tirto.id - "Jagalah LBH/YLBHI teruskan pemikiran perjuangan bagi si miskin tertindas."
Pesan dalam secarik kertas itu beredar dari satu ruang-percakapan ke ruang-percakapan lain. Ia menjadi postingan di Facebook, Twitter, dan media sosial lain. Penulis huruf-huruf tak beraturan itu adalah Adnan Buyung Nasution, beberapa hari sebelum ia meninggal dunia pada 23 September 2015, tepat hari ini 3 tahun lalu.
Wajar jika pesan untuk menjaga YLBHI dan LBH menjadi wasiatnya yang amat penting. Pengacara kondang ini adalah pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH), lembaga yang hingga sekarang berdiri membela kaum papa saat berhadapan dengan ketidakadilan.
Sebelum ada LBH, bantuan hukum untuk orang miskin adalah amal yang dilakukan pengacara sebagai individu. Namun, Buyung berpendapat bahwa bantuan hukum bisa dilakukan oleh lembaga. Karena itu, bantuan hukum tak lagi sekadar amal atau charity, melainkan tanggung jawab moral orang-orang yang mengerti hukum dan mesti diberikan sebaik-baiknya kepada setiap warga negara, terutama masyarakat miskin dan tak mampu.
Ide ini mulanya dilontarkan saat Kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III pada 1969. Gagasan ini terwujud setelah Buyung menemui Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta saat itu. Ali Sadikin terpukau dengan gagasan Buyung. Dalam buku Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H., sang gubernur menyadari bahwa tidak semua warga Jakarta terpelajar dan kaya. Lebih banyak yang tidak melek hukum.
“Padahal mereka pun mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan keadilan dalam hukum, maka pada 1970 itu saya mengukuhkan pendirian LBH yang berkedudukan di Jakarta,” katanya.
Pembentukan LBH Jakarta dilakukan. Pemda Jakarta juga memberikan bantuan subsidi dana yang awalnya Rp300.000 hingga Rp2,5 juta.
Membela Kaum Tertindas
Bantuan hukum struktural ini kemudian diadopsi dan menjadi panduan seluruh LBH di Indonesia di bawah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Adnan Buyung menekankan bahwa prioritas advokasi dan pendampingan LBH semestinya mengutamakan mereka yang jadi korban dari ketimpangan ekonomi, sosial, politik serta mereka yang hak asasinya direbut.
Abdul Rahman Saleh, mantan Jaksa Agung yang pernah memimpin LBH Jakarta 1981-1984 menyebut bahwa ide ini dibawa Adnan Buyung sepulang dari Australia dan beberapa negara yang sistem peradilannya ia amati dan pelajari.
“Terhadap penyikapan masalah penggusuran orang miskin, LBH tidak semata mempersoalkannya secara hukum. Tapi dari segi politik bagaimana kita memperlakukan orang-orang miskin. Karena itulah, kemudian lahir istilah bantuan hukum struktural. Tidak sekedar membela kaum miskin di pengadilan, tetapi bagaimana harus ada kesadaran politik yang kuat bahwa situasi ini harus diubah demi masa depan,” katanya.
Teten Masduki dan Nursyahbani Katjasungkana, junior Buyung di YLBHI, mengingat sosok Adnan sebagai orang yang mewariskan banyak nilai penting di LBH dan juga menyisakan pengalaman yang sangat personal.
Nursyahbani mengungkapkan warisan penting Adnan Buyung adalah bagaimana ia bisa mendidik juniornya di LBH untuk konsisten membela orang miskin dan menginspirasi orang lain untuk melakukan advokasi terhadap kaum yang rentan.
Tak hanya itu, meski sempat mengalami perbedaan pandangan dengan pengurus LBH, Adnan Buyung menangis saat mengetahui Nursyahbani bersedia jadi pembina YLBHI setelah lama menolak datang ke YLBHI sebagai bentuk protes atas proses pemilihan ketua YLBHI pada 2003.
“Dia merupakan abang dan guru bagi banyak orang,” katanya.
Teten Masduki, kini Kepala Staf Kepresidenan, mengingat bahwa LBH merupakan lokomotif demokrasi, konsep yang dikenalkan Adnan Buyung seusai dia pulang dari Belanda pada 1990.
“Saat itu problem demokrasi memang sudah sangat luar biasa, dan kala itu gerakan civil society sudah matang. Banyak LSM bertumbuhan, juga organisasi buruh independen, sampai kelahiran Partai Rakyat Demokratik (PRD). Di bawah Bang Buyung, LBH menjadi 'ruangan' bagi segala aktivitas yang dilarang,” kata Teten.
Adnan Buyung bukannya tak kontroversial, termasuk bagi junior-juniornya. Buyung pernah masuk ke dalam Tim Advokasi Perwira TNI dalam kasus hak asasi manusia. Ia juga pernah menjadi pembela Gayus Tambunan, terpidana korupsi kasus perpajakan.
Untuk sikap ini, Buyung punya alasan. “Kalau kita membela tersangka, atau perampok, tidak berarti kita membela perbuatannya, tapi ikut dalam proses mengadili seseorang secara fair,” katanya.
Berhadapan dengan Para Junior
Ada juga masa-masa di mana Buyung berdiri di persimpangan. Misalnya saat ia menghadapi juniornya sendiri, dalam kasus yang juga menyangkut juniornya yang lain. Salah satunya terjadi setelah pembunuhan Munir.
Kantor pengacara Buyung saat itu kebetulan merupakan pengacara korporat Garuda; sementara pelaku pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, berstatus sebagai pilot Garuda. Pembunuhan pun terjadi di dalam pesawat maskapai ini. Munir, di sisi lain, dulunya juga pengurus LBH dan YLBHI. Itu artinya Munir adalah junior Buyung.
Di situasi simpang itu, demi menjaga etika, Buyung memilih tak tampil. "Abang tidak akan muncul mewakili Garuda, berhadapan dengan KASUM (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir), tapi juga tidak akan mewakili Munir berhadapan dengan Garuda," kata Kanti, panggilan akrab Muji Kartika Rahayu, menirukan ucapan Buyung.
Beberapa tahun sebelumnya, di Malang, Kanti berhadap-hadapan dengan Buyung dalam kasus demonstrasi buruh pabrik rokok. Buyung, lagi-lagi, adalah pengacara perusahaan pabrik rokok tersebut. Di tengah perjalanan kasus, Buyung menelepon Kanti, berbicara panjang lebar, lalu bertanya, "Kalau masih bisa mediasi, kenapa [buruh] harus demonstrasi?"
"Saya belajar begini kan dari Bang Buyung. Sejak kapan Bang Buyung tunduk sama penguasa maupun pengusaha?" jawab Kanti.
"Oke, oke, kalau begitu. Abang ikut kamu saja," jawab Buyung.
Sebelum menutup telepon, ia berucap, "Kalau ada apa-apa, sebut nama Abang."
Karena pengalaman-pengalaman itulah Kanti melihat Buyung bukan seseorang dengan gambaran pahlawan yang hitam-putih. "Berdiri pada satu posisi, lalu fight secara total, itu sudah biasa," kata mantan Direktur LBH Malang ini.
Buyung istimewa karena ia justru tidak begitu. Buyung sering kali berada di dua posisi yang berseberangan. Secara praktis, ia pun kerap berhadapan dengan junior-juniornya sendiri di LBH-YLBHI. Dan, menurut Kanti, ada kalanya situasi itu terjadi bukan karena kecelakaan, melainkan pilihan sadarnya sendiri.
"Ketika melawan juniornya, dia juga total. Ketika juniornya melawan dia, secara substantif pun dia tetap mendapat nama baik. Sebab, itu hasil didikannya."
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 23 September 2017 dengan judul "Adnan Buyung Nasution, Pendiri dan Penjaga YLBHI". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan