Menuju konten utama
K O N F R O N T A S I

Jokowi & Puan Maharani: Duet Maut PDIP dalam Pengesahan Omnibus Law

Pemerintah ngebet RUU Ciptaker segera disahkan, DPR menyambutnya. Duet maut yang mengabaikan kritik dari banyak pihak.

Jokowi & Puan Maharani: Duet Maut PDIP dalam Pengesahan Omnibus Law
Joko Widodo dan Puan Maharani. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras.

tirto.id - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), Senin pekan lalu (5/10/2020). Sesuai konstitusi, lembaga eksekutif dan legislatif ini memang harus bekerja sama agar UU Ciptaker bisa diketok di rapat paripurna. Dua kader PDIP menempati posisi puncak lembaga: Joko Widodo sebagai Presiden dan Puan Maharani sebagai Ketua DPR.

Puan Maharani sempat menjadi sorotan setelah kedapatan melakukan gesture mematikan mikrofon anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat, Irwan Fecho, yang sedang bicara. Selain dituding melakukan pembungkaman, Puan juga dianggap biang kerok terealisasinya UU Ciptaker. Dalam rapat paripurna, Puan mengabaikan kritik yang beredar dan mendukung penuh pengesahan UU tersebut.

"RUU ini telah dapat diselesaikan oleh pemerintah dan DPR melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Melalui UU Cipta Kerja, diharapkan dapat membangun ekosistem berusaha di Indonesia yang lebih baik dan dapat mempercepat terwujudnya kemajuan Indonesia," kata Puan di gedung DPR/MPR.

Waktu terpilih menjadi Ketua DPR, Puan sempat berjanji lembaganya tidak akan anti terhadap kritik. Dia berharap kritik yang muncul adalah kritik yang objektif. Putri dari Megawati Soekarnoputri ini menegaskan DPR akan tetap menjadi penyalur aspirasi rakyat.

"Kami tidak antikritik, tetapi diharapkan masyarakat tidak mudah terjebak pada penilaian yang bersifat apriori terhadap pelaksanaan tugas-tugas DPR," ucap Puan di ruang rapat paripurna DPR, tahun lalu. "Marilah kita jaga bersama kepercayaan yang telah diberikan rakyat tersebut melalui kerja keras, kerja cerdas, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan fungsi dan peran DPR yang dapat memenuhi aspirasi dan harapan rakyat.”

Pernyataan Puan tersebut seperti tidak terbukti hari-hari ini. Terkait UU Ciptaker, jangankan mendengar aspirasi sebelum pengesahan (NU dan Muhammadiyah, dua ormas terbesar, bahkan menolaknya), Puan malah mengimbau masyarakat untuk tidak berdemonstrasi—saluran kritik yang diatur konstitusi.

"DPR RI mengajak kelompok buruh yang memiliki aspirasi untuk berjuang tidak lewat aksi yang berpotensi menimbulkan kemacetan, berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat lainnya, dan berpotensi jadi klaster penyebaran COVID-19," ucap Puan, Selasa (25/8/2020).

Kendati masih banyak kritik yang disampaikan kelompok buruh mengenai UU Ciptaker, DPR dan pemerintah tetap mengebut pengesahan. Hanya berselang dua hari dari pembahasan terakhir, DPR langsung mengadakan rapat paripurna.

Hingga sekarang, publik masih menerka-nerka bagaimana naskah final UU Ciptaker yang disahkan DPR secara terburu-buru. Puan sebagai pimpinan DPR juga bungkam soal itu.

Diinginkan Presiden, Didukung Parlemen

Sejak awal, UU Ciptaker ini memang usulan pemerintah. Jokowi mengirimkan beberapa menterinya ke DPR pada Februari 2020 untuk menyerahkan draf RUU Ciptaker. Ia meminta DPR memprioritaskan pembahasan RUU tersebut. Target Jokowi adalah dalam 100 hari UU Ciptaker harus tuntas.

Keteguhan Jokowi ini diperkuat pidatonya pada Jumat (9/10/2020). Dia tidak menyinggung revisi atau bahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengakomodasi ketidakpuasan masyarakat.

"Jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui Mahkamah Konstitusi," kata Jokowi dalam konferensi pers dari Istana Bogor.

Publik boleh saja menyalahkan Puan karena DPR yang dipimpinnya mengesahkan UU Ciptaker, tapi sebenarnya Jokowi lah yang sejak awal ngebet untuk mewujudkan UU ini.

Selain merestui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bertemu petinggi partai politik untuk melobi soal pembahasan UU Ciptaker, Jokowi telah memapas oposisi di parlemen. Namun Airlangga sempat membantah dia diutus Jokowi.

Dalam pengambilan keputusan suatu RUU di pembicaraan tingkat II, pemerintah dan DPR harus satu suara. Penentuan dilakukan dengan musyawarah mufakat dan biasanya lobi-lobi politik. Jika lobi-lobi politik tidak mencapai konsensus, barulah keputusan diambil berdasar pemungutan suara.

Jika UU Ciptaker ingin disetujui, maka dari 9 fraksi di DPR, setidaknya pemerintah harus mengantongi 5 di antaranya. Pada rapat paripurna kemarin, hanya ada dua fraksi yang menolak, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejatahtera (PKS). Keinginan Jokowi atau pemerintah mengesahkan UU Ciptaker tentu tak terbendung lagi.

Di periode kedua, Jokowi memang sengaja menghilangkan terminologi oposisi untuk menjalankan pemerintahannya. Dia lebih memilih menjabarkan demokrasi Indonesia sebagai “gotong-royong.” Mudahnya, Jokowi mengakomodasi oposisi agar bisa satu jalur dengan pemerintah.

Setelah menang di Pilpres 2019, Jokowi menarik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju.

Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute memandang langkah Jokowi merangkul Prabowo adalah pengkhianatan kepada demokrasi. Dengan diambilnya Prabowo, otomatis Partai Gerindra akan mendukung pemerintahan Jokowi; lantas siapa yang bisa menjadi oposisi dan “seharusnya ada dalam sistem demokrasi?”

“Ketika dia memilih Prabowo [sebagai Menteri Pertahanan] artinya sudah selesai,” kata salah satu pejabat kepada Bland seperti tertera dalam Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020). “Dia melakukan itu untuk melumpuhkan oposisi.”

Dengan masuknya Partai Gerindra, Jokowi menguasai 427 kursi di parlemen atau setara dengan 78 persen anggota DPR. Hanya ada tiga partai yang berada di luar koalisi: PAN, Demokrat, dan PKS. Setelah Pilpres 2019, PAN juga menunjukkan tanda-tanda bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Tidak heran, persetujuan UU Ciptaker terjadi tanpa banyak perdebatan di tingkatan elite politik.

Infografik RUU Cipta Kerja Omnibus Law

Infografik Apa itu RUU Cipta Kerja Omnibus Law. tirto.id/Fuadi

11 Hari Merampungkan UU Ciptaker

Akibat masifnya protes buruh terkait klaster ketanagakerjaan dalam RUU Ciptaker, Jokowi memutuskan untuk menunda pembahasannya pada April 2020. Berbulan-bulan, DPR dan pemerintah merampungkan klaster lain seperti lingkungan hidup dan pertanahan.

Baru di tanggal 25 September 2020, pemerintah dan DPR secara resmi membahas klaster ketanagakerjaan. Sebelumnya, klaster itu dibahas dalam tim teknis saja. Hanya dalam 15 hari, terhitung sampai 5 Oktober 2020, klaster ketanagakerjaan tuntas. Tak ada banyak perdebatan kendati buruh masih tidak sepakat tentang apa-apa saja yang tertera dalam UU Ciptaker.

Padahal proses pengesahan itu sangat bermasalah. Setidaknya sampai Kamis (8/10/2020), anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa selaku bagian Badan Legislasi DPR masih juga belum mengetahui dokumen final yang disepakati DPR dan pemerintah saat paripurna. Selain itu pembahasan secara lengkap tidak tertera di situs resmi DPR.

Nihilnya naskah final UU Ciptaker juga diakui anggota Komisi XI DPR dari Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin. Sepanjang dia menjabat sebagai anggota DPR tiga periode, ini baru kali pertama tidak ada naskah final dalam rapat paripurna.

"Bahan-bahan untuk rapat tingkat komisi dan badan saja kami bisa mendapatkannya beberapa hari sebelumnya. Kenapa justru RUU Omnibus Law Ciptaker yang berdampak luas pada kehidupan kaum buruh, UMKM, lingkungan hidup, dan lain-lain tidak tampak naskah RUU-nya sama sekali?" katanya melalui keterangan tertulis.

Dengan banyaknya ketidakjelasan itu, pemerintah dan DPR tetap mengesahkan UU Ciptaker begitu saja. Duet pemerintah dan DPR yang mengesampingkan transparansi ini bisa jadi menantang garis batas kolusi dalam tata sistem perundang-undangan.

"DPR-nya juga enggak menolak. Jadi memang DPR ini nurut banget sama Presiden untuk RUU ini, padahal mereka yang punya kewenangan," kata Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi saat dihubungi Tirto, Rabu (7/10/2020). "Tak hanya otak-atik, kemungkinan mentransaksikan pasal-pasal juga sangat terbuka.”

==========

KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan