tirto.id - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Ricky Gunawan menegaskan, Indonesia perlu menghapus hukuman mati, bukan hanya melakukan moratorium eksekusi mati.
Pasalnya, kata dia, pengadilan masih melakukan vonis hukuman kepada pelaku kejahatan, meskipun keputusan moratorium sudah dilakukan sejak 2016.
Menurut Ricky, Indonesia juga sudah jauh tertinggal dibanding negara lain di Asia Tenggara soal aturan hukuman mati ini.
"Indonesia sudah tertinggal juga soal hukuman mati di Asia Tenggara," tegas Ricky di Menteng, Jakarta, Rabu (10/4/2019).
Malaysia telah mengumumkan akan mereformasi undang-undang hukuman mati setelah melakukan moratorium eksekusi mati. Dalam hal ini, kata Ricky, Indonesia jauh tertinggal dari Malaysia.
"Malaysia sudah 1-0 terhadap Indonesia jika terkait hukuman mati," katanya lagi.
Di sisi lain, anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris menegaskan, Joko Widodo akan mengumumkan moratorium secara terbuka atau bahkan menghapus ancaman hukuman mati di undang-undang apabila terpilih dalam Pilpres 2019.
"Dan akan mengupayakan perubahan undang-undang atau regulasi yang masih menerapkan hukuman mati sebagai hukuman," kata Charles di lokasi yang sama.
Soal ketertinggalan dari Malaysia, Charles merasa hal itu sedikit wajar karena sistem pemerintahan yang berbeda.
Di Indonesia, kata Charles, keputusan menghapus hukuman mati harus melalui pemerintah dan DPR, beda dengan Malaysia yang menganut sistem pemerintahan parlementer.
Sementara itu, Amnesty International meminta DPR agar menghapus hukuman mati di Indonesia. Sebab, menurut Amnesty, hukuman mati tidak manusiawi dan tidak menyelesaikan masalah.
Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid mengatakan, hukuman mati banyak diberikan dengan keputusan yang tidak objektif. Kebanyakan dari mereka terkadang disiksa terlebih dahulu atau divonis berdasar tekanan saja.
"Hukuman mati ini sama kejam dan [sama] tidak manusiawinya dengan hukuman rajam hingga mati yang diterapkan oleh Brunei untuk LGBTI," kata Usman.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto