Menuju konten utama

Ide Cakada Dipilih DPRD, PDIP: Kaderisasi Parpol Terancam

Ide Prabowo itu akan melemahkan partai politik karena membuat kaderisasi menjadi macet.

Ide Cakada Dipilih DPRD, PDIP: Kaderisasi Parpol Terancam
Presiden Prabowo Subianto memberi hormat sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum melantik pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK periode 2024-2029 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2024). Presiden Prabowo Subianto melantik Setyo Budiyanto sebagai Ketua KPK dan empat Wakil Ketua KPK, yakni Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak dan Agus Joko Pramono, serta lima Dewan Pengawas KPK yaitu Jozua Mamoto, Chisca Mirawati, Wisnu Baroto, Gusrizal, dan Sumpeno. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.

tirto.id - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP, Deddy Sitorus, mengkritisi ide Presiden Prabowo Subianto, yang ingin bupati dan gubernur dipilih langsung oleh lembaga legislatif atau DPRD dan tak lagi melalui kontestasi pemilihan kepala daerah atau pilkada. Menurut Deddy, ide Prabowo itu akan melemahkan partai politik karena membuat kaderisasi menjadi macet.

"Melemahnya partai politik karena macetnya kaderisasi dan minimnya kegiatan partai politik," kata Deddy, saat dihubungi Tirto lewat aplikasi perpesanan, Senin (16/12/2024) malam.

Deddy juga khawatir konflik internal partai politik juga akan meningkat drastis karena lahirnya kecenderungan sikap individualistik di kalangan anggota legislatif. Di sisi lain, ia khawatir bila ide Prabowo itu terealisasi akan memudahkan intervensi oleh mereka yang memiliki kekuasaan dalam mengatur skenario pemilihan kepala daerah.

"Hal ini berpotensi melahirkan gejolak dan instabilitas politik," tutur Deddy.

Deddy mengatakan, masalah tidak akan terjawab bila gubernur hingga bupati dipilih tak melalui proses demokrasi. Sebab, pemilihan oleh DPRD dinilai tidak akan secara signifikan mengurangi biaya, tetapi hanya berpindah kembali dari rakyat kepada elite.

"Rakyat tidak memiliki sense of belonging atau rasa memiliki terhadap calon yang dipilih oleh DPRD, dimungkinkan orang yang dipilih hanya yang punya uang dan bukan karena rekam jejak atau kemampuan," tegas Deddy.

Deddy mengatakan, nantinya kepala daerah terpilih tidak merasa bertanggung jawab terhadap rakyat di daerahnya, tetapi kepada anggota DPRD. Ia mengatakan pengawasan DPRD juga berpotensi melemah dan saling sandera, apabila ide Prabowo tersebut terealisasi.

"Berpotensi menyebabkan konflik elit yang berdampak ke bawah karena perbedaan saat pemilihan di DPRD," kata Deddy.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Golkar, Ahmad Irawan, mengaku setuju dengan wacana gubernur dan bupati dipilih oleh DPRD. Ia mengklaim ide Prabowo itu demi efisiensi anggaran. Namun, kata dia, pemilihan bupati/walikota lebih baik tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.

“Paling bagus menurut saya memang gubernur dipilih oleh DPRD saja. Pertimbangan adalah karena kekuasaan dan wewenang gubernur hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tapi untuk bupati/walikota, lebih bagus untuk tetap langsung,” kata Irawan, dalam keterangannya, Selasa (17/12/2024).

Irawan menjelaskan alasan gubernur lebih baik dipilih oleh DPRD seperti yang diusulkan Prabowo. Pertama, jelas dia, harus memulainya dengan cara pandang bagaimana daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasar asas otonomi daerah.

Asas otonomi daerah yang dimaksud Irawan tertuang dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 sebagai ketentuan konstitusional bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis. Dari asas otonomi daerah tersebut, Pilkada disebut merupakan wujud dari kebijakan desentralisasi politik.

“Jadi, daerah punya otonomi memilih sendiri siapa kepala daerahnya. Dalam design kebijakan desentralisasi kita, otonomi daerah itu ada pada pemerintahan Kabupaten/Kota. Provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat,” kata Irawan.

Menurut Irawan, prinsip dan praktik konstitusional itu dapat dimaknai bahwa Pilkada bisa dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung (direct democracy/indirect democracy).

“Maka dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada atau tidak langsung melalui DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, itu sama demokratisnya dan juga masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme," tukas Irawan.

Ide Prabowo, yang menginginkan kepala daerah tak dipilih melalui pemilu disampaikan saat acara perayaan HUT ke-60 di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024). Prabowo semula mengingatkan besarnya anggaran dana yang dihabiskan karena penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) mencapai puluhan triliun. Ia pun mengajak Puan dan partai-partai politik lain untuk mengevaluasi gelaran pilkada.

"Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai besar, tadi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem parpol, apalagi ada Mbak Puan [Ketua DPR RI], kawan-kawan dari PDIP, kawan-kawan partai-partai lain, mari kita berpikir, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing, ya kan," ucap Prabowo di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).

Prabowo lantas menilai kebijakan negara tetangga lebih efisien terkait pemilihan kepala daerah. Sistemnya, yakni DPRD provinsi maupun kota/kabupaten memilih sendiri kepala daerah masing-masing.

Dengan demikian, pemerintah disebut tidak perlu mengeluarkan anggaran berlebih untuk penyelenggaraan pilkada.

"Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, DPRD itu lah yang milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, efisien, kaya kita, kaya," tutur Prabowo.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang