Menuju konten utama
29 Juli 2006

Daniel S. Lev, Mentor Para Pendekar Hukum Indonesia

Membekas jejak
di jalan juang. Tombak
hukum yang tegak.

Daniel S. Lev, Mentor Para Pendekar Hukum Indonesia
Daniel Saul Lev (23 Oktober 1933-29 Juli 2006), indonesianis yang menulis disertasi tentang transisi politik menuju Demokrasi Terpimpin. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Dan, aku akan membantu merampungkan buku ini menjadi buku yang bagus. Itu janjiku.”

Benedict Anderson mencoba meyakinkan sahabatnya sesama Indonesianis, Daniel Saul Lev, seorang profesor ilmu politik dari University of Washington, yang terbaring lemah di ranjang. Kala itu, kondisi Dan sangat kritis karena kanker paru-paru yang telah dideritanya selama enam bulan kian akut. Dan dikenal sebagai perokok berat.

Di tengah sakitnya, Dan nampak sangat gelisah, bukan karena penyakitnya, tapi lantaran perkara buku. Sebelum kanker menyerangnya, Dan diketahui sedang menyusun biografi yang ia persembahkan untuk kawan karibnya, pengacara-aktivis, Yap Thiam Hien.

Dalam edisi khusus "Yap Thiam Hien Sang Pendekar Keadilan" (2013), Tempo menyebutkan bahwa buku Dan terdiri dari 13 bab. Lima bab pertama sudah selesai. Sementara bagian-bagian lainnya masih berbentuk draf. Draf-draf inilah yang mengganggu pikiran Dan.

Arlene, istri Dan, tak tega melihat suaminya menderita. Ia meminta Benedict Anderson untuk memberikan motivasi pada Dan. Dari situ, terucaplah janji Ben. Tak lama setelah Ben membisikinya, Dan tersenyum simpul sebelum akhirnya menutup mata, tepat hari ini 12 tahun silam, di usianya yang ke-72.

Keingingannya untuk merampungkan buku tentang Yap berhasil direalisasikan istri tercinta dan kolega-koleganya. Lima tahun setelah Dan mangkat, buku tersebut terbit dan diberi judul No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Human Rights Lawyer, salah satu dari sekian magnum opus seorang Daniel Lev yang begitu mencintai Indonesia selayaknya ia mencintai tanah airnya sendiri.

Ditempa Hidup

Dan lahir pada 23 Oktober 1933 di Ohio. Sebagaimana ditulis Sebastian Pompee dalam obituarinya untuk Dan Lev, semasa Dan kecil, Ohio dikenal sebagai negara bagian Amerika Serikat dengan tingkat kriminalitas tinggi, pemerintahan yang korup, dan perang antar-geng. Dan anak bungsu dari lima bersaudara. Ibunya adalah imigran Rusia, sedangkan ayahnya tukang kayu dengan penghidupan pas-pasan.

Tapi, masa muda Dan cukup menyenangkan. Kendati sempat sakit-sakitan, ia senang mengunjungi sinagoga di Youngstown, membantu ayahnya melakukan kerja pertukangan, hingga ikut kompetisi tinju amatir bernama Golden Gloves.

Pada 1955, kala umurnya 22 tahun, Dan lulus dari Miami University di Ohio. Tak lama kemudian, ia menikah dengan Arlene dan memutuskan untuk melanjutkan studi doktoralnya di Cornell University. Di Cornell, Dan bertemu George McTurnan Kahin, profesor kajian Indonesia dan penulis buku babon Nationalism and Revolution in Indonesia (1952). Perkenalan dengan Kahin mengantarkan Dan ke dunia yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya, yang kelak membuatnya jatuh hati: politik Indonesia.

Saking tertariknya dengan politik Indonesia, Dan turut serta dalam Cornell Modern Indonesia Project (CMIP), sebuah program penelitian Cornell's Southeast Asia Program (SEAP) yang bertujuan membikin analisis kontemporer tentang situasi di Indonesia.

Di bawah payung SEAP, CMIIP menghasilkan banyak karya akademik seputar peristiwa politik penting di Indonesia. Mulai perjuangan anti-kolonial, reaksi terhadap pendudukan Jepang, perkembangan pemerintahan sipil pasca-kemerdekaan, sampai lahirnya kediktatoran Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade lebih. Dari program inilah lahir sosok-sosok macam Ruth McVey, Ben Anderson, dan Fred Bunnell yang sempat bikin kuping Orde Baru panas dengan laporan-laporan pembongkar borok rezim.

Ditemani Arlene, Dan pertama kali ke Indonesia pada 1959 dengan menumpang kapal barang Denmark. Sesampainya di Indonesia, Dan memutuskan untuk menetap selama tiga tahun.

“Kami dibesarkan di sana (Indonesia),” kenang Arlene sebagaimana ditulis oleh Seattle Times. “Salah satu hal luar biasa adalah Dan bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Agak tidak biasa bagi orang asing. Umurnya saat itu masih muda dan orang-orang di sana tertarik padanya.”

Tiga tahun dirasa cukup bagi Dan untuk mengenal Indonesia dan merampungkan disertasinya. Ia kembali ke AS dan bekerja sebagai pengajar di University of Berkeley, California. Namun, ia hanya bertahan lima tahun di sana, tepatnya sampai 1970. Seattle Times mencatat, kritik-kritik Dan terhadap kebijakan AS membuatnya kehilangan kursi profesor di kampusnya. Ia pun pindah ke University of Washington yang dianggapnya “lebih liberal secara politik.”

Sosok Dan sangat dihormati di kampusnya yang baru. Kelas-kelas Dan menarik minat mahasiswa karena ia bukan tipikal dosen yang saklek pada jadwal. Ia kerap mengisi kuliahnya dengan agenda diskusi tentang perkembangan politik kontemporer di berbagai belahan dunia. Mahasiswanya didorong untuk aktif dan kritis.

Mendedah Hukum, Mendukung Keadilan

Ketika Dan menginjakkan kaki pertama kali di Indonesia, situasi dalam negeri sedang penuh gejolak. Indikatornya cukup banyak. Dari munculnya pelbagai macam pemberontakan, DI/TII sampai PRRI-Permesta, dinamika parlemen yang memaksa kabinet pemerintahan kerap bergonta-ganti, sampai bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS).

Namun, di antara gejolak tersebut, keputusan Sukarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dianggap paling kontroversial. Ada tiga isi pokok Dekrit Presiden: pembubaran Konstituante (karena gagal membikin UUD baru pengganti UUDS), penetapan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). MPRS berisikan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah utusan golongan dan daerah.

Inilah era Demokrasi Terpimpin, sebuah periode yang lahir berkat desakan Angkatan Darat. Ontran-ontran itu pun menarik perhatian Dan. Dinamika politik yang terjadi selama kurun waktu tersebut kemudian dituangkan Dan lewat disertasinya berjudul The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (1966).

Tak berlebihan jika disertasi Dan, bersama buku Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1970) dan Herbert Feith (The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, 1962) menjadi karya klasik yang melukiskan perkembangan kehidupan demokrasi Indonesia sejak era kemerdekaan, era Sukarno, hingga lahirnya rezim otoriter Orde Baru.

Disertasi Dan soal Demokrasi Terpimpin membuatnya kian getol menyelami politik Indonesia. Ia rutin menulis esai dan beberapa buku yang fokus utamanya tak hanya politik, melainkan juga hukum. Bahkan, amatannya tentang hukum di Indonesia memberi pijakan penting dalam kajian-kajian akademis dan upaya mendukung adanya reformasi hukum.

Hal ini bisa dilihat melalui Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan—diterjemahkan dari Legal Evolution and Political Authority in Indonesia: Selected Essays (2000). Dalam buku itu, Dan membahas hukum dalam perspektif yang lebih luas. Tak sekadar mengulik posisi dan eksistensi hukum sipil (civil law), Dan juga mengupas peran peradilan, kehakiman, sampai birokrasi hukum.

Di bab “Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat” serta “Perubahan Hukum Sipil dari Dewi Keadilan ke Pohon Beringin,” misalnya, Dan menganalisa bagaimana ideologi negara di tahun 1950an dan 1960an punya pengaruh signifikan terhadap pembentukan birokrasi hukum. Sedangkan di bab selanjutnya, Dan menegaskan bahwa seiring berjalannya waktu, hukum adat mulai mencari tempat untuk berperan secara aktif dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang ada.

Kemudian di “Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman,” ia menyoroti transformasi peran hakim dari era pasca-kemerdekaan sampai Orde Baru. Menurut Dan, hakim di masa Orde Baru cenderung bekerja di bawah bayang-bayang mental kolonial. Dalam “Unifikasi Peradilan Pada Masa Pasca-Kolonial,” ia mengatakan bahwa pembentukan sistem hukum di negara-negara terjajah didorong oleh motivasi serupa: keinginan untuk melepaskan diri dari bekas tuan Eropanya.

Menurut Dan, tantangan lain untuk implementasi civil law adalah masih bercokolnya sistem hukum kolonial dalam sistem hukum nasional. Selama sistem itu masih ada—dengan segala instrumen pendukungnya yang mencerminkan karakter penguasa kolonial alih-alih Indonesia—civil law mustahil diterapkan.

Tak ketinggalan, Dan juga menelisik posisi advokat, yang ditulisnya dalam “Tentang Prokol Bambu: Pelapisan, Perwakilan, dan Perantaraan” serta berdirinya lembaga hukum di luar pemerintahan, yang termaktub pada bab “Bantuan Hukum di Indonesia: Biografi LBH.”

Di buku ini pula Dan mengemukakan gagasannya soal peran militer. Menurut Dan, alasan utama mengapa sistem parlementer gagal di Indonesia adalah karena sistem ini tidak mampu memuaskan kepentingan tentara. Ketidakpuasan tersebut lantas membangkitkan gairah militer untuk menumbangkan sistem parlementer—dan akhirnya Sukarno.

Dan menambahkan, ketika Demokrasi Terpimpin rontok melalui pembantaian massal setelah Oktober 1965, muncul desakan keras untuk memberlakukan kembali negara hukum (rechtstaat), suatu bentuk negara konstitusional yang diselenggarakan oleh aturan-aturan hukum.

Namun, harapan itu tak pernah terwujud karena tentara semakin berkuasa dan menyingkirkan bekas sekutu-sekutu sipilnya yang dulu digandeng untuk menumbangkan Orde Lama, misalnya kelompok-kelompok Islam dan gerakan mahasiswa.

Infografik Mozaik Dan Lev

Warisan Dan: LBH/YLBHI

Pagi itu, 30 Juli 2006, Adnan Buyung Nasution mendapat kabar dari Daniel Dhakidae dan Mas Achmad Santosa. Isinya: Dan Lev meninggal tanggal 29 Juli 2006, tepat hari ini 12 tahun lalu, pada pukul 23.20 waktu Seattle. Adnan merasa sangat terpukul.

Bagi Adnan, Dan bukan sebatas peneliti maupun akademisi. Di mata Adnan, Dan adalah mentor, sahabat, sekaligus inspirasi. Kerja-kerja keras akademik Dan telah memberikan sumbangan untuk reformasi hukum di Indonesia.

"Kau amat mencintai Indonesia, amat mendambakan bangsa dan negara ini maju sebagai bangsa yang besar, makmur sejahtera, dan bermartabat di mata dunia. Tidak salah jika kau menganggap Indonesia sebagai negaramu yang kedua yang amat kau cintai,” tulis Adnan sebagaimana dikutip Kompas.

Perkenalan Adnan dengan Dan terjadi pada awal 1960, ketika Adnan baru saja pulang dari studinya di Australia. Adalah John Naro dan Irwan Tirta yang mempertemukan mereka berdua. Sejak perjumpaan tersebut, jalinan persahabatan Adnan dan Dan perlahan tumbuh.

Menurut Adnan, pertemuan mereka kerap diisi diskusi di “rumah pojok di persimpangan Cokroaminoto dan Jalan Madura.” Topik diskusinya macam-macam: dari konsep pemerintahan dan demokrasi konstitusional, eksistensi advokat, sampai peran negara hukum.

Dari obrolan itu, lahirlah konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang kemudian dijadikan landasan oleh Yap Thiam Hien, P.K. Ojong, Loekman Wiriadinata, Hasjim Mahdan, Ali Moertopo, serta Dharsono untuk membentuk LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang berfungsi untuk memberi pelayanan hukum kepada mereka yang tak mampu, pada 28 Oktober 1969.

Pada 23 September 2015, Adnan Buyung Nasution menyusul sang sahabat yang telah pergi sembilan tahun sebelumnya.

Berbicara tentang Dan adalah berbicara mengenai seorang Indonesianis yang gigih, total, dan berkomitmen besar dalam mengupayakan perubahan—mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dan melakukan hal itu karena satu faktor yang jelas: ia mencintai Indonesia seperti ia mencintai tempat lahirnya sendiri.

Baca juga artikel terkait INDONESIANIS atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf