tirto.id - Siti Nur Jannah, warga Jombok Jombang, Jawa Timur, tak akan pernah menyangka bila banjir yang datang kali ini jauh lebih keparat daripada sebelumnya. Pada mulanya adalah air yang sekonyong-konyong menerobos masuk celah bawah pintu rumahnya pada Kamis (4/12/2024).
Ia tak terlalu menggubris genangan air itu. Bagaimana pun, air itu hanya setinggi mata kakinya. Butuh waktu lama bagi air itu untuk naik menyentuh lutut atau bahkan pinggangnya sebagaimana terjadi pada tiga tahun silam.
Yang dilakukan oleh Siti adalah tetap tenang menghadapi banjir yang tanda-tandanya mulai nampak di pelupuk mata. Karena itu, ia memilih duduk di emperan rumah untuk sekedar melihat kondisi tetangganya dan menanti suaminya yang tak kunjung pulang.
Namun, perasaan itu berubah menjadi khawatir dalam beberapa jam kemudian ketika ia melihat genangan air itu makin lama makin naik. Seketika itu juga ia kembali masuk ke rumah untuk menyelamatkan barang-barangnya.
Merasa bingung atas kondisi yang tak sesuai prediksi, Siti memindahkan barang-barang elektroniknya ke atas meja. Alih-alih terselamatkan, barang-barang tersebut justru guling tak karuan.
“Pada saat itu memang kondisi cuaca lagi hujan dan anginnya kencang banget,” terang Siti pada Minggu (15/12/2024).
Dan hanya dalam tempo satu hari, air itu kian menggila dengan mencapai ketinggian 50 cm. Akhirnya, Siti dan hampir seluruh warga Desa Jombok Jombang terkurung dan tak bisa keluar dari rumah.
“Air mulai naik sampai 50 cm itu Jumat, 5 Desember 2024. Kalau dulu itu butuh waktu seminggu untuk naik sampai segitu. Pada hari itu, kami tak bisa keluar rumah karena terjebak oleh banjir,” kenang perempuan berusia 34 tahun itu.
Muhammad Chairul Astanam, pria berusia 28 tahun warga Jombang, kecewa sekaligus marah atas banjir yang kembali menerpa desanya. Menurutnya, datangnya kembali banjir dengan intensitas yang jauh lebih parah menunjukkan kinerja Pemda Jombang yang memang tak serius menuntaskan masalah ini.
“Banjir ini terjadi tepatnya di Dusun Beluk. Untuk sawah tak hanya di Dusun Beluk yang kena banjir, melainkan juga Dusun Balong walau hanya sekitar 30-40 persen saja. Tapi untuk Dusun Segunung dan Dusun Plosorejo itu nggak kena banjir,” katanya menerangkan kepada kontributor Tirto, pada Minggu (15/12/2024).
Ia mengatakan, Pemda Jombang seharusnya dari dulu mendengarkan aspirasi dan kritik masyarakat ketika akan membangunan bangunan penyaring sampah pada 2019. Pasalnya, bangunan tersebut justru menyumbat dan membuat sampah menjadi menggumpal.
“Itu karena bangunan penyaring sampah dibangun terlalu dekat dengan dam sipon. Sehingga, alih-alih menyaring secara efektif, bangunan tersebut justru menghambat sampah yang mana membuat aliran air tidak lancar,” ujarnya.
Ini ditambah dengan tanaman eceng gondong yang menumpuk di bangunan tersebut. Selain berasal dari sawah warga, ia juga tak mengelakkan sifat tanaman itu yang cepat berkembang biak.
“Makanya pemda Jombang seharusnya mengantisipasi pengendalian eceng gondok itu. Kalau sebelumnya diantisipasi kan banjir besar kayak gini nggak mungkin terjadi,” kata pria yang akrab disapa Aan itu.
Namun demikian, Aan juga tak bisa mengelakkan pada kondisi kerapuhan tanah yang ada di Dusun Beluk. Ini mengingat sejak 1926 tanah di sana dibor oleh PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang untuk diambil iodiumnya. Walau sejak Februari 2024 perusahaan tersebut sudah tak aktif mengebor lagi, namun dampaknya pada tanah tak bisa hilang begitu saja. Apalagi juga, PT Lapindo Brantas pernah melakukan eksplorasi minyak kendati hanya 7 bulan.
“Yang namanya pengeboran itu kan mengakibatkan penurunan muka tanah. Jadinya kan tanah fungsinya minim dalam menyerap air. Dengan adanya bangunan penyaring sampah itu, banjir akhirnya gampang terjadi,” terangnya.
Banjir Membunuh Kehidupan Warga
Aan duduk termenung di sebuah posko Balai Desa Jombok. Ia merasa sedih karena tak dapat menikmati hasil panen ikan yang telah ia ternak. Ikan itu amblas begitu saja ketika banjir menerpa desanya.
“Saya tak sempat memikirkan kondisi ikan saya pas banjir. Tiba-tiba sudah ludes begitu saja. Padahal sedikit lagi mau panen,” kenangnya.
Aan bercerita bahwa kondisi nestapa seperti itu tak hanya dirasakan olehnya, melainkan juga warga lain yang terdampak banjir. Bagi mereka yang menjadi petani, sawahnya telah tenggelam yang mengakibatkan gagal panen. Sementara mereka yang menjadi pedagang, buruh industri, kuli bangunan atau profesi lainnya harus rela menghentikan pekerjaannya.
“Entah kerugian materiil atau non-materiil itu sangat besar karena banjir ini. Barang-barang warga rusak, sawah-sawah petani tenggelam, warga tak bisa bekerja. Untuk kerugian sawah saja itu kalo ditotal bisa sampai miliaran rupiah,” ungkapnya.
Aan pun bercerita tentang banyaknya ular yang berdatangan sejak adanya banjir. Beberapa warga terkena patok ular yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan mereka.
“Selama ini, hanya ada beberapa warga yang luka-luka kena patok ular. Tapi untung nggak ada korban jiwa,” katanya dengan syukur.
Sehingga, Aan menganggap banjir yang datang kali ini seolah telah membunuh kehidupan warga. Pasalnya, warga yang terdampak banjir harus rela tinggal di tempat pengungsian tanpa bisa melakukan aktivitas normal seperti sebelumnya.
“Sejak hari ketiga banjir itu listrik dipadamkan total di Dusun Beluk. Itu dilakukan biar nggak terjadi korsleting. Nggak tahu kapan akan dihidupkan lagi. Mau bagaimana lagi banjir tak kunjung surut dan akhirnya kehidupan kami mati total,” kata Aan.
Walau demikian, ia tak memungkiri bantuan yang banyak mengalir dari berbagai pihak. Saking banyaknya, tak bisa disebutkan satu per satu bantuan yang selama ini diterima oleh warga.
“Bantuan yang selama ini diterima oleh warga itu sangat banyak, baik dalam bentuk perorangan maupun organisasi. Bahkan, Mensos sendiri juga turut memberikan bantuan. Katanya sih sekitar 300 jutaan,” jelas Aan.
Kondisi nestapa tersebut juga dialami oleh Yatno, suami Siti. Ia bercerita bahwa dulunya ia bekerja sebagai buruh di PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang. Namun, semenjak perusahaan itu mengalami krisis, tak bisa lagi bekerja di sana.
“Saya sekarang pengangguran. Dulunya sih bekeja di PT Kimia Farma. Tapi kemudian katanya dirumahkan karena lagi krisis. Setelah banjir nggak tahu nanti mau bekerja apa. Fokus mau membersihkan rumah dulu,” katanya dengan senyum pahit.
Ia pun memikirkan kondisi anaknya yang tak bisa bersekolah. Anaknya terpaksa meliburkan diri karena akses jalan ke sekolahnya ditutup. Lagipula sekolah anaknya juga turut terendam banjir.
“Lha wong sekolahnya juga ikut kebanjiran, mana bisa anak saya bersekolah,” ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Kepala Pelaksana BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Jombang, Wiko Birawa, mengatakan akan selalu memfasilitasi dan melayani kebutuhan warga. Ia mengatakan bahwa sejak tanggal 7 pihaknya sudah berada di Jombang guna mendampingi warga yang terdampak banjir.
“Sebagai wakil Pemda Jombang, kami memfasilitasi dan menjamin kebutuhan masyarakat Desa Jombok yang terdampak banjir dapat terpenuhi. Ini bisa dilihat dari kedatangan kami di sini sejak hari Sabtu yang lalu (7/12/2024),” kata Wiko, Minggu (15/12/2024).
Namun, bagi Aan, fasilitas dan jaminan itu tak cukup. Baginya, bila Pemda Jombang memang berniat serius menanggulangi masalah ini, mereka harus selalu mengantisipasi berbagai penyebab yang menjadi pemicunya.
“Selama ini saya mengapresiasi kinerja Pemda Jombang yang banyak memberikan warga bantuan dan datang ketika banjir datang. Tapi hal itu harus dibarengi dengan pencegahan dari awal atau antisipasi. Dulu, misalnya, kami mengatakan bahwa ada sampah menumpuk di bangunan penyaring sampah itu, tapi mereka tidak percaya. Dugaan sih karena tak mau mengeluarkan biaya operasional,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Anggun P Situmorang