Menuju konten utama

Menyoal Larangan Pemakaian Gawai pada Anak Generasi Internet

Alih-alih takut akan dampak teknologi, orang tua perlu memahami bahwa anak memang lahir di dunia internet, dan tidak akan terbebas dari penggunaannya.

Menyoal Larangan Pemakaian Gawai pada Anak Generasi Internet
Ilustrasi Anak Bermain Gadget. foto/istockphoto

tirto.id - Gadget atau gawai menjadi salah satu alat yang memudahkan manusia di era modern seperti sekarang ini. Mulai dari transaksi perbankan, memesan makanan, dan tentu saja berkomunikasi, semuanya bisa dilakukan dengan menggunakan gawai di tangan.

Tapi pada kenyataannya, penggunaan gawai tidak lagi menjadi dominasi kaum dewasa saja. Pada perkembangannya, anak-anak bahkan telah mendapatkan akses untuk menggunakannya sejak dini.

Data mengenai perilaku digital yang dikeluarkan oleh Kaspersky tahun 2021 menunjukkan 61 persen anak-anak mendapatkan perangkat digital pertama mereka antara usia 8 hingga 12 tahun. Fakta lain menunjukkan, 11 persen anak mendapatkan gawai pertama mereka bahkan sebelum mereka berusia 5 tahun.

Mereka menggunakan perangkat tersebut untuk menyelesaikan tugas sekolah (46 persen), menonton video (54 persen), dan bermain game (60 persen). Sebanyak 48 persen dari anak-anak menghabiskan rata-rata 3-5 jam sehari menggunakan gawai.

Data tersebut merupakan hasil survei dari lebih dari 11.000 orang tua dari anak usia 7-12 tahun di Inggris, Prancis, Jerman, Argentina, Brasil, Chili, Kolombia, Mesir, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Peru, Rusia, Arab Saudi, Singapura, Afrika Selatan, Turki, UEA dan Amerika Serikat.

Sebuah survei yang dilakukan di India menjadi gambaran pula bahwa anak seakan sudah tak bisa terpisahkan dengan teknologi tersebut.

Survei terhadap seribu anak dan orang tua mereka, menemukan 92 persen anak lebih suka bermain game seluler daripada bermain di luar. Sementara 78 persen anak terbiasa menggunakan ponsel saat makan.

Jadi tidak berlebihan jika pemandangan di sebuah restoran sering menunjukkan anak menikmati hidangannya sambil menatap layar kerap terjadi.

Fakta ini tentu memprihatinkan karena ada kekhawatiran tersendiri bila gawai digunakan berlebihan dapat membuat anak kecanduan. Apalagi dampaknya pun dapat merugikan kehidupan anak di masa mendatang.

Seperti Makanan, Gawai Sudah Menjadi Kebutuhan

Tim Cook, CEO Apple dalam kunjungannya ke India pernah berujar untuk membatasi screen time anak-anak sebagai salah satu solusi mencegah adiksi terhadap gawai.

Tetapi Dr. Ellen Selkie, asisten profesor kedokteran remaja di University of Michigan punya pendekatan lain yang bisa diterapkan.

Alih-alih menganalogikan kecanduan gawai seperti halnya penggunaan narkoba, ia menyebut orang dewasa harus mengajari anak-anak bahwa gawai merupakan sebagai sesuatu yang harus ditangani secukupnya.

Seperti halnya ada cara makan yang sehat dan tidak sehat, maka tentu bisa diterapkan untuk penggunaan teknologi yang lebih bijaksana.

“Ini seperti makanan. Gawai adalah sesuatu yang kita semua butuhkan, dan untuk anak itulah cara mereka bersosialisasi," kata Selkie.

Pendekatan ini diambil mengingat di era sekarang perangkat tersebut sudah menjadi bagian dari seluruh kehidupan manusia. Sehingga anak-anak pun dalam hal ini perlu menemukan cara yang sehat untuk menggunakannya tanpa membiarkan gawai mengambil alih kehidupan mereka.

Pandemi pun secara tidak langsung turut ambil peran memicu penggunaan gawai pada anak-anak, salah satunya adalah untuk keperluan belajar mengajar.

"Akibatnya ketika pascapandemi, anak-anak merasa bahwa gawai sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Ada semacam budaya baru, situasinya seperti itu," terang Lucia Peppy Novianti, S.Psi., M.Psi.

Jadi sebagai upaya penggunaan gawai secara bijaksana, di samping memberikan pemahaman kepada anak mengenai gawai, Peppy menyarankan pula supaya orang tua sebaiknya membuat kesepakatan bersama sang buah hati mengenai pemakaiannya yang tentu saja disesuaikan dengan situasi keluarga.

Pasalnya, situasi masing-masing keluarga akan berbeda dan ini akan menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan kesepakatan tersebut.

Misalnya di dalam sebuah keluarga kedua orang tua bekerja, atau ibu yang di rumah masih harus melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak lainnya, sehingga gawai menjadi alat bantu dalam pengasuhan.

"Andai kondisinya seperti itu tetap buat kesepakatan bersama anak. Contohnya saja cara duduk saat menggunakan gawai, waktu pemakaian, apa saja yang dilihat, sehingga aspek stimulasi emosi, sosial, dan fisik anak bisa terjembatani," kata Peppy.

Dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana peran orang tua dalam memberikan pendampingan pada anak-anak, terlebih bila dalam keluarga situasinya gawai menjadi alat bantu pengasuhan.

"Dialog atau ngobrol dengan anak menjadi hal yang penting. Ambil waktu dan buat kebiasaan itu, bisa saat makan malam atau sebelum tidur. Coba tanyakan kepada mereka hari ini nonton apa di Youtube, main apa gamenya, apa yang dirasakan, apakah mendapatkan pengalaman baru. Ini dalam tanda kutip bisa menggantikan stimulasi kognisi, emosi, dan juga sosial," papar Peppy.

Orang tua suka tidak suka harus membuka wawasan dan pikiran, karena sudah tidak jamannya lagi melarang anak memiliki atau menggunakan gawai.

"Sebagai orangtua, tentu ada perasaan khawatir bila anak kecanduan gawai. Tetapi hari ini gawai sudah tidak bisa dilihat hanya sebagai hitam dan putih yang pasti menyebabkan kecanduan. Jadi mari menjadi bijak terkait pengendalian, pengelolaan dan penggunaan gawai untuk anak-anak," pungkas Peppy.

Infografik Anak Dan Gegdet
Infografik Anak Dan Gegdet. tirto.id/Ecun

Candu Gawai

Peppy menjelaskan setiap individu bisa mengalami kecanduan, termasuk anak yang dalam hal ini adalah kecanduan gawai.

Namun, sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu, bila kecanduan dalam arti patologis yang menyebabkan sampai adiksi, artinya perlu profesional kesehatan mental untuk mendiagnosisnya.

Terminologi kecanduan yang saat ini dipahami secara awam adalah ketika anak mulai mengalami ketergantungan.

Sehingga ada beberapa indikasi yang bisa dilihat antara lain adalah ketika anak sibuk (occupied) terhadap gadget. Dalam hidup dan pikirannya ya hanya gawai.

Selain itu anak juga tidak bisa merasakan mood atau emosi yang menyenangkan atau positif apabila tidak berinteraksi dengan gawai serta adanya ketidakmampuan diri untuk beraktivitas tanpa gawai. Jika mengalami hal tersebut, itu bisa diduga atau menjadi indikasi awal kecanduan gawai.

Dan ketika ada indikasi kecanduan gawai, yang pasti adalah anak memiliki potensi hambatan yang terkait dengan tumbuh kembangnya. Area kognitif, sosial, emosi, menurut Peppy, bisa saja tidak tumbuh seperti pada umumnya.

Misalnya dari secara fisik. Seorang anak yang mengalami kecanduan gawai fisiknya akan terpengaruh karena tidak mengalami stimulasi fisik seperti anak-anak pada umumnya. Akibatnya bisa berdampak ke hal lain, sehingga contohnya anak bisa mengalami diabetes.

"Penggunaan gawai yang sampai kecanduan ini membuat anak kekurangan aktivitas motorik padahal stimulasi fisik itu mnejadi sesuau yang penting bagi tumbuh kembang mereka," terang Peppy yang juga CEO Wiloka Workshop Yogyakarta.

Belum lagi dalam konteks sosialnya. Memang game online yang bisa diakses di gawai saat ini menawarkan interaksi dengan pemain lain. Tetapi ingat, itu di dunia maya. Sementara aspek-aspek interaksi manusia seperti contonya eye contact tidak bisa didapatkan oleh anak.

Pengalaman emosional seorang anak pun juga menjadi minimal ketika mereka hanya terpapar gawai saja. Dampaknya, saat anak coba untuk dialihkan dari gawai maka timbul perilaku-perilaku seperti kecemasan, motivasi rendah, depresi, lekas marah, dan ketidakmampuan untuk merasakan kegembiraan dalam segala hal.

Sains menunjukkan setiap kali otak mendapatkan kesenangan dalam bentuk apa pun zat kimia saraf yang disebut dopamin dilepaskan di otak. Salah satunya adalah kesenangan dalam menggunakan gawai. Jadi jika kesenangan itu diambil maka seseorang akan merasa tidak nyaman.

Hal yang disayangkan lagi, begitu anak kecanduan, sirkuit kesenangan dan penghargaan otaknya akan kacau. Apalagi bila anak sudah mengakses sedari dini gawai, hal itu dapat meninggalkan jejak pada sirkuit saraf otak mereka yang sedang tumbuh.

Studi yang dipublikasikan di Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma mengungkapkan, dari penelitian yang telah dilakukan, ada dampak neurologis yang terjadi pada anak usia dini yang menggunakan gawai dalam waktu yang tidak terkendali.

Dampak neurologis yang dapat dirasakan adalah sakit kepala, perubahan pola tidur, perubahan perilaku, dan perubahan dalam tekanan darah serta kehilangan konsentrasi dan memori.

Namun, teknologi tidak bisa lagi dilepaskan dari kemajuan zaman dan sudah menjadi keseharian kehidupan manusia modern.

Generasi kini, jelas merupakan generasi yang lahir di dunia saat internet telah eksis dan makin berkembang. Mereka tidak akan lepas dari penggunaan dan manfaatnya. Menghalangi penggunaan internet bagi anak, akan membuat mereka tidak terhubung pada dunianya sekarang.

Namun, pada akhirnya bagaimana kebijakan orang tua untuk memanfaatkan perangkat digital yang agar bermanfaat, tetapi tidak menjerumuskan.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Lilin Rosa Santi