tirto.id - Perancis sedang tegang. Unjuk rasa puluhan ribu orang tergabung dalam gerakan Gilets Jaunes (rompi kuning) yang menentang kenaikan harga BBM sejak Sabtu (17/11/2018) lalu, masih berlangsung hingga kini.
Tercatat sekitar 280.000 orang yang berunjuk rasa di 2.000 titik di seluruh Perancis. Semula aksi ini dilakukan dengan pemblokiran jalan, namun massa menjadi beringas lantaran aparat melempari mereka dengan gas air mata. Selain itu, beberapa pengendara juga memaksa menembus blokade yang dibuat.
Di Pont-de-Beauvoisin, wilayah timur Savoie, seorang pendemo berusia 60 tahun bernama Chantal Mazet, tewas tertabrak oleh mobil yang dikendarai ibu 50 tahun. Ibu tersebut panik karena terjebak di dalam kerumunan massa saat hendak membawa putrinya ke rumah sakit. Ia memacu mobilnya kencang-kencang hingga menabrak para demonstran.
Satu korban luka lain adalah seorang polisi di kota Grasse, satu di sebelah timur Strasbourg, dan dua korban di barat laut Quimper. Sejauh ini, selain satu pendemo tewas, 227 dikabarkan terluka, tujuh mengalami luka serius, 117 orang telah ditangkap, dan 73 lainnya dijebloskan ke tahanan.
Selain menentang kenaikan harga BBM, aksi massa tersebut menyalurkan kemarahan akibat kebijakan presiden Emmanuel Macron mengenai pajak lingkungan transportasi yang mencemari lingkungan. Di Champs-Elysees dan Place de la Concorde, Paris, sekitar 8.000 demonstran terus mengucapkan yel-yel “Macron turun!”. Mereka berjalan menuju Istana Elysee, kediaman resmi Macron, sambil menyanyikan lagu kebangsaan "La Marseillaise".
Bahan bakar yang umum digunakan di Perancis adalah solar. Berdasarkan informasi yang dihimpun BBC (17/11/2018), selama 12 bulan terakhir harga solar mengalami peningkatan sekitar 23% hingga menjadi rata-rata €1,51 per liter atau Rp24.000 (kurs: Rp16.450/euro). Harga ini menjadi yang tertinggi tertinggi sejak awal 2000-an.
Harga minyak dunia memang sempat naik sebelum akhirnya jatuh lagi. Namun, pemerintah Macron tetap menaikkan pajak hidrokarbon tahun ini sebesar 7,6 sen per liter pada solar dan 3,9 sen pada bensin. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari kampanye untuk mobil berbahan bakar bersih.
Macron sempat menanggapi unjuk rasa besar-besaran ini melalui cuitannya di Twitter. Ia menulis: “Sungguh memalukan bagi mereka yang menyerang atau mengintimidasi warga sipil, jurnalis, dan politikus. Tak ada tempat untuk kekerasan di Perancis.”
Laettia Dewalle, salah seorang demonstran Gilets Jaunes mengatakan kepada France 24: “Kami di sini bukan untuk memukuli polisi. Kami datang karena kami ingin pemerintah mendengar kami.” Hal yang tak jauh berbeda juga dikatakan demonstran lain bernama Christophe, 49 tahun, yang melakukan perjalanan bersama istrinya dari timur Perancis ke Paris untuk ikut aksi. “Kami menggelar aksi damai tapi kami (justru) dilempari gas air mata.”
Adapun Christophe Castaner, Menteri Dalam Negeri Perancis, sempat menuduh Marine Le Pen, pemimpin partai sayap kanan Perancis Front National, sebagai biang keladi terjadinya unjuk rasa tersebut. Sikap main tuduh itu dikritik oleh Jean-Luc Melenchon dari partai sayap kiri La France Insoumise. Menurut Melenchon, unjuk rasa ini merupakan manifestasi dari kekecewaan rakyat Perancis terhadap pemerintah dan tidak ditunggangi siapapun.
Hal serupa juga dikatakan Frank Buhler, salah seorang demonstran Gilets Jaunes lain yang cukup vokal. Ia mengatakan:
“Kami tidak ingin gerakan ini didomplengi siapapun dan kami juga tidak ingin pemimpin. Kita harus mulai dari awal lagi untuk mengetahui sudah sejauh mana kita selama ini. Revolusi Perancis dimulai dengan perang tepung, bagi kami itu pajak bahan bakar.”
Perancis: dari Revolusi ke Revolusi
Di balik magisnya Menara Eiffel, megahnya Arc de Triomphe, klasiknya Montmartre, atau indahnya Sungai Seine, Perancis adalah sebuah negeri dengan sejarah protes massal yang berdarah-darah.
Pada abad ke-16, tepatnya Mei 1562, terjadi serangkaian bentrokan berdarah antara anggota Gereja Reformasi Perancis (atau kaum Huguenot) dengan anggota Gereja Katolik Roma yang sama-sama menggugat pemerintah. Sekitar 3.000–5.000 warga kota Toulouse tewas sepanjang peristiwa yang dikenal dengan sebutan Kerusuhan Toulouse ini.
Di mata pemerintah saat itu, barang siapa yang protes adalah pembangkang. Banyak dari mereka yang lantas dihukum gantung di depan banyak orang atau langsung dikubur dalam keadaan hidup. Hanya saja, kalangan Huguenot-lah yang kemudian banyak menjadi korban. Sejak Kerusuhan Toulouse, Perancis mulai melakukan reformasi besar-besar di sektor pemerintahan dan agama.
Sepanjang April-Mei 1775, terjadi gelombang kerusuhan di berbagai wilayah utara, timur, dan barat Perancis dikarenakan kenaikan harga gandum dan roti—dua jenis panganan pokok mereka kala itu. Kisruh yang kelak dikenal sebagai Perang Tepung ini diperparah cuaca buruk dan pemotongan pasokan biji-bijan dari toko-toko milik kerajaan.
Pemberontakan berskala besar baru mereda sejak harga gandum mulai dikontrol oleh Anne Robert Jacques Turgot, Menteri Angkatan Laut dalam Kerajaan Louis XVI yang juga seorang ekonom—ia termasuk ekonom generasi pertama yang menganjurkan liberalisasi ekonomi. Selain itu, Turgot juga menggelar operasi militer besar-besaran untuk menghadapi aksi massa. Namun demikian, pada Mei 1776, Turgot akhirnya dipecat karena dianggap gagal melaksanakan reformasi keuangan.
Perang Tepung kelak menjadi embrio dari serentetan revolusi dahsyat nan panjang yang tak hanya mengguncang Perancis, tapi juga pendulum sejarah peradaban Eropa modern: Révolution Française (5 Mei 1789-9 November 1799).
Revolusi Perancis adalah sebuah periode panjang pergolakan sosial-politik yang lahir dari akumulasi kebencian warga sipil terhadap keluarga kerajaan yang korup, despotik, juga serakah. Sejak revolusi ini berkobar, (kerajaan) Monarki Absolut yang selama ratusan tahun berkuasa, praktik-praktik feodal, dan status kebangsawanan hancur nyaris tanpa bekas oleh insureksi rakyat hanya dalam waktu tiga tahun.
Tak ada lagi seruan pongah “L’etat c’est moi!” (Negara adalah Saya) dari Louis XIV. Tak ada lagi pemborosan uang rakyat yang kerap dilakukan Marie Antoinette ketika krisis ekonomi tengah melanda Perancis. Penjara Bastille diserbu. Gubernur Marquis Bernard de Launay ditangkap, dipukuli, kepalanya dipenggal, lalu diletakkan di ujung tombak dan diarak keliling kota. Komune Paris pun berdiri, diikuti oleh Assemblee Nationale Constituante (Dewan Konstituante) yang menyusun "Declaration des Droits de l’homme et du Citoyen" (Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga).
Pada 21 Januari 1793, kepala Louis XVI dipenggal dengan gilotin di hadapan warga yang memadati Place de la Concorde, Paris. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 16 Oktober 1793, giliran Marie Antoinette dieksekusi dengan cara yang sama. Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik segera digantikan oleh prinsip baru: Liberté, égalité, fraternité (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan).
Sejak itu, spirit Revolusi Perancis beserta ide-idenya mengenai pemerintahan republik, demokrasi liberal, hingga sekularisme, menyebar nyaris ke seluruh dunia. Setelah lebih dari 200 tahun berlalu, ribuan karya tulis mengenainya telah dipublikasikan. Revolusi Perancis berakhir pada 1899 dengan naiknya Napoleon. Namun, karena restorasi monarki terjadi berulang kali, tercatat tiga revolusi pecah masing-masing pada 1830, 1848, dan 1871. Pada revolusi terakhir di penghujung abad ke-19 itu, buruh-buruh Paris merebut pemerintahan selama tiga bulan, sebelum akhirnya dibantai tentara pada Mei 1871.
Nyaris seabad kemudian, Paris kembali bergolak dalam peristiwa Mai '68”. Sepanjang Mei-Juni 1968, protes dan pemogokan umum oleh mahasiswa dan kelas pekerja hampir menggulingkan pemerintahan Charles de Gaulle. Mereka memang gagal merebut kekuasaan. Namun, revolusi tersebut berdampak besar pada liberalisasi kebudayaan Perancis.
Lalu ada pula Kerusuhan Perancis 2005 yang melibatkan bentrokan antara ratusan pemuda imigran dan aparat kepolisian pada 27 Oktober 2005 di pinggiran kota Paris. Kerusuhan itu dipicu oleh kematian dua remaja asal Afrika Utara. Dua belas tahun berselang, tepatnya pada Hari Buruh Internasional 2017, sekitar 55.000 kaum buruh turun ke jalan untuk memprotes kebijakan reformasi ekonomi Macron yang dianggap tidak berpihak kepada kelas pekerja.
Ketika gerakan Gilets Jaunes tengah menyeruak pada hari-hari belakangan ini, Perancis seperti tengah membuka kembali buku sejarah mereka yang penuh marah dan darah. Sebab, mengutip salah satu grafiti Mai '68: "Plus je fais la révolution, plus j'ai envie de faire l'amour".
"Semakin sering saya melakukan revolusi, semakin sering pula saya ingin bercinta."
Editor: Windu Jusuf