas keturunan imigran ini tidak dibarengi oleh banyaknya kesempatan menyuarakan aspirasi untuk pembangunan daerah maupun nasional. Laporan penelitian French Institute for Demographic Studies (INED) dan INSEE tahun 2008-2009 mencatat dari 57% warga minoritas di Seine-Saint-Denis, keterwakilan kelompok minoritas di dewan daerah hanya mencapai 21% dari total kursi dan meningkat sedikit di angka 31,5% pada 2014. Persentase semakin mengecil di tingkat kota yang hanya 20% berbanding dengan warga Perancis kulit putih, bahkan di daerah dengan mayoritas warga berkulit Gelap dan Arab sekalipun.

Salah satu buntut dari ketidaksetaraan partisipasi ini adalah ketimpangan sosial di Seine-Saint-Denis. Hampir semua warga minoritas yang pernah saya temui bekerja tanpa keterampilan khusus, seperti montir, kuli bangunan, kasir, kurir, penjaga gudang pabrik, atau supir. Mereka juga tinggal satu atap dengan 8 hingga 9 orang sehingga rentan terhadap penularan penyakit, tak terkecuali COVID-19.

Seorang profesor asal Tunisia sempat menceritakan bagaimana peliknya memenuhi persyaratan sewa tempat tinggal di luar Seine-Saint-Denis, “Dua rumah berseberangan yang hanya terpisahkan jalan raya bisa mensyaratkan berkas yang jauh berbeda dengan tahap seleksi yang kontras pula, semata-mata lantaran satu rumah terletak di Hauts-de-Seine (92) dan lainnya masuk wilayah Seine-Saint-Denis (93),” kenangnya. Ketimpangan lainnya berkenaan dengan isu-isu kultural--khususnya keagamaan--yang menuntut kebijakan lebih akomodatif terhadap warga minoritas.

Meski begitu, intervensi pemerintah di satu sisi secara umum dipandang sudah berjalan baik kendati belum sempurna, seperti pengembangan infrastruktur, transportasi umum, dan pembangunan pusat perkantoran. Di sisi lain, efektivitasnya masih menjadi perdebatan. Muncul tudingan kebijakan ini mengarah kepada upaya gentrifikasi. Bangunan-bangunan yang direvitalisasi umumnya ditempati pendatang kelas atas. Masalah utama yang berakar pada paksaan asimilasi kultural alih-alih hidup berdampingan (Le Moigne, dkk., 2016) justru tak tersentuh.

Dua tahun berlalu, hari-hari terakhir di Seine-Saint-Denis dihabiskan dengan berjalan-jalan sore. Di sudut jalan tampak dua remaja di atas motor trail tengah asyik menggeber knalpot motor untuk bersiap balapan. Di sebuah taman sebelah kiri, sejumlah anak asal Arab, Afrika Subsahara, dan Asia Selatan lgembira bermain bersama. Sayup-sayup terdengar sorak-sorai penonton pertandingan sepak bola antarkomunitas frankofon. Pertandingan berlangsung sangat meriah dan dipadati penonton. Beberapa bahkan memanjat pagar. Terpampang pula warna-warni bendera negara-negara frankofon berjejer indah mengelilingi lapangan.

Sembari membenamkan pikiran, saya menyadari banyak hal. Ternyata, saya bisa hidup aman, tenang, tentram di tengah isu tingginya angka kriminalitas. Ternyata, mereka ramah dan baik hati, jauh dari kata seram. Ternyata, tak perlu risau menjawab pertanyaan mengapa mau tinggal di “93. Kenapa tidak?

Baca juga artikel terkait IMIGRASI atau tulisan lainnya dari Idham Raharfian

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Idham Raharfian
Editor: Windu Jusuf