tirto.id - Sukma Hidayat (38) dan istrinya Marlia Agustina (34) harus menahan sakitnya akibat terkena cairan cuka pare dan cabe berjenis H2SO4 pada 31 Januari 2017 lalu. Penyiraman tersebut disinyalir adalah buntut panjang intimidasi yang diterimanya sejak melaporkan dugaan korupsi dana bantuan sosial di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan pada 15 Desember 2016 lalu senilai Rp800 miliar dari dana APBD sejumlah Rp1,7 triliun.
Terkait peristiwa itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai intimidasi semacam itu bukanlah berita baru. Dari catatan yang diterima ICW, intimidasi seperti ini telah terjadi sekitar 186 kasus sepanjang dua tahun terakhir.
"Kasus seperti ini dari catatan yang kami miliki selama dua tahun terakhir ada 186 kasus. Mayoritas sekitar 122 kasus atau sekitar 65,59 persen, pelakunya terdiri dari Kepala Desa," kata Divisi Investigasi Kasus ICW, Tama Satrya Langkun, di Kantor LPSK, Cijantung, Jakarta Timur, Kamis, (02/03/2017).
Sementara untuk posisi kedua, lanjut dia, ditempati oleh Aparat Desa dengan jumlah intimidasi 26 kasus atau sekira 13,96 persen. Di posisi ketiga dihuni oleh Pelaksana Kegiatan Ekonomi Desa sebanyak 14 kasus atau sekitar 7,53 persen. Di posisi keempat juga dilakukan oleh LSM berasosiasi dengan pemerintah dan warga setempat dengan 11 kasus atau 5,91 persen. Fasilitator atau petugas penjaga fasilitas (PNPM) sebanyak 7 kasus atau 3,76 persen. Pelaku lainnya juga dilakukan oleh Petani senilai 4 kasus atau 2,15 persen dan pelaku terakhir dilakukan oleh Penyedia Barang/Jasa sebanyak 2 kasus atau 1,08 persen.
Tama menyebut bahwa kasus intimidasi serupa juga pernah dialami olehnya. Dia masih ingat benar bagaimana rasanya menjadi korban kecelakaan tunggal di sekitar Duren Tiga, Kalibata pada satu dekade lalu. Saat itu, dia mengatakan bahwa dirinya tengah melakukan investigasi korupsi besar, tiba-tiba saat mengendarai sepeda motor, ada seseorang menendang motornya, sehingga motornya terjatuh.
Kasus intimidasi lainnya juga dialami oleh mitra kerja ICW, yaitu Koordinator Walhi Sumatera Selatan, Anwar Sadat. Saat tengah melakukan aksi penuntutan perusahaan perusak alam di Palembang, Anwar Sadat justru menjadi terpidana kasus perusakan alam, padahal ia hanya membuat pagar pembatas hutan lindung di sana. Saat itu, ICW tengah meminta tolong menelusuri kasus korupsi migas yang merusak hutan lindung di Palembang.
"Intimidasi itu juga menimpa saya dan rekan-rekan saya. ICW dan mungkin masyarakat lain jadi sedikit takut untuk berkomentar apa-apa. Dan mungkin takut untuk merilis temuan kami. Karena ancaman pembunuhan, dan intimidasi berbahaya lainnya pasti kami terima," jelas Tama.
Menurut Tama munculnya pelaku intimidasi tak lepas dari modus korupsi yang sudah dilakukan. Mengingat modus tersebut sudah tercium aktivis pemberantas korupsi telah diketahui masyarakat, tentu saja membuat pelaku korupsi kebakaran jenggot.
Ia juga menjelaskan, dari investigasi yang dilakukan ICW, biasanya ada beberapa modus yang dilakukan pejabat korup menutupi kebohongannya. Modus tersebut terdiri dari beberapa jenis, yakni mark up yang terjadi di 8 kasus, penggelapan dengan 64 kasus, laporan keuangan fiktif 6 kasus, penyalahgunaan anggaran 21 kasus, gratifikasi barang mewah dengan 1 kasus. Modus lain yang ditemui juga adalah penyalahgunaan wewenang sebanyak 12 kasus, pemotongan anggaran tanpa sebab 7 kasus, pungutan liar 9 kasus dan proyek fiktif sebanyak 5 kasus.
"Untuk pengawalan, harus ada lembaga-lembaga yang diajak, seperti LPSK. Kita juga harus mulai sadar bahwa keuangan dan kemampuan daerah dan inspektorat, kita lihat itu kan juga tak maksimal. Kalau inspektorat maksimal tak perlu ada tim saber pungli. Ini menjadi perhatian dan dijadikan titik tekan Pemerintah Jokowi," kata Tama S Langkun.
Tama juga menyebut dari data teranyar yang dihimpun ICW, korupsi desa telah mencapai 186 orang dengan potensi kerugian negara senilai Rp206 triliun. Penemuan kasus korupsi di daerah ini menjadi semakin terlihat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan keleluasaan untuk menindak korupsi di berbagai provinsi dan di kabupaten yang dijabat oleh Gubernur juga Bupati.
"Menurut saya banyak keuntungan dari desentralisasi wewenang KPK yang tadinya berada di Ibu Kota saja, sekarang merambah ke wilayah terpencil di daerah. Tapi hambatannya bottle neck hambatan antara pengawasan lemah dan masifnya intimidasi," jelas Tama S Langkun.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Alexander Haryanto