tirto.id - Jaksa Agung RI ST. Burhanuddin kembali mengeluhkan beberapa hambatan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Salah satu hambatan itu yakni belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc.
"Untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu sampai saat ini belum ada Pengadilan HAM ad hoc. Sedangkan mekanisme dibentuknya [Pengadulan HAM ad hoc] atas usul DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden," kata Burhanuddin saat paparan rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (16/1/2020).
Selain belum adanya Pengadilan HAM ad hoc, hambatan lainnya yakni sulitnya mengumpulkan alat bukti.
Burhan juga menjelaskan sebab terjadi bolak-balik dalam penanganan HAM berat lalu. Salah satunya karena tidak lengkapnya berkas yang disusun oleh penyelidik Komnas HAM. Ia menilai penyebab tidak lengkapnya berkas tersebut dikarenakan oleh beberapa hal.
"Penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan tidak cukup bukti, [dan] hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," katanya.
Tak cuma kali ini Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluhkan hambatan-hambatan lembaganya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Burhanuddin pernah menyampaikan keluhan serupa juga di depan Komisi III DPR RI pada Kamis (7/11/2019).
Saat itu merupakan rapat perdana Burhanuddin dengan Komisi III DPR RI setelah ia resmi dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Jaksa Agung.
Dalam rapat tersebut, selain mengungkapkan apa saja hambatan yang didapati lembaganya, ia juga memaparkan mana saja kasus-kasus yang sudah selesai dan belum terselesaikan sampai saat ini.
Burhanuddin menuturkan ada 15 kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Dari 15 kasus itu, ia mengkalim tiga di antaranya sudah selesai yakni kasus Timor Timur 1999, kasus Tanjung Priuk 1984 dan peristiwa Abepura pada tahun 2000.
Sementara 12 perkara yang belum diselesaikan yaitu tragedi 1965, peristiwa penembakan misterius (Petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II, penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa simpang KKA, peristiwa rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun Santet, ninja dan orang gila Banyuwangi 1998.
Suciwati, istri almarhum aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, menilai argumen-argumen yang disampaikan Burhanuddin terkait sulitnya pengusutan kasus-kasus HAM berat hanyalah pernyataan lama yang kerap disampaika banyak jaksa agung sebelum Burhanuddin.
"Saya pikir ini kan alasan yang selalu dicari-cari dari dulu. Saya rasa ini kan alasan yang selalu diulang-ulang," ujar Suciwati kepada reporter Tirto saat ditemui di sela Aksi Kamisan, depan Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Kamis (7/11/2019).
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto