Menuju konten utama
Misbar

TMNT: Mutant Mayhem, Kura-Kura Ninja yang Terus Mencoba Relevan

TMNT hadir dalam “kemasan” baru dengan beberapa perubahan dari sisi penulisan karakter. Sebuah usah untuk menjadi tetap relevan dengan penonton kiwari.

TMNT: Mutant Mayhem, Kura-Kura Ninja yang Terus Mencoba Relevan
Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem. FOTO/imdb

tirto.id - Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem merupakan film layar lebar ketujuh dalam katalog TMNT. Spesialnya, judul ini merupakan reboot untuk para Turtles.

Ia masih mengangkat karakter-karakter rekaan Peter Laird dan Kevin Eastman yang tinggal di gorong-gorong New York City. Namun tentu saja, karakterisasi, plot, dan backstory para kura-kura ninja itu mengalami penulisan ulang. Ia sekaligus menjadi langkah awal Nickelodeon mengkreasikan TMNT gaya baru dan, jika sesuai rencana, bakal diikuti sekuel film dan serial TV.

Sifatnya sebagai “karya baru” jelas memudahkan bagi para penonton kasual yang jarang-jarang mengikuti franchise ini atau bahkan sama sekali belum pernah terpapar sebelumnya.

Seth Rogen (bersama Evan Goldberg, Dan Hernandez, dan Benji Samit) digamit untuk menulis naskahnya. Nama pertama jelas punya pengalaman mendalam soal film-film remaja, pada masanya. Sementara itu, Jeff Rowe ditunjuk sebagai sutradara untuk judul kali ini.

Kura-Kura Ninja Kekinian

Keterlibatan Rowe langsung terasa. Kesan pertama paling mencolok dari Mutant Mayhem jelas visualnya. Ia berada pada koridor yang sama dengan seri Spider-Verse, tak jauh-jauh berbeda dengan film Rowe sebelumnya, The Mitchells vs. the Machines.

Para Turtles dan karakter-karakter lain dalam semesta TMNT dihadirkan dengan art style unik. Mereka dianimasikan dengan garis-garis kasar macam corat-coret atau doodle di buku tulis sekolahmu dulu. Desainnya lebih menyerupai concept art yang diterjemahkan dengan totok tanpa perlu polesan demi standar industri, ditambah olesan cat yang meliar.

Kontras terang-gelap yang diterapkan sangat menguatkan aksi para Turles di kala malam, memberikan kesan penyorotan yang kuat. Frame rate rendah untuk animasinya nyaris membuatnya terlihat macam claymation. Lalu, efek-efek 2D disebar menghiasi dunia yang 3D.

Desain karakternya tak malu-malu. Tak sekadar dari warna topengnya, kau juga bisa membedakan masing-masing Turtle dari desainnya. Meski demikian, elemen-elemen pembedanya sering agak subtil, semisal perbedaan skin tone, ukuran cangkang. Dengan cepatnya gambar bergerak, elemen-elemen itu sebetulnya jadi tak cukup jelas.

Bila sebelumnya suara para Turtle lazim diisi aktor-aktor dewasa, mereka kini benar-benar diperankan para aktor remaja. Micah Abbey sebagai Donatello (dengan karakter vokal yang paling mudah dibedakan), Shamon Brown Jr. sebagai Michelangelo, Nicolas Cantu sebagai Leonardo, dan Brady Noon sebagai Raphael.

Aspek penulisan ulang dengan perubahan yang paling mendasar ialah bahwa keempat kura-kura mutan remaja itu punya sentimen negatif terhadap manusia. Namun, hal itu setidaknya bukan pandangan absolut lantaran ia didapat dari kebencian “ayah” mereka, tikus got mutan Splinter (Jackie Chan), atas pengalaman hidupnya sebagai makhluk yang memang bukan favorit manusia.

Di awal, skuad Turtles bisa dibilang belum “jadi”. Aksi mereka masih jauh dari sempurna. Namun, karakter mereka masing-masing yang menonjol segera ditampilkan; Leo yang punya aspirasi jadi pemimpin grup, Raph yang pemberontak dan temperamen (kadang jadi penantang untuk Leo), Mikey yang riang, dan Donnie sebagai sosok nerd di grup.

Seiring bergulirnya cerita, perkembangan karakter mereka rupanya tak betul-betul dieksplorasi lebih lanjut. Meski begitu, Leo agaknya jadi satu-satunya yang terlihat digarap secara penuh, sebagai sosok yang kelak pertama kali menyadari kekeliruan motif mereka mengejar status pahlawan.

Dari aspek dialog, para Turtles bercakap layaknya anak muda hari ini. Referensi kultur pop dilemparkan di sana-sini, mulai dari referensi untuk BTS, Attack on Titan, Avengers, dan banyak, banyak lagi. Masing-masing seolah jadi stan untuk seleb idola yang berbeda-beda.

Terlihatlah upaya untuk menjadikan para Turtles sebagai cermin eranya, juga bahwa TMNT sebagai produk adaptif sesuai zaman.

Lantas, apakah dengan begitu TMNT jadi lebih mudah terkoneksi dengan fan muda? Juga, seberapa akurat mereka untuk fan lama?

Pada aspek paling mendasar, saya bisa membayangkan penonton remaja bakal menemukan kesamaan gaya bercakap dengan para Turtles hari ini. Di lain sisi, saya juga bisa membayangkan bahwa sebagian fan lama (yang berarti kini sudah tak remaja) bakal mendapati karakter-karakter yang mereka cintai telah berubah, bukan lagi jadi cerminan mereka.

Dalam pandangan yang positif, karakterisasi dan aspirasi yang diusung para Turtles kini terasa lebih pas untuk predikatnya sebagai “teenage”--jika dibandingkan dengan penggambaran mereka di rilisan-rilisan terdahulu yang lebih mendekati sosok dewasa-muda.

Mutant Mayhem pastinya mengangkat tema coming-of-age dibalut formula penulisan kisah superhero seperti yang sudah-sudah. Plot utama ini lantas bercabang pada tema keluarga, terutama fatherhood yang jelas terpampang pada karakter seperti Splinter maupun Baxter Stockman (Giancarlo Esposito).

Dan di atas semuanya, Mutant Mayhem adalah soal penerimaan terhadap mereka yang berbeda, yang didiskriminasi. Di dunia macam ini, para kura-kura remaja hanya mendapati satu cara agar diterima: menjadi pahlawan.

Motif penerimaan juga bisa ditemukan pada April O'Neil (Ayo Edebiri), karakter klasik seri ini yang dirangkai dengan rapi ke penceritaan dengan backstory sebagai korban perundungan daring. Pada taraf berbeda, motif serupa pun hadir pada antagonis cerita si mutan lalat bernama Superfly yang juga sekaligus karakter baru di TMNT.

Superfly memimpin skuad beranggotakan sederet hewan mutan lain yang merupakan karakter-karakter klasik TMNT, mulai dari Rocksteady sampai Genghis Frog. Mereka disuarakan oleh para bintang, mulai Ice Cube, John Cena, sampai Post Malone. Ada pula Paul Rudd hingga Natasia Demetriou (yang meski sedikit porsinya, cukup mengingatkan kelucuan yang sama dengan karakter dia di serial Stath Lets Flats).

Penonton dengan mudah bisa menerka bahwa di antara para Turtles dan Superfly bakal terjadi benturan ideologi dan moral.

Tak ada yang betul-betul spesial dalam naratifnya. Dari yang mestinya tampak seperti konflik berlapis seperti Professor X dan Magneto, benturan itu bisa saja disederhanakan sebagai perbedaan perspektif semata. Sebabnya, tak adanya pendalaman kuat untuk motif para Turtles sendiri—hanya ada sedikit soal mereka yang mendambakan kehidupan layaknya remaja normal, tak benci-benci amat manusia, atau singkatnya: mereka sosok-sosok baik karena mereka memang “baik aja”.

Optimisme pada kemanusiaan dalam saga ini juga sama tak digali. Para manusia pada akhirnya memang mau membantu Splinter dan Turtles yang sebelumnya mereka benci. Namun, sama sekali tak ada alasan lebih untuk itu, selain karena terpicu orasi April O'Neill di televisi. Bagian itu pun digambarkan tergesa dan kelewat drastis.

Di tengah beberapa kelemahan itu, untungnya ada bagian action yang digarap jauh lebih matang dan karenanya jadi salah satu aspek terkuat film ini. Koreografi Splinter, misalnya, dibikin mirip-mirip dengan gaya tarung Jackie Chan yang menyuarakannya. Adegan kelahi juga ditopang transisi yang mulus.

Di antara itu semua, esensi kerja tim juga berhasil diselipkan. Karakter yang melimpah dan kemampuan uniknya masing-masing cukup diberdayakan dalam momen-momen puncaknya.

Cynthia Utrom, karakter baru lainnya yang juga berlaku jadi semacam villain bayangan, sejauh ini tak begitu berkesan. Karakternya ditulis dengan mengusung trope ilmuwan gila yang generik. Pendalaman karakternya barangkali disimpan untuk sekuelnya kelak—semoga. Mungkin juga, dia nantinya bakal digunakan untuk mengerek karakter klasik franchise ini sekaligus nemesisnya para Turtles: Shredder.

 Infografik Misbar Teenage Mutant Ninja Turtles

Infografik Misbar Teenage Mutant Ninja Turtles Mutant Mayhem. tirto.id/Tino

Mengawali Era Baru dengan Tampil Keren

Satu elemen paling mengejutkan dari Mutant Mayhem ialah score yang mengiringinya. Pada satu momen di permulaan film, bebunyian industrial merangsek masuk. Masih ada pula nada dan bebunyian mengejutkan yang turut mengelevasi adegan di sepanjang film.

Yang bertanggung jawab untuk urusan ini tak lain ialah duo Trent Reznor dan Atticus Ross. Selain dikenal sebagai rockstar biasa, mereka juga masyhur sebagai penggawa score dan soundtrack film andal. Inilah kesempatan pertama TMNT berkolaborasi dengan duo tersebut.

Estetika malam-malam urban nan muram di New York, downtown yang reot, gorong-gorong para Turtles, limbah pabrik, bangkai kapal sarang Superfly, tidak bisa ditemani bebunyian yang lebih tepat, yang lebih keren lagi.

Score meresap dengan caranya sendiri, lantas melekat sempurna pada action scene, pengejaran, maupun kelahi. Tak melulu mengusung nuansa industrial yang berderap suram, tapi juga ada upaya untuk main-main dengan menyertakan musik dari video viral (pada masanya), seperti "The Karate Rap" atau "Push It to the Limit" dari film Scarface.

Pilihan musik untuk TMNT memang harus spesial. Selain cukup luasnya range hip-hop berkat nomor-nomor dari Vanilla Ice hingga A Tribe Called Quest, hadir pula tembang lawas seperti "Mr-Lonely"-nya Bobby Vinton dan balada evergreen "What's Up"-nya 4 Non Blondes.

TMNT juga tentunya mesti dipenuhi humor. Seringkali lucu, kadang cukup jorok (atau sekadar jokes-nya Rogen). Selebihnya terkesan diulang-ulang, semisal gagmilking” yang justru terasa kelewat di-milking sendiri.

Penulisan (dan desain) karakter April O'Neil mengesankan sensitifnya para penggawa film pada situasi-situasi terkini. Dieksekusi dengan pantas, meski nyatanya di dalamnya mesti diselipkan komedi lagi (ketika April lagi-lagi muntah di depan kamera). Pada satu sisi terkesan memaksakan banyak komedi lantaran itu momen penting bagi karakternya, tapi di sisi lain bisa jadi penanda baik untuk tak kelewat menganggap serius diri maupun karya sendiri.

Secara umum, Mutant Mayhem tetaplah jadi penceritaan yang segar untuk franchise lawas—masih “cukup cowabunga”. Walau dengan penunjukkan Rogen, yang diikuti ensemble cast, mestinya bisa lebih eksepsional, minimal, lebih mendalam lagi.

Sebagian besar waktunya terasa bermain-main di klise, tapi TMNT mungkin memang tak perlu lebih dari itu. Sebagai “produk zaman”, saya tak benar-benar mengikuti judul-judulnya sampai menyeluruh. Kendati sudah mengikuti sejak era “Kura-kura Ninja” di televisi lokal belasan-puluhan tahun silam dan tetap menonton film-filmnya (meski nyaris tak ada yang benar-benar lekat di ingatan), pada akhirnya saya rasa TMNT: Mutant Mayhem barangkali hanya mesti lebih baik dari film sebelumnya.

Mutant Mayhem jelas sudah lebih baik ketimbang Rise of the Teenage Mutant Ninja Turtles: The Movie (2022)--yang juga bahkan sudah lebih baik dari sebagian besar judul-judul sebelumnya.

Mutant Mayhem pantas untuk mengawali era baru para Kura-Kura Ninja yang bisa disaksikan seluruh kalangan. Untuk selanjutnya, ia tak butuh jadi terlalu mendalam, asalkan tetap mengusung nuansa yang menyenangkan, action-packed, dan ceritanya solid, itu sudah lebih dari cukup.

Baca juga artikel terkait TMNT atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi