tirto.id - Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi nomor 5 tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat mendapat kritik dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Peraturan ini diteken Menristekdikti Mohamad Nasir pada 22 Januari 2019. Dalam Pasal 2, disebutkan program profesi advokat dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Terdapat tiga syarat untuk menggelar program tersebut, yakni perguruan tinggi memiliki program studi ilmu hukum program sarjana, akreditasi minimal B, dan bekerjasama dengan organisasi advokat.
Direktur Eksekutif ICJR, Anggara Suwahju mengatakan, peraturan menteri ini berpotensi melanggar undang-undang yang berdampak menghilangkan peran organisasi profesi advokat.
"Permesristekdikti bukan hanya menghilangkan peran organisasi advokat, tapi juga pengangkatan advokat. Selama ini organisasi advokat telah berperan dalam PKPA (pendidikan khusus profesi advokat). Dengan peraturan baru ini, peran mereka bisa hilang," kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, saat dikonfirmai Tirto, Senin (25/3/2019).
Menurut dia, dalam pertimbangan permenristekdikti, hanya berdasar Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Hal ini, kata dia, bertentangan dengan Pasal 2 ayat 1 UU nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Pasal itu berbunyi, "Bahwa yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) yang dilaksanakan oleh organisasi advokat."
Peraturan menteri, kata dia, juga bertentangan dengan konstitusi. Terdapat dua putusan Mahkamah Konstitusi yakni nomor 103/PUU-XI/2013 dan 95/PUU-XIV/2016 terkait terkait uji materi UU 18/2003.
Kedua putusan ini, imbuh dia, menguatkan UU Advokat, yakni organisasi profesi berhak menggelar PKPA bekerjasama dengan perguruan tinggi.
"Pemberian kewenangan perguruan tinggi melalui Permenristekdikti ini bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan UU yang mendasarinya," ungkap dia.
ICJR, kata dia, meminta agar Menristekdikti mengkaji ulang Permenristekdikti 5/2019 dan menyesuaikannya dengan UU Advokat dan UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum.
"ICJR juga menyerukan agar organisasi Advokat untuk segera mengambil sikap terhadap permenristekdikti ini," imbuh dia.
Editor: Addi M Idhom