Menuju konten utama

India Tak Perlu Tiru Indonesia soal Toleransi Beragama, Pak Wapres

India tak perlu mencontoh Indonesia karena di sini pun kasus intoleransi marak terjadi.

India Tak Perlu Tiru Indonesia soal Toleransi Beragama, Pak Wapres
Tentara Paramiliter India berjaga-jaga di daerah yang menyaksikan kekerasan pada hari Selasa di New Delhi, India, Rabu (26/2/2020). (AP Photo/Rajesh Kumar Singh).

tirto.id - India bergejolak di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi. Warga beragama Islam dan Hindu berkonflik, dipicu oleh keberadaan Undang-Undang Amandemen Warga Negara alias Citizenship Amendment Bill (CAB).

Peraturan ini dituding anti-muslim karena, salah satunya, mengatur bahwa imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan dapat mendapatkan kewarganegaraan, terkecuali mereka yang beragama Islam.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, pemerintah Indonesia seperti punya tanggung jawab turut serta menengahi konflik horizontal ini. Wakil Presiden Ma'ruf Amin, misalnya, berharap India dapat meniru Indonesia.

"Kami menginginkan agar India bersikap seperti kita, Indonesia, yaitu membangun toleransi, moderasi di dalam beragama," ujar Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (4/3/2020) lalu.

Seluruh agama yang ada saat ini harus bersikap moderat, kata Ma'ruf. Dan sikap moderat pula menurutnya jalan keluar dari konflik di India. "Sehingga bisa menjaga harmoni dan rukun," kata ketua non-aktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengatakan solusi moderat dari Ma'ruf ini di satu sisi memang tepat, tapi jadi keliru karena yang ia contohkan adalah Indonesia, negara yang juga punya masalah akut soal toleransi antarumat beragama.

"Kalau mau mawas diri, terlalu banyak kasus [intoleransi]," kata Halili kepada reporter Tirto, Ahad (8/3/2020).

Salah satu contoh intoleransi yang sempat ramai adalah pelarangan merayakan Natal bersama di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Mereka hanya diizinkan merayakan Natal di rumah masing-masing oleh pemerintah setempat dengan dalih "kesepakatan bersama". Komnas HAM menyatakan pelarangan ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kasus lain yang juga sempat ramai adalah perusakan bangunan yang berfungsi sebagai musala di Perumahan Agape Griya, Desa Tumaluntung, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, akhir Januari lalu.

Ada juga kasus penolakan renovasi Gereja Katolik Santo Joseph di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, oleh sekelompok orang yang menyebut diri Aliansi Peduli Kabupaten Karimun.

Halili menegaskan kalau pemerintah kerap tak mengintervensi kasus-kasus intoleransi meski jelas punya wewenang.

"Dari situ kelihatan betul pemerintah tidak punya political will menyelesaikan kasus-kasus itu. Coba tengok sekitar, contoh kasus sudah sangat jelas. Negara tidak melakukan apa-apa, bahkan hukum tidak bisa memberikan keadilan bagi minoritas yang menjadi korban," Halili menegaskan.

Ketika ada penolakan dalam kasus Gereja Santo Joseph di Karimun, misalnya, pemerintah 'mengarahkan' agar semua pihak menjaga situasi dengan cara tunduk kepada proses hukum yang berlangsung, yakni peradilan. "Tapi, kata Halili, "pengadilan itu cara pemerintah menghindar dari mengatasi masalah sesungguhnya."

Deputi Direktur Riset ELSAM, LSM yang bergerak di bidang HAM, Wahyudi Djafar, mengatakan saat ini belum ada kebijakan yang memadai apalagi menyeluruh untuk menyelesaikan kasus intoleransi. Joko Widodo belum juga mengeluarkan peraturan atau mencabut regulasi diskriminatif setelah lima tahun menjabat.

"Kalau ada penyelesaian di level lokal pun, pemerintah daerah yang berinisiatif ambil proses mediasi antarkelompok," kata Wahyudi kepada reporter Tirto.

Urus Negara Sendiri

Juru Bicara Gereja Kristen Indonesia Yasmin Bogor, Jayadi Damanik, turut merespons pernyataan Ma'ruf. Menurutnya pernyataan Ma'ruf menunjukkan bahwa pemerintah arogan dan merasa diri lebih baik soal toleransi, padahal tidak.

"Rendah hati saja karena masing-masing negara punya kedaulatannya sendiri. Sebaiknya Indonesia tidak merasa lebih hebat dari negara lain," katanya ketika dihubungi reporter Tirto.

Ia lantas mengatakan ketimbang Ma'ruf "mengurusi negara lain, harusnya urus negara sendiri saja."

Jemaat GKI Yasmin adalah satu dari sekian banyak korban intoleransi, juga Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia, yang sama-sama tidak punya rumah ibadah. Mereka kerap menggelar ibadah di depan Istana tiap dua pekan sekali.

Baca juga artikel terkait TOLERANSI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri