tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyesalkan eksekusi mati yang dilakukan Pengadilan Arab Saudi kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bernama Tuti Tursilawati, Senin (29/10/2018). Sebab menurutnya hukuman mati itu dijatuhkan tanpa ada pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia.
“Memang itu patut kita sesalkan tanpa adanya notifikasi. Yang dulu juga sama,” kata Jokowi saat ditemui di Jakarta International Expo pada Rabu (31/10/2018) pagi.
Jokowi mengklaim dirinya telah berulang kali menyinggung tentang vonis hukuman mati bagi TKI kepada pemerintah Arab Saudi. Ia menyebutkan dirinya telah melakukan berbagai lobi politik kepada Raja Salman selaku kepala negara dan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir.
“Saya sudah berkali-kali [menyampaikan] setiap bertemu, baik dengan Raja Salman maupun dengan Menteri Luar Negeri [Arab Saudi]. Saya ulang-ulang terus, jangan dipikir kita ini tidak melakukan upaya-upaya politik,” jelas Jokowi.
Namun respons Jokowi soal eksekusi mati terhadap Tuti justru menuai kritik. Manager kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri menilai pernyataan Jokowi hanya sebatas retorika karena tidak berbanding lurus dengan kebijakan hukum yang dijalankan pemerintah.
"Retorika kecam Saudi menjadi melelahkan karena sepertinya kita tidak memegang prinsip teguh bahwa hak hidup sesuai standar universal," kata Puri kepada reporter Tirto, Rabu (31/10/2018).
Sejauh ini, sistem hukum pidana di Indonesia masih menjadikan hukuman mati sebagai ganjaran terberat yang bisa diberikan kepada seseorang terdakwa. Eksekusi mati juga masih dilakukan pemerintah setidaknya hingga 2016 lalu.
Vonis hukuman mati termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 10 KUHP mengatur jenis-jenis sanksi yang bisa diberikan kepada seseorang, termasuk hukuman mati. Kemudian sejumlah aturan juga menyebut adanya ancaman hukuman mati, salah satunya yakni UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika.
Selama Jokowi menjadi presiden sudah ada 18 terpidana mati yang dieksekusi. Mereka yang dieksekusi mati pada 2015-2016 itu adalah para terpidana kasus narkoba. Banyak dari mereka yang berkewarganegaraan asing seperti Nigeria, Brazil, Vietnam, dan Australia.
Puri mengatakan eksekusi yang menimpa Tuti di Arab Saudi mestinya menjadi momentum bagi pemerintah menyudahi sikap bermuka bermuka dua dalam kasus hukuman mati TKI di luar negeri dengan cara menghapus hukuman mati dalam hukum positif Indonesia.
"Hukuman mati masih jadi hukum positif di Indonesia, tapi [negara] punya kewajiban absolut untuk melindungi setiap WNI termasuk TKI di luar yang rentan tervonis mati," kata Puri.
Menurut Puri masih berlakunya hukuman mati di Indonesia dapat berdampak pada tidak optimalnya negara melindungi WNI dari ancaman sanksi serupa di luar negeri. Selain itu, Indonesia juga jadi terlihat gamang dalam memandang hukuman mati.
Puri menjelaskan, kemarahan atas eksekusi Tuti yang diduga tanpa pemberitahuan dari Arab Saudi adalah hal wajar. Namun kekecewaan itu harus dibuat produktif untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia sendiri.
"Mulai dengan mendukung langkah moratorium aktif di amandemen RKUHP. Mendukung hukuman mati untuk tidak jadi hukum positif utama, sambil mengevaluasi sifat vonis peradilan dan penyidikan. Evaluasi vonis mati dari hulu ke hilir," jelasnya.
Amnesty Internasional juga mendorong pemerintah mengambil sikap tegas untuk menghentikan eksekusi mati dalam Sidang Umum PBB Desember mendatang. Menurutnya langkah-langkah seperti itu akan membuat Indonesia terlihat tegas posisinya, dalam menolak hukuman mati dan melindungi WNI di luar negeri.
"Kalau presiden kita yang gayanya hipster ini mau open minded untuk anti hukuman mati, enggak ada yang enggak mungkin. Bisa kok," tegasnya.
Pro dan Kontra di DPR RI
Dampak vonis mati Tuti terhadap keberlangsungan eksekusi mati di Indonesia ditanggapi Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani. Menurutnya eksekusi Tuti di Arab Saudi tak bisa begitu saja dikaitkan dengan keberadaan hukuman mati di Indonesia.
Sekretaris Jenderal PPP itu menganggap pihak yang mengaitkan eksekusi Tuti dengan hukuman mati di Indonesia terlalu naif. Dia berkata, pandangan harusnya diberikan pada benar atau tidak proses peradilan yang dihadapi Tuti, atau WNI lain di luar negeri jika ada hukuman mati yang dilakukan.
"Apakah proses peradilannya fair dan memenuhi asas keadilan bagi terdakwa, apakah semua hak-hak hukumnya telah diberikan dalan proses hukumnya, dan apakah aturan diplomatik telah dipenuhi oleh negara yang bersangkutan terhadap perwakilan kita," kata Arsul kepada reporter Tirto.
Pandangan lain diberikan Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS Nasir Djamil. Dia mengakui ada pro dan kontra memandang keberadaan hukuman mati di Indonesia. Akan tetapi menurut Nasir, hukuman mati masih relevan diberlakukan saat ini.
"Kita harus berdaulat juga dalam penegakan hukum. Enggak bisa kita didikte Barat dan Eropa, Amerika karena kita lihat hukuman mati itu masih relevan baik dalam tinjauan agama, sosial, budaya, dan sebagainya," ujar Nasir kepada reporter Tirto.
Menurut Nasir, parlemen sudah membuat "jembatan" guna mempertemukan pihak yang pro dan kontra hukuman mati. Solusi itu katanya terdapat di Rancangan KUHP yang hingga kini belum selesai pembahasannya.
Nasir menjelaskan, dalam RKUHP hukuman mati masuk dalam kategori khusus. Artinya hukuman itu bisa tidak diberikan kepada terpidana yang dituntut sanksi mati oleh jaksa.
"RUU KUHP yang sedang disusun memberi alternatif, ketika orang kejahatannya bisa diancam hukuman mati, maka [hakim] bisa berikan hukuman alternatif berupa seumur hidup," tuturnya.
Hukuman seumur hidup itu bisa berkurang lagi menjadi kurungan 20 tahun penjara. Syaratnya terpidana yang bersangkutan harus berkelakuan baik dalam kurun waktu tertentu, agar bisa diberi pengurangan sanksi.
"Karena memang tujuan pidana kan agar orang menyadari kesalahannya, sehingga dia bertobat. Kalau hukuman mati kan kan di satu sisi meniadakan tujuan pemidanaan. Tapi tingkat kejahatannya juga harus diperhatikan," ujarnya.
Tanggapan berseberangan muncul dari Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris. Politikus PDI Perjuangan itu menganggap eksekusi mati Tuti di Arab Saudi, harusnya membuat pemerintah sadar untuk segera menghapus hukuman serupa di Indonesia.
"Sebaiknya Pemerintah RI juga terus mengupayakan penghapusan hukuman mati di dalam negeri. Supaya ke depan, RI mempunyai kapasitas moral lebih untuk memprotes setiap eksekusi mati yang mengancam WNI di luar negeri," kata Charles dalam keterangan pers yang diterima Tirto.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana