Menuju konten utama

Jogja Marak Intoleransi, Romo Magnis: Jokowi Tak Boleh Diam

Kasus intoleransi yang marak di Yogyakarta tak boleh lagi dianggap remeh. Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X diminta untuk tak lagi membiarkan ada intoleransi.

Jogja Marak Intoleransi, Romo Magnis: Jokowi Tak Boleh Diam
Tugu Jogja di malam hari. foto/istockphoto

tirto.id - Budayawan Romo Franz Magnis Suseno menyebut, Jokowi harus menginstruksikan aparat negara agar tidak membiarkan tindakan intoleran muncul.

“Jadi harus ada ketegasan. Supaya masyarakat tahu. Itu sampai sekarang belum ada ketegasan yang konsisten,” kata dia, dalam konferensi pers diskusi yang digelar Interfedei, di Yogyakarta, Rabu (20/11/2019).

Negara kata dia, harus bersikap intoleran terhadap intoleransi secara konsisten. Mereka yang mau merusak toleransi, kata dia, tak boleh ditoleransi.

Bila negara, kata dia, membiarkan massa yang beringas seperti menyebabkan rumah ibadah ditutup atau acara diskusi dibatalkan merupakan sinyal yang sangat buruk.

“Tak boleh terjadi. Yang terjadi di dalam rangka [sudah dilindungi] hukum harus dilindungi [negara] dengan segala konsekuensi,” imbuh dia.

Kasus intoleransi di Provinsi D.I. Yogyakarta terbaru yakni pembubaran upacara Paguyuban Padma Buwana Mangir di Dusun Mangir Lor, Pajangan, Bantul, pada 14 November 2019. Masyarakat dan kepolisian mengentikan acara doa pemeluk Buddha dan Hindu itu.

Magnis juga bilang, masyarakat bersikap toleran dan tak boleh membiarkan sikap intoleran.

“Sikap lunak terhadap negara selama ini dan [sikap] orang-orang intoleran memprotes sesuatu [acara agama atau rumah ibadah] akan menghancurkan toleransi kita sendiri. Tentu yang menjadi acuan [seharusnya] adalah Pancasila,” kata dia.

Kasus lain di DIY yakni pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) Geraja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Sedayu, Bantul. Pencabutan ini berdasar SK Bupati Bantul Nomor 345/2019. Saat ini SK ini tengah digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta.

Direktur Institute For Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfedei), Elga Sarapung mengatakan, pencabutan diduga berbau politis, karena melibatkan partai politik yang mendukung bupati.

“Saat ini mereka kalau ibadah di gereja Jawa lain yang jaraknya 3 kilometer. Sebelumnya kan hanya 1 kilometer dari pemukiman. Apalagi Natal ini sudah dekat,” ungkap dia.

Pencabutan IMB ini, kata dia, bertentangan dengan Instruksi Gubernur DIY nomor 1/INSTR/2019 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial per April 2019. Instruksi gubernur tersebut berisi delapan poin yang ditujukan kepada bupati dan wali kota di DIY.

“Kami apresiasi instruksi gubernur ini, tapi belum cukup, karena hanya beberapa poin saja instruksinya,” kata dia.

Surat instruksi ini terbit beberapa hari setelah ada kasus intoleransi di Dukuh Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, DIY pada 2 April 2019.

Sebuah keluarga beragama Katolik dan Kristen ditolak tinggal karena beda keyakinan berdasar aturan dukuh setempat.

Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Amin Abdullah mengatakan, saat ini Gubernur DIY sudah bereaksi terhadap intoleransi dengan mengeluarkan instruksi gubernur. Meskipun pengaruhnya baru sedikit, tapi ini langkah berani.

“Sekarang tak bisa lagi bersikap permisif [terhadap intoleransi]. Harus to say no terhadap hal-hal intoleran. Mestinya sekarang ini tetap toleran tapi aktif. Saya kira sultan [Gubernur DIY] sebagai pimpinan kultural cukup memberi jaminan kepada kedamaian,” imbuh dia yang juga hadir di konferensi pers.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hard news
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz