Menuju konten utama
Debat Capres-Cawapres 2024

Isu Krusial Ekonomi yang Perlu Dibahas dalam Debat Cawapres

Masalah APBN dinilai menjadi salah satu isu krusial yang perlu jadi perhatian lebih bagi ketiga pasangan calon serta dibahas dalam debat cawapres.

Isu Krusial Ekonomi yang Perlu Dibahas dalam Debat Cawapres
Calon wakil presiden dari Koalisi Perubahan Muhaimin Iskandar (kanan), Cawapres dari Koalisi Indonesia Maju Gibran Rakabuming Raka (kiri), dan cawapres Mahfud MD (tengah) mengambil nomor undian pada Rapat Pleno Terbuka Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Pasangan Capres dan Cawapres Pemilu Tahun 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD bakal beradu gagasan dalam debat kedua yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat (22/12/2023) malam. Tema debat akan diikuti cawapres ini, meliputi ekonomi kerakyatan, ekonomi digital, keuangan, investasi pajak, perdagangan, pengelolaan APBN/APBD, infrastruktur, dan perkotaan.

Menariknya, dari tiga cawapres tersebut tidak ada yang benar-benar memiliki latar belakang pendidikan di bidang ekonomi. Cawapres nomor urut satu, Cak Imin, pendidikannya di bidang ilmu politik. Kemudian cawapres nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, di bidang sains teknologi. Sedangkan cawapres nomor urut tiga, Mahfud MD, berlatar pendidikan di bidang hukum.

“Kita liat juga dari tiga cawapres tidak ada latar ekonomi secara khusus. Justru kita ingin melihat dari ketiga cawapres tersebut membawakan isu-isu ekonomi dengan bahasa-bahasa mudah diterima masyarakat, tapi juga menjawab solusi,” ujar peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana, saat dihubungi Tirto, Kamis (21/12/2023).

Andri menuturkan, dari seluruh tema yang disuguhkan semuanya menjadi hal penting untuk dibahas para cawapres. Sebab, beberapa tahun terakhir, isu ekonomi diangkat tersebut telah memiliki catatan masing-masing. Terutama yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Masalah APBN, menurut Andri, menjadi salah satu isu yang krusial perlu menjadi perhatian lebih bagi ketiga pasangan calon. Karena ini cukup kontradiktif dengan visi misi para pasangan calon capres dan cawapres. Mengingat banyak program-program ditawarkan ketiganya memerlukan ruang fiskal yang cukup besar.

“Tapi di lain sisi defisit fiskal kita selama 10 tahun terakhir itu cenderung melebar,” ujar dia.

Masalahnya, kata Andri, posisi utang Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah mencapai Rp8.041,01 triliun per 30 November 2023 atau setara dengan 38,11 persen terhadap PDB.

Posisi utang tersebut meningkat dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar Rp7.950,52 triliun atau mencapai 37,67 persen terhadap PDB. Jika utang tersebut dibiarkan, maka akan semakin tidak sehat.

“Kita ingin melihat dan menagih seberapa besar dan realistis capres-cawapres menurunkan defisit APBN dan utang tersebut. Di saat mereka juga mengeluarkan program-program yang sangat besar dari sisi anggaran,” kata dia.

Jika menilik dokumen visi misi ketiga pasangan calon, seluruh program kerjanya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Misalnya kubu AMIN yang menjanjikan akan membangun 14 kota seperti di DKI Jakarta.

Kemudian Prabowo-Gibran menjanjikan memberi makan siang gratis dan susu dengan anggaran mencapai Rp400 triliun. Sementara untuk Ganjar-Mahfud ingin melakukan pembangunan dan revitalisasi Puskesmas/Pusat Kesehatan Masyarakat (Pustu), terutama di wilayah 3T dan perbatasan.

“Jadi kalau kita lihat di sana kalau dari sisi ekonomi kita perlu pertanyakan. Jangan sampai nanti dalam debat tiga cawapres tersebut isu ekonomi hanya dinarasikan saja, tapi tidak menjawab solusi," jelas dia.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengamini masalah paling mendesak saat ini memang terkait pengelolaan APBN. Sebab hal ini berkaitan dengan utang dan belanja infrastruktur.

“Masalah utang dengan nominal menembus di atas Rp8.000 triliun sudah menyebabkan overhang utang atau menghambat pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima kepada Tirto, Kamis (21/12/2023).

Bhima menuturkan, saat ini likuiditas di masyarakat dan perbankan tersedot untuk membeli surat utang pemerintah. Kondisi ini sangat mendistorsi pertumbuhan ekonomi ke depannya.

Maka dalam hal ini, kata Bhima, dibutuhkan solusi yang berani dari para tiga cawapres. Mulai dari membuka ruang renegosiasi utang dengan para kreditur, hingga melakukan pemangkasan belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan belanja barang.

“Beban utang juga dirasakan oleh BUMN yang mendapat penugasan untuk infrastruktur. Para cawapres selain bicara dengan data, juga harus suguhkan solusi riil untuk atasi masalah utang,” ujar dia.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menilai masalah APBN memang menjadi hal yang menarik dibahas oleh para cawapres terkait bagaimana pengelolaan APBN. Baik dari sisi penerimaan dan juga dari sisi belanja.

“Penting bagaimana upaya untuk memastikan realisasi belanja tidak selalu mendapati isu-isu pada setiap tahun yaitu lambannya realisasi belanja pemerintah,” kata Yusuf kepada Tirto, Kamis (21/12/2023).

Masalah pengelolaan utang, menurut Yusuf, juga menarik untuk dibahas. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir peningkatan jumlah utang pemerintah relatif signifikan.

“Sehingga upaya ataupun kebijakan pemerintah dalam mengelola utang di kemudian hari saya kira juga akan ikut menentukan preferensi dari voters atau pemilik terhadap masing-masing paslon,” jelas dia.

Ekonomi Kerakyatan

Isu lain yang menurut Yusuf, perlu didorong dan dibicarakan lebih dalam saat debat adalah masalah ekonomi kerakyatan. Masing-masing cawapres perlu menjabarkan bagaimana definisi ekonomi kerakyatan menurut pandangan mereka.

Karena selama ini, ekonomi kerakyatan seringkali dikaitkan dengan ekonomi berdasarkan Pancasila. Namun detail ataupun kontekstual dari ekonomi Pancasila dengan kondisi saat ini belum dieksplorasi lebih jauh.

“Sehingga menarik untuk kemudian masing-masing paslon bisa melakukan elaborasi terkait pengertian ataupun dasar dari ekonomi kerakyatan itu sendiri,” kata dia.

Lebih dari itu, Andri Perdana justru meminta kepada tiga cawapres tidak hanya bicara ekonomi kerakyatan hanya skala pada yang kecil-kecil saja. Dalam hal ini, seperti Usaha Mikro Kecil (UMK), koperasi dan yang lainnya.

Ketiga cawapres itu diharapkan bisa lebih memberikan gambaran jauh mengenai paradigma daripada ekonomi kerakyatan itu sendiri. Misalnya, bagaimana para cawapres melihat Sumber Daya Alam (SDA) itu bisa dimanfaatkan bagi seluruh rakyat.

“Kita bisa melihat SDA kita sebagai hal seharusnya tidak diserahkan seluruhnya ke kelas pemodal, tapi juga banyak berkontribusi ke kelas pekerja. Jadi narasi antarkelas pekerja dan kelas pemodal itu lebih masuk apabila kita bicarakan dalam topik ekonomi kerakyatan," kata dia

Dalam konteks ekonomi kerakyatan, Andri berharap yang didorong itu lebih kepada fundamentalnya. Karena baginya, paradigma terpenting ketika ingin melakukan perubahan ada di level fundamentalnya bukan sekadar gimmick.

“Jadi kalau kita lihat cawapres membicarakan itu harus tekel isu yang benar-benar dari sisi paradigma fundamental. Kalau hanya sebagai bicara koperasi, kita akan kasih bantuan ini, itu, tidak akan mencapai cita-cita Indonesia Emas di 2045,” kata dia.

Butuh Solusi yang Out of The Box

Di luar dari APBN dan ekonomi kerakyatan, Bhima, justru berharap adanya solusi yang bersifat out of the box dan berani dari para cawapres. Misalnya untuk menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan perlu konsisten transisi ke ekonomi hijau.

“Jangan lagi hanya mengandalkan struktur ekonomi berbasis ekstraktif yang tidak berkelanjutan dan fluktuatif,” kata Bhima.

Karena menurut hitungan modeling jika pemerintah ke depan berani melakukan transisi ke ekonomi hijau, maka dampak ke PDB-nya mencapai Rp2.943 triliun. Begitu juga mengenai janji untuk menciptakan lapangan kerja, jawabannya ada di transisi ekonomi hijau karena bisa menciptakan 19,4 juta pekerjaan baru.

Harapan lain, kata Bhima, adalah keberanian untuk mendorong efisiensi ekonomi dengan menurunkan angka ICOR yang mencapai 7,6 bisa diturunkan dibawah 4. ICOR ini mencerminkan efisiensi investasi di Indonesia.

“Selain itu, soal ekspor harus ada kebijakan jelas perluasan ke pasar ekspor alternatif. Kita tidak bisa lagi mengandalkan mitra dagang tradisional sampai 5 tahun ke depan,” kata Bhima.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz