Menuju konten utama

Mr. Besar Martokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama Kelahiran Brebes

Setelah Indonesia merdeka, dia termasuk orang terpelajar yang ikut Republik, meski nyaris jadi korban revolusi sosial.

Mr. Besar Martokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama Kelahiran Brebes
Mr. Besar Martokoesoemo, pengacara pribumi zaman kolonial kelahiran Brebes. tirto.id/Fiz

tirto.id - Setidaknya di Jawa Tengah bagian utara, Mr. Besar Martokoesoemo memang orang besar, meski berperawakan kecil. Di zaman Revolusi dia pernah jadi Residen Pekalongan, yang wilayahnya meliputi Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Pada saat menjabat residen, dia sulit menjalankan tugasnya karena gejolak revolusi sosial Tiga Daerah. Di zaman Jepang, dia adalah Walikota Tegal, lalu Bupati Tegal, dan akhirnya jadi Wakil Residen Pekalongan.

“Kaum radikal menolak pengangkatannya sebagai Residen Pekalongan RI,” kata salah satu mantu dari kakak Mr. Besar, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso, dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 142).

Kata Hoegeng, Mr. Besar punya reputasi internasional. Ia juga mertua dari Pahlawan Revolusi Letnan Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono.

Sebelum jadi birokrat Republik, Mr. Besar dikenal sebagai pengacara era kolonial. Daniel S. Lev dalam Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays (2000: 290) mensejajarkannya dengan pengacara peduli HAM macam Yap Thiam Hien.

Besar Martokoesoemo terlahir sebagai anak priyayi rendah. Di masa kolonial, hidupnya tergolong beruntung. Laki-laki kelahiran Brebes, 8 Juli 1894 ini adalah putra dari Mas Soemoprawiro Soemowidjojo, seorang mantri gudang garam di Pemalang. Menurut catatan Anton E. Lucas dalam The Bamboo Spear Pierces the Payung: the Revolution Against the Bureaucratic Elite in North Central Java in 1945 (1983: 450), “dia dinamai Besar oleh ayahnya karena dia lahir di bulan ke-sepuluh dalam kalender Islam.”

Sebagai anak priyayi, dia disekolahkan di sekolah elite kolonial. Mulai dari SD di Europeesche Lagere School (ELS) di Pekalongan. Lalu sekolah menengahnya dienyam di Hogere Burger School (HBS) Semarang.

HBS tak ditamatkannya, karena dia masuk Recht School (sekolah hukum, yang sering diartikan sebagai sekolah kehakiman) di Betawi. Menurut catatan Medan Prijaji, Th. III, (1909: 467-470) seperti dikurasi Iswara N.R. dalam buku Kronik Kebangkitan Indonesia: 1908-1912 (2008: 229), namanya tercantum sebagai salah satu siswa ketika sekolah ini di buka pada pertengahan tahun 1909.

Besar termasuk siswa di bagian persiapan (Voorbereidende Afdeeling) bersama R.M. Soedarto (anak Patih Banjarnegara), R. Ratrahoedaja (anak penghulu kepala), Mas Moehamad Hasan (anak pensiunan Wedana Sindang Kasing), R. Aroeman (anak Juru Tulis Asisten Wedana Jelegong Banyumas), Raden Hadi (anak Asisten Wedana Lodan Rembang), Raden Soeparto (anak Wedana Ngoenoet Tulungagung), Raden Soebagiyo (anak Wedana Binangun Rembang), Raden Soetikno (anak pembantu kantor kontrolir), Soetan Zainoel Arifin (anak asisten kontrolir Tangerang), dan Raden Abdullah (anak Patih Pati). Semuanya anak priyayi.

Menurut catatan Sudiro dalam Pelangi Kehidupan: Kumpulan Karangan (1986), Besar yang masuk sekolah kehakiman di tahun 1909 dan lulus pada 1915, “Kemudian [...] ditempatkan di Pekalongan sebagai Ambtenaar ter Beschikking (pegawai yang diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Negeri” (hlm. 325).

Pada 1919, dia dipindahkan ke Pengadilan Negeri (landraad) Semarang. Di pengadilan rendah yang biasa mengadili perkara hukum warga negara kelas tiga alias pribumi itu, Besar melihat betapa rendahnya orang-orang pribumi. Menurut Sudiro, Besar sadar dirinya bukan murid yang cerdas di sekolah, tapi ia tak mau berpuas diri dengan hanya bekerja di pengadilan rendah.

Besar ingin punya karier lebih baik lagi. Dia tak mau jadi pembela sekelas pokrol bambu, yang pengetahuan dan pemikirannya di bidang hukum tak bisa dibandingkan dengan sarjana hukum kolonial yang biasanya bergelar Meester in Rechten (Mr). Pengacara dengan gelar Mr tentu jauh lebih baik.

Recht School tidak meluluskan sarjana hukum alias Meester in Rechten. Recht School baru setara sekolah menengah kejuruan. Ketika Besar baru lulus Recht School, Sekolah tinggi hukum alias Recht Hoogeschool (RHS) belum ada di Hindia Belanda. Baru pada 1924 RHS berdiri di lahan bekas Recht School. Kawasan itu kini jadi kantor Kementerian Pertahanan RI. Untuk meraih gelar "Mr" yang lebih dipandang orang, Besar pun hijrah ke Belanda sekitar 1919-1920.

Menurut pengakuan cucunya, Priatno H. Martokoesoemo, seorang penulis buku motivasi, seperti dicatatnya dalam Success Driven Professionals – 30 Prinsip Sukses dari Kaum Professional Yang Tergerak untuk Meraih Kesuksesan (2009), “Kakek saya, Besar Martokoesoemo, sempat memutuskan dirinya dari tali tradisi Jawa guna memahami apa yang diperlukan orang Indonesia agar bisa menjadi sebaik atau bahkan lebih baik ketimbang orang-orang Belanda waktu itu” (hlm. 81-82).

Memilih Karier sebagai Advokat

Besar berangkat dan kuliah dengan dana sendiri. Dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Lulus sekitar 1923. Setelah pulang ke Hindia Belanda, tentu saja dengan menggondol gelar Mr di depan namanya, adalah modal besar baginya untuk membuka praktik pengacara. Menurut Sudiro, “Besar tidak sudi menjadi pegawai dari pemerintah penjajahan lagi. Padahal tawaran-tawaran dengan gaji yang besar berkali-kali disampaikan padanya. Beliau telah memilih pekerjaan swasta sebagai advokat (pengacara).”

Kiprahnya sebagai pengacara yang buka praktik dan berkantor, menurut Iskaq Tjokroadisurjo seperti dicatat Sudiro (1986), diikuti oleh Mr. Soejoedi di Yogyakarta, Mr. Soewono di Surabaya, dan Iskaq sendiri buka di Jakarta. Waktu pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) diburu aparat kolonial, para pengacara Indonesia ini datang membela (hlm. 30-31).

Menurut Daniel Lev dalam No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011: 67), “pada 1923, Besar Martokoesoemo, memulai prakteknya di Tegal.” Dia terbilang suka membantu orang berpendidikan yang punya kemauan seperti dirinya untuk jadi pengacara.

Ada yang menyebut dia juga jadi pengacara di Semarang. “Tiap minggu 2 kali beliau naik kereta api Semarang — Tegal pulang pergi,” tulis Sudiro. Seperti Lev, Sudiro juga menyebut Mr. Besar Martokoesoemo juga pengacara yang buka praktik pertama kali di Indonesia.

Besar terlibat dalam pergerakan nasional, menurut catatan yang dikumpulkan Gunseikanbu—yang belakangan dibukukan menjadi Orang-orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa (1986: 54), laki-laki berpakaian necis yang kerap jadi pengacara untuk orang-orang Belanda di Semarang ini pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo cabang Tegal dari 1934 hingga 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari 1939 hingga 1940.

Meski di zaman kolonial dia pernah ogah jadi ambtenar, di zaman Jepang, setelah hampir dua dekade jadi pengacara di Tegal dan Semarang, Besar Martokoesoemo rela jadi pamongpraja. Setelah Hindia Belanda bubar dan Jepang berkuasa, daerah-daerah yang diduduki Jepang kekurangan birokrat, karena birokrat Belanda-Eropa banyak masuk kamp tawanan.

Akhirnya Besar diangkat sebagai Walikota Tegal, Bupati Tegal, lalu Wakil Residen Pekalongan. Ketika Indonesia merdeka, dia pernah diangkat pula jadi Residen Pekalongan, kemudian Semarang.

Di awal-awal Revolusi, Bersama Residen Banyumas Iskaq Tjokroadisurjo, Besar berhasil mendapatkan banyak senjata dari militer Jepang dengan cara yang diplomatis. Senjata-senjata itu lalu menjadi senjata tentara Republik.

Waktu besar jadi residen di Pekalongan, yang kacau karena Peristiwa Tiga Daerah pada akhir Agustus hingga Desember 1945, banyak priyayi yang dulu dianggap ikut Belanda—serta jadi biang kerok penderitaan rakyat—jadi sasaran. Mulai dari penculikan, penganiayaan, sampai pelecehan. Seperti dialami saudari Kartini, yang bernama Kardinah, di Tegal. Padahal dia dianggap pegiat sosial di kota itu.

Menurut catatan Sudiro (1986: 328), Besar pernah jadi sasaran penculikan kelompok Kutil, setelah Wedana Adiwerna di Tegal dikubur. Tapi, kelompok Kutil tak dapat menyentuhnya, karena Besar dalam perjalanan dinas ke Semarang, untuk memberi laporan pada Gubernur Wongsonegoro. Besar pun akhirnya disembunyikan Panglima Besar Sudirman. Dia dibebaskan 3 bulan setelah peristiwa berdarah itu. Waktu Perundingan Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar berlangsung, Besar menjadi tenaga ahli untuk delegasi Indonesia.

Infografik Mr Mas Besar Martokoesoemo

Menggagas Lembaga Bantuan Hukum

Setelah Revolusi Indonesia selesai, Besar yang sudah jadi pegawai tinggi dan enggan ikut partai ini pernah dijadikan Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman. Jabatan itu diemban hingga 1958. Ketika dia mengemban jabatan tesebut, dia pernah didatangi praktisi hukum muda yang sedang kuliah di Australia. Saat itu, Besar disodori sebuah ide besar.

Itu pemuda begitu bersemangat agar terbentuk lembaga bantuan hukum sebagai divisi pembelaan di Departemen Kehakiman atau Kejaksaan Agung seperti model Public Defender di Amerika Serikat. Si orang muda tahu belaka reputasi Besar. Orang muda itu kemudian berkisah dalam bukunya, Pergulatan Tanpa Henti Volume 1 (2004: 205-206).

Pemuda yang jadi pengacara idealis itu tak lain adalah Adnan Buyung Nasution. Kepada Besar, laki-laki yang dikenalnya sebagai “jurist Indonesia (pribumi) yang pertama kali berhasil menjadi advokat pada zaman Belanda, masa sebelum perang”, itulah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) awal-awal dibicarakan.

Sebelum meninggal dunia pada 23 Februari 1980, Besar pernah jadi Ketua Umum Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) sejak 1965. Menurut catatan Sudiro, dia meninggalkan satu istri, empat anak, dan 20 cucu. Waktu meninggal, dia juga sudah jadi buyut.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan