tirto.id - Presiden Joko Widodo membuka kemungkinan aktivis Reformasi 1998 menjadi menteri di bawah kepemimpinannya pada periode 2019-2024. Hal ini diungkapkan Jokowi saat menghadiri acara hahalbihalal di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (16/6/2019).
“Sebagian besar sudah ada yang menjabat bupati, di DPR, wali kota, atau jabatan yang lain. Namun saya juga dengar ada yang belum, saya lihat di menteri belum [ada dari kalangan aktivis 1998],” kata Jokowi.
Selain itu, mantan gubernur DKI ini juga akan membuka kesempatan bagi mereka untuk menjadi Duta Besar atau pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Poin pentingnya, kata Jokowi, aktivis 1998 bisa membantu dirinya di pemerintahan untuk lebih leluasa membuat kebijakan.
“Saya dalam lima tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi keputusan-keputusan yang bila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini, akan kami kerjakan,” kata Jokowi.
Namun, jika wacana tersebut terealisasi, belum tentu bisa membuat pemerintahan atau kasus penegakan hak asasi manusia (HAM) menjadi lebih baik. Penilaian ini diungkapkan Direktur Eksekutif Lokataru yang juga aktivis 1998, Haris Azhar.
Mantan koordinator KontraS ini berdalih, selama ini beberapa aktivis 1998 sudah berada di kubu pemerintah, atau setidaknya menjadi wakil rakyat di parlemen. Namun, kata Haris, tetap saja kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak selesai.
“Kasusnya enggak jalan,” kata Haris saat dihubungi reporter Tirto, pada Selasa (18/6/2019).
Haris mencontohkan aktivis 1998 yang menjadi anggota legislatif. Salah duanya adalah Masinton Pasaribu dari Fraksi PDI Perjuangan dan Desmond Junaidi Mahesa dari Fraksi Partai Gerindra. Sayangnya, kasus pelanggaran HAM yang terjadi saat reformasi 1998 pun tak kunjung terungkap.
Di kubu Jokowi bahkan ada nama Adian Napitupulu dan Budiman Sudjatmiko. Namun, keduanya juga tidak bisa membantu Jokowi menyukseskan Nawacita, khususnya poin keempat yaitu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
“Dulu di 01 sudah banyak ya. Di zaman SBY juga dulu ada. Tapi sampai sekarang enggak ada kontribusinya buat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM,” kata Haris.
Sebaliknya, Masinton Pasaribu, salah satu aktivis 1998 yang mendukung Jokowi mengatakan, wacana petahana itu baik. Dia memandang aktivis 98 tentu mempunyai rekam jejak dalam demokrasi Indonesia.
Masinton menegaskan, tidak ada agenda Jokowi untuk melakukan barter politik dengan aktivis 98. Menurut Masinton, penyelesaian kasus HAM di masa lalu justru menjadi tugas penting yang harus dituntaskan pemerintah ke depan.
“Justru kehadiran aktivis 98 [diharapkan] bisa mendorong percepatan penyelesaian kejahatan HAM,” kata Masinton saat dihubungi reporter Tirto.
Belajar dari Pengalaman
Sedangkan aktivis 1998 lainnya yang sekarang menjabat sebagai Dosen Fakultas Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Irwansyah mengatakan, aktivis jangan sampai mudah terpancing omongan Jokowi.
Yang perlu menjadi catatan, kata dia, ucapan Jokowi bisa jadi hanya sekadar taktik politik jelang jabatan di periode kedua. Sebab, kata dia, masih terlalu cepat untuk membicarakan masalah menteri.
Selain itu, kata Irwansyah, posisi menteri yang diberikan harus strategis dengan perjuangan aktivis 1998.
“Kalau niatnya masih memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi, jangan sembarang posisi menteri. Masa nanti dikasih [jabatan] Menpora? Hubungannya dengan tujuan aktivis 1998 apa?" kata pria yang kerap disapa Jemi ini kepada reporter Tirto.
Dia juga khawatir aktivis 1998 yang bergabung dengan Jokowi bisa melupakan tujuan perjuangannya. Dalam beberapa kasus, kata Jemi, aktivis bisa ikut dalam narasi pemerintah setelah menjabat.
Jemi mencontohkan Teten Masduki yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan malah digunakan untuk melobi petani Kendeng, Jawa Tengah yang memperjuangkan hak mereka. Hal ini bisa saja berulang dan harus dijadikan catatan.
Jemi tidak ingin posisi menteri ini hanya diberikan sebagai barter politik. Dia berharap siapapun yang nanti terpilih --bila ada aktivis 1998 yang jadi menteri-- bisa tetap memperjuangkan masalah hak asasi manusia dan demokrasi.
Menurut Jemi, jangan sampai mengulang masalah tidak tuntasnya penegakan HAM di periode pertama pemerintahan Jokowi.
“Bisa juga dia [wacana aktivis 1998 jadi menteri] disampaikan justru untuk meredam aspirasi seperti itu,” kata dia.
Ia menambahkan “cara keluar dari jebakan itu adalah melihat agenda Jokowi ke depan. Kalau pun dikecewakan nanti, aktivis 1998 bisa berkonsolidasi dan menekan balik Jokowi.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz