tirto.id - Dalam historiografi Indonesia, Amir Sjarifoeddin adalah sosok yang kontroversial. Menteri Penerangan pertama dan Perdana Menteri kedua Indonesia ini dicap sebagai pemberontak karena dikaitkan dengan Peristiwa Madiun 1948.
Nasib Amir berakhir tragis di ujung bedil rekan bangsanya sendiri tanpa melalui proses pengadilan yang jelas. Pengorbanan, jasa, gagasan, dan cita-citanya untuk Indonesia seolah-olah “terbilas” hanya oleh satu peristiwa itu. Seorang jurnalis di masa Revolusi Perancis, Jacques Mallet du Pan, pernah menulis “la révolution dévore ses enfants”—revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Perumpamaan inilah barangkali yang dapat menggambarkan akhir riwayat tragis Amir yang kemampuan orasinya disebut-sebut hanya kalah oleh Sukarno.
Sulit dibantah bahwa Amir memiliki kontribusi besar dalam mengimajinasikan dan membangun Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Bersama Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, Amir juga termasuk empat tokoh yang memimpin Republik di awal masa berdiri. Namun ada salah satu jejak riwayat pergerakan dan pemikiran Amir yang sumbangsihnya signifikan tapi terlupakan: keterlibatannya dalam Sumpah Pemuda dan bagaimana ia mendorong gagasan keindonesiaan yang modern, egaliter, dan majemuk.
Amir terlahir dari keluarga aristokrat Batak pada 27 April 1907. Meski lahir dari keluarga bangsawan, Amir menolak menggunakan gelar kebangsawanannya, Soetan Goenoeng Soaloon. Dia memilih menempuh jalur menjadi “bangsawan pikiran” daripada “bangsawan usul” melalui ilmu pengetahuan dan nalar.
Amir dididik di sekolah elite Eropa di Sumatra Utara. Prestasinya dan kemampuan finansial keluarganya memberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sekolah menengah di Belanda. Di negeri penjajah inilah Amir pertama kali belajar politik, terpikat Revolusi Perancis, dan memperdalam bacaan kesusastran Eropa langsung dari bahasa aslinya.
Setelah lulus dari Gymnasium Leiden di tahun 1927, keluarga Amir mengalami kesulitan finansial. Amir terpaksa kembali ke Indonesia dan mendaftar ke Rechts Hoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) yang baru didirikan tiga tahun di Batavia dengan beasiswa dari pemerintah Belanda.
Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa
Tidak betah tinggal di rumah sepupunya, Soetan Goenoeng Moelia, yang telah menjadi anggota Volksraad dan kepala sekolah menengah prestisius di Batavia, Amir memilih tinggal bersama rekan seniornya sesama mahasiswa hukum, Muhammad Yamin. Ia tinggal di asrama kelompok debat di Jalan Kramat 106 (Indonesisch Clubgebouw). Amir mengagumi Yamin yang ia anggap sahabat sekaligus patron politik. Mereka memiliki minat yang sama secara mendalam pada kebudayaan, sastra, musik, politik, dan agama.
Di dalam asrama Kramat 106 ini berkumpul mahasiswa hukum dan mahasiswa kedokteran yang progresif dan melek politik. Di antara mereka yang tinggal adalah Abu Hanifah, Yamin, Assaat, Abas, Surjadi, dan Mangaraja Pintor. Menurut Abu Hanifah dalam Tales of A Revolution (1977), para mahasiswa ini sering membicarakan dan memperdebatkan soal-soal politik, kebudayaan, masyarakat, kolonialisme Belanda, teori politik yang sulit, dan hal-hal lainnya.
Perdebatan mereka terkadang berlangsung sengit dan mengundang perhatian mahasiswa lainnya untuk bergabung. Sering pula para pemimpin muda, seperti Wongsonegoro, Jusupadi, atau Zainudin, mampir ke dalam perdebatan-perdebatan tersebut. Bahkan apabila sedang berada di Jakarta, Sukarno mampir dan ikut serta dalam diskusi yang diadakan mahasiswa Kramat 106.
Sejarawan Perancis Jacques Leclerc dalam artikel di jurnal Prisma (Vol. 12, 1982) bertajuk "Amir Sjarifuddin 75 Tahun" menyebut pengalaman politik Amir berkembang saat ia bergabung dengan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan menjadi redaktur majalah Indonesia Raya. Amir bergabung dengan PPPI melalui dua organisasi kepemudaan etnis yang terhubung dengan asal-usulnya sebagai orang Sumatra: Jong Sumatranen Bond dan Jong Batak.
Amir juga mengajar paruh waktu di perguruan rakyat yang didirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Di sekolah yang terletak pada pabrik es di Gang Kenari milik Husni Thamrin itu, Amir berkenalan dengan banyak aktivis, salah satunya Arnold Mononutu. Di sinilah Amir mulai terlibat dengan kegiatan-kegiatan politik PNI, meskipun lebih aktif nantinya di Partindo, partai lanjutan PNI.
Ketika Amir bergabung dengan PPPI, seperti dicatat Gerry van Klinken dalam 5 Penggerak Bangsa yang Terlupa: Nasionalisme Minoritas Kristen (2010), timbul kesadaran dalam dirinya bahwa gagasan federasi di antara berbagai kelompok etnis sebagai basis masa depan Indonesia adalah konsepsi yang telah kadaluwarsa. Generasi muda seangkatan Amir lebih meyakini bahwa konsepsi yang lebih sesuai dengan bentuk masa depan Indonesia adalah kesatuan yang dapat menampung segala macam keragaman etnik, agama, tradisi dan bahasa.
Gagasan inilah yang kemudian menjadi landasan dari Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada Oktober 1928. Pada hajatan ini banyak mahasiswa Sekolah Hukum Batavia yang terlibat. Amir sendiri merupakan salah satu organisator Sumpah Pemuda di mana dia berposisi sebagai bendahara. Para pemuda di balik Sumpah Pemuda inilah, bersama sebuah kelompok kecil di Bandung yang dipimpin Sukarno, yang nantinya menyatakan diri sebagai “Angkatan 28”.
Menurut Leclerc dalam Mencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Mereka (2011), bagi Amir, “prinsip harapan (meminjam istilah Ernest Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga gabungan kata: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa”. Amir menganggap manifesto Sumpah Pemuda 1928 ini merupakan “cetak biru” imajinasi sekaligus konsepsi keindonesiaan yang ideal. Rumusan yang digagas Yamin itu mendapatkan inspirasi dari gagasan akademis Belanda mengenai taal-, land-, en volkenkunde yang intisarinya dirumuskan kembali menjadi cita-cita bangsa di masa depan.
Sementara mengenai bahasa nasional, Amir menganggapnya sebagai hal mendasar bagi terbentuknya sebuah bangsa dari unsur-unsur yang heterogen. Bahasa persatuan, menurutnya, diperlukan untuk menjadi pengikat keanekaragaman sosio-kultural yang membentuk Indonesia. Ia menyadari “pentingnya suatu bahasa yang dapat dipergunakan dan dimengerti di seluruh Indonesia dan menjadi alat pertukaran ide dan informasi”. Masalah bahasa nasional merupakan masalah paling mendasar dari sebuah nasion. Amir mempelajari bahasa Indonesia dan, mengutip kalimat Leclerc, “menemukan dirinya sebagai warga negara Indonesia dan identitasnya sebagai bangsa Indonesia.”
Demokrasi & Keindonesiaan yang Modern
Fase kedua perjuangan dan pemikiran Amir yang penting bagi kemunculan gagasan keindonesiaan yang modern adalah ketika ia memimpin Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) di akhir 1930-an. Partai ini didirikan sejumlah aktivis eks Partindo setelah ia bubar karena gerakan nasionalis utama dihabisi pemerintah kolonial. Mengisi kekosongan kepemimpinan nasional karena Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain diasingkan, Gerindo cepat populer di bawah Amir. Partai ini mampu menyatukan beragam sayap dari kaum kiri, serikat buruh, hingga kelompok mahasiswa.
Cara perjuangan yang ditempuh Gerindo adalah melalui metode kooperatif. Perjuangan nonkooperasi radikal ala Partindo dan PNI-baru dinilai sudah tidak efektif karena pemerintah kolonial kian opresif. Di samping Gerindo, kelompok-kelompok yang bersedia ikut serta dalam lembaga-lembaga negara kolonial telah membangun satu partai baru bernama Parindra (Partai Indonesia Raya), di bawah kepemimpinan Soetomo.
Meski sama-sama menjalankan metode kooperatif, keduanya memiliki perbedaan signifikan. Parindra adalah partai yang diisi kaum birokrat priayi dan kelas menengah yang memiliki orientasi lebih elitis dari Gerindo. Sementara itu Gerindo adalah partai “kaum susah” yang melawan “kaum senang”.
Meski demikian, perbedaan yang lebih fundamental adalah Gerindo memiliki tujuan berbeda dari Parindra, yang sebetulnya didasarkan atas pemikiran Amir Sjarifoeddin, yaitu demokratisasi dan antifasisme. Merle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) menyebuttujuan Gerindo ialah terbentuknya parlemen penuh bagi Indonesia, tetapi atas dasar kerja sama dengan Belanda dalam melawan ancaman bersama, khususnya fasisme.
Dalam bayangan Gerindo, “independensi” gerakan sudah tidak lagi relevan dikembangkan, namun “demokrasi” lebih relevan dan memungkinkan partisipasi dalam institusi koloni. Demokrasi dalam bayangan Amir bukan hanya berkaitan dengan cara atau mekanisme yang ditempuh Gerindo dalam mencapai misi politiknya, tetapi juga terciptanya masyarakat ideal yang demokratis bagi Indonesia merdeka.
Mengapa Amir Sjarifoeddin tiba-tiba beralih ke arah pemikiran demokrasi daripada antikolonialisme?
Terdapat dua faktor yang mendasari pemikirannya ini: (1) analisisnya atas perkembangan internasional dan sistem politik global mengerucut pada pertarungan antara demokrasi dan fasisme; (2) problem politik kebangsaan dalam negeri yang belum selesai hingga masa itu: siapakah dan apa definisi dari “orang Indonesia”.
Perhatian Amir terhadap demokrasi telah dimulai sejak mendirikan majalah Kebangoenan pada 1936 bersama Yamin, Sanusi Pane, dan tokoh Tionghoa Liem Koen Hian. Dalam tulisan-tulisannya di majalah tersebut, Amir menyoroti dengan jeli bahwa Indonesia sedang menghadapi potensi ancaman baru dalam bentuk ekspansi fasisme Jepang di Asia. Jepang terus bergerak ke arah selatan Asia setelah menyerbu Cina di tahun 1931.
Bagi Amir, sebagaimana dicatat Jacques Leclerc (1982), kekuatan imperium Jepang yang semakin membesar di Asia bukan bertujuan membebaskan Asia, melainkan akan menjadi penjajah baru yang hendak mendirikan rezim teror di tanah yang dikuasainya. Dengan nada sinis, Kebangoenan melihat bahwa “Asia untuk bangsa Asia” yang menjadi slogan propaganda Jepang berarti “Asia untuk bangsa Jepang” dan hal ini berarti “Asia di bawah rezim fasis”.
Menurut Amir, tidak akan ada kemerdekaan melalui fasisme. Amir berbicara bahwa politik dunia hari ini bukan lagi diwarnai pertarungan antara Timur dan Barat, tapi “pertentangan antara demokrasi dan fasisme”. Demokrasi adalah kemerdekaan dan fasisme adalah penindasan.
Parindra dan pemimpinnya, Soetomo, memiliki cara pandang yang bertolak belakang melihat ekspansionisme Jepang dibandingkan Amir Sjarifoeddin-Gerindo. Setelah kembali dari perjalanan studi ke Jepang, Soetomo menuliskan pengalamannya di negeri matahari terbit itu dengan antusias dalam koran Parindra. Menurut Soetomo, konflik Jepang versus Cina merupakan sengketa antarnegara dan tidak memiliki relasi dengan Indonesia dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan sistem politik Jepang.Pandangan ini kemudian dikritik Liem Koen Hian dalam Kebangoenan. Soetomo lalu menuduh pandangan Koen Hian lebih didasari sentimen sebagai orang Tionghoa, bukannya sebagai bangsa Indonesia.
Konsepsi Parinda mengenai "orang Indonesia" dan "bangsa Indonesia" menjadi dorongan bagi Amir untuk mengangkat gagasan soal pentingnya demokrasi dan gagasan Indonesia modern dalam negara merdeka. Dalam pendirian Parindra-Soetomo, orang Tionghoa, Arab, atau kelompok lain yang oleh Belanda digolongkan sebagai vreemde oosterlingen (bangsa Timur asing) tidak dapat dikatakan sebagai orang Indonesia. Kategori orang Indonesia sejati hanya dapat diberikan kepada orang-orang pribumi.
Pandangan Parindra yang anti-Cina, baik secara internasional maupun nasional, itu ditentang Gerindo dan Amir Sjarifoeddin. Masalah rasisme, yang juga terdapat kuat dalam paham fasisme, telah mendorong diskusi yang mendalam pada kata “bangsa” dan perjuangan “nasional” secara lebih luas.
Dalam pandangan Amir, sebagai sebuah partai “pioner”, Gerindo harus mendefinisikan ulang istilah bangsa Indonesia secara lebih dinamis, tidak kaku seperti definisi yang dikemukakan Parindra. Amir, seperti diungkapkan Gerry van Klinken, berpendapat pengertian “bangsa Indonesia” bukan ditentukan oleh darah, melainkan “cita-cita bersama dan keinginan bersama mengejar cita-cita itu”. Bangsa terdiri atas orang-orang yang mau berjuang dan berkorban mati-matian untuknya.
Secara garis besar pandangan Amir melanjutkan formulasi keindonesiaan awal yang telah dibangun trio Indische Partij (Douwes Dekker, Tjiptomangunkusumo, dan Soewardi Suryaningrat) dan diangkat secara populer oleh Sukarno pada 1920-an. Namun pengangkatan kembali gagasan keindonesiaan modern oleh Amir pada 1930-an sangat penting di tengah merebaknya semangat fasisme dan diangkatnya kembali sentimen kepribumian hanya beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka.
Hingga hari ini bahkan wacana primordialisme pribumi dan nonpribumi masih diangkat oleh beberapa kelompok dalam panggung politik Indonesia. Karena itu gagasan Amir Sjarifoeddin mengenai keindonesiaan yang modern, demokrasi, dan antifasisme perlu didiskusikan kembali.
==========
Wildan Sena Utama adalah pengajar pada Prodi Ilmu Sejarah UGM dan kandidat doktor ilmu sejarah di University of Bristol, Inggris. Ia menulis buku Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme (2017) yang diangkat dari tesis masternya di Leiden University.
Editor: Ivan Aulia Ahsan