tirto.id - Pada 2022, lelaki berusia 18 tahun asal Pakistan menembak mati ibu kandung dan tiga saudaranya akibat kesal kalah bermain gim video. Pada 2013, remaja 15 tahun di Tiongkok tega menusuk perempuan yang melahirkannya karena terganggu saat main game online. Di Indonesia, remaja 18 tahun juga melakukan tindakan serupa pada 2020 lalu.
Cerita di atas hanya secuil dari aneka peristiwa mencengangkan akibat kecanduan gim. Permainan ini memiliki sejarah panjang sebelum berkembang pesat dan akhirnya merasuk ke berbagai kalangan umur, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Oknum anggota DPRD bermain judi di tengah rapat melalui aplikasi game online adalah buktinya.
Kriminalitas hanyalah satu di antara dampak kecanduan gim. Selaras dengan itu, ia juga memberi efek bagi perekonomian, baik negatif maupun positif. Sebelum membahas bagian buruknya, mari intip sejenak bagaimana industri gim berperan dalam menciptakan lapangan kerja sehingga mendorong perkembangan teknologi.
Kontribusi Ekonomi
Melalui studi berjudul Video Games in the 21st Century: The 2020 Economic Impact Report, The Entertainment Software Association melaporkan bahwa industri video game telah mempekerjakan 143.045 orang di Amerika Serikat (AS). Total 428.646 pekerjaan bisa bertahan karena keberadaan dan operasi industri tersebut.
Pendapatan total – gaji, upah, dan tunjangan – yang dihasilkan rumah tangga di AS dari industri video game mencapai USD35,28 miliar, termasuk USD17,37 miliar kompensasi langsung kepada para pekerja. Artinya, kompensasi yang diperoleh per orang senilai USD121 ribu atau setara Rp1,8 miliar (kurs Rp15.043 per USD).
Lebih lanjut, secara global industri gim video diproyeksi akan membukukan pendapatan sekitar USD384,9 miliar atau setara Rp5.790 triliun pada tahun 2023. Industri ini juga akan terus menunjukkan tren pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sekitar 7,89%, dilansir dari Statista.
Peran industri gim juga terbilang besar bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Statista, pasar gim telah berkembang pesat dan bernilai USD1,92 miliar pada 2021. Industri ini dipuji sebagai industri kreatif yang menjanjikan. Dengan jumlah gamers melebihi setengah populasi, negara kita adalah basis terbesar di Asia Tenggara.
Pendapatan dari pasar mobile games diproyeksikan mencapai USD0,99 miliar pada 2023. Pendapatannya diharap tumbuh 6,78% (CAGR 2023-2027) dan menghasilkan pangsa pasar senilai USD1,28 miliar pada 2027 mendatang. Khusus gim seluler, jumlah penggunanya kelak diperkirakan tembus 76,92 juta orang dengan penetrasi 26,3%.
Di Indonesia, industri game berkembang pesat berkat semakin banyak yang memainkannya, baik menggunakan tablet, ponsel, maupun komputer. Menurut data Statista, 17,4% responden menghabiskan waktu 4-7 jam per minggu hanya untuk bermain video game. Rata-rata meluangkan sekitar 8,54 jam. Dari sinilah masalah itu muncul.
Dampak Negatif
Menghabiskan banyak waktu untuk bermain gim memberi dampak negatif di kalangan kawula muda. Penelitian membuktikan bahwa hobi ini bagaikan narkotika yang membuat produktivitas mereka turun dari sebelumnya. Dengan kata lain, kecanduan gim membuat orang lebih malas bekerja dan ujungnya memengaruhi perekonomian negara.
Dalam penelitian berjudul Leisure Luxuries and The Labor Supply of Young Men (2017), Mark Aguiar dkk menemukan fakta bahwa para lelaki dalam usia prima – umur 21 hingga 30 tahun – mengalami penurunan jam kerja signifikan selama 15 tahun terakhir dibandingkan pria atau wanita yang lebih tua. Ternyata, video game adalah biang keroknya.
Sejak 2004, pria muda mengalihkan waktu senggang ke video game dan aktivitas rekreasi komputer lainnya, yang kerap dianggap sebagai rekreasi mewah. Kurun 2000-2015, jam kerja mereka anjlok 12%. Lalu pada 2016, jumlah pemuda yang tidak bekerja sama sekali mencapai 15%. Padahal pada 2000, persentasenya hanya 8%.
Seiring perkembangan gim, penurunan jam kerja diprediksi merosot 1,5-3,0% sejak 2004. Sekitar 38-79% penurunan diferensial relatif terhadap pria yang lebih tua. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa 20-40% dari 12% penurunan jam kerja disebabkan langsung oleh peningkatan penggunaan teknologi dan game.
Jika Anda masih bingung dengan gejala kecanduan yang melekat pada gamers, penjabaran Kini Ramesh dan Melnikov Igor dapat menjadi acuan. Dalam penelitian berjudul The Gaming Addiction Problem and its Economic and Social Consequences: A Comprehensive, Dynamic Approach (2016), keduanya menukil penjelasan Dr Leigh Holman.
Ciri-cirinya antara lain kebutuhan untuk menghabiskan waktu gim yang meningkat, gagal untuk mengontrol keinginan, kehilangan minat pada hobi dan hiburan sebelumnya, menipu anggota keluarga atau orang lain tentang jumlah waktu bermain gim, menjadikan game sebagai pengubah mood hingga rela mengorbankan karir atau pekerjaan.
Melalui penelitian ini, Kini Ramesh dan Melnikov membuktikan bahwa semakin banyak laki-laki muda di dunia tidak punya keterampilan atau skill yang dibutuhkan dalam dunia pekerjaan. Semua ini tak lain diakibatkan oleh kebiasaan mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu bermain video game.
Kebiasaan itu pula yang membuat kawula muda kehilangan momentum untuk menyerap pendidikan semasa sekolah ataupun duduk di bangku universitas. Tanpa keterampilan, para pemuda bakal kehilangan daya saing di tengah tuntutan pasar global yang semakin kompetitif. Dengan kata lain, kualitas angkatan kerja turut menurun.
Langkah Tegas Hindustan
Fenomena ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab pada ujungnya akan berdampak sangat buruk pada pertumbuhan PDB, tingkat kelahiran dan lain sebagainya. Tanpa intervensi regulasi atau kebijakan dari pemerintah, tingkat kecanduan game akan terus berlanjut atau bahkan semakin cepat membawa konsekuensi besar.
Masalah serius kecanduan gim tampaknya sudah disadari India. Dilansir dari Al Jazeera, negara tersebut telah membebankan pajak 28% terhadap game online. Kebijakan ini diambil seiring meningkatnya kekhawatiran atas kemungkinan kecanduan dan kerugian finansial bagi para pemain bahkan saat sektor ini menarik banyak investor.
Di negara tersebut, industri ini tumbuh dengan tingkat gabungan tahunan sebesar 28-30% dan juga telah menarik investor internasional. Perusahaan investasi asal Amerika Serikat, Tiger Global, telah mendukung start-up gim India Dream11, sponsor utama tim kriket nasional mereka. Penetapan pajak diambil setelah melewati diskusi yang ekstensif.
Dalam permainan kriket fantasi gim Dream11, pemainnya bisa membuat tim mereka sendiri dengan membayar paling sedikit 8 rupee atau setara 10 sen dolar AS. Pemenang akan meraih total hadiah sebanyak 1,2 juta rupee atau setara USD14,5 ribu. Sebelum kebijakan baru, perusahaan cukup membayar pajak yang relatif murah dibanding keuntungan mereka.
Balik ke Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah pengguna game yang mencapai 185 juta orang dan terbanyak di Asia Tenggara – versi Statista, sudah selayaknya negara kita turut memikirkan solusi. Menurut Kini Ramesh dan Melnikov, masalah ini memang tidak gampang, namun bisa memicu bom waktu jika dibiarkan begitu saja.
Mengingat banyaknya kepentingan yang berkecimpung dalam industri gim, sukar untuk menawarkan rekomendasi yang bisa menjawab semua kekhawatiran secara memadai. Namun terlepas dari hal itu, butuh pendekatan yang proaktif ketimbang reaktif. Harus dipahami bahwa setiap perubahan dalam regulasi akan tetap mempunyai risiko.
Menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut kepada keluarga berpotensi menimbulkan bencana baru. Cara itu memang diperlukan, tetapi terlalu pasif dan tidak cukup untuk mencegah krisis kecanduan. Pemerintah juga bisa membangun pusat terapi, namun strategi ini bagaikan "menutup pintu gudang setelah kudanya lari".
Opsi lain adalah pendekatan pajak seperti yang diterapkan India. Kebijakan pajak dan rabat harus dirancang guna mengatasi masalah kecanduan game. Jika itu pilihannya, maka waktu yang tepat adalah sekarang. Perkara ini tidak bisa menunggu karena ia bisa lebih serius dari waktu ke waktu hingga menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Editor: Dwi Ayuningtyas