tirto.id - Hukum mengeluarkan air mani oleh tangan sendiri di hari puasa Ramadan membatalkan puasa menurut para ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, Hambali, dan mayoritas ulama Hanafi. Apakah dengan demikian, seseorang yang masturbasi pada hari puasa Ramadhan wajib melakukan qadha?
Mengeluarkan air mani menggunakan tangan disebut dengan onani, masturbasi, dalam bahasa Arab memiliki istilah istimna’. Kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah melihat bahwa hukum asal istimna adalah haram, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Al-Mu'minun ayat 5 – 7 berikut.
“Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu [zina, dan sebagainya], maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas,” (QS. Al-Mu’minun [23]: 5-7).
Di sisi lain, para ulama Hanafi menyebutkan bahwa onani boleh dilakukan dengan catatan keadaan darurat, dan tidak semata-mata hanya melampiaskan dorongan nafsu. Pendapat ulama Hanafi menekankan pada pelaksanaan masturbasi lebih baik, untuk mencegah perbuatan zina di luar nikah.
Pengambilan keputusan ulama Hanafi selaras dengan sebuah perkataan, “Meraih kemaslahatan umum dan menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil sesuatu (antara dua perkara) yang lebih ringan bahayanya.”
Hukum Mengeluarkan Air Mani oleh Tangan Sendiri di Hari Puasa
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hukum asal onani, perbuatan mengeluarkan air mani oleh tangan sendiri pada siang hari bulan Ramadan hukum membatalkan puasa. Apa pun alasannya, melakukan onani dalam rentang sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari pada bulan Ramadan tidak dibenarkan syariat Islam.
Puasa Ramadan harusnya menjadi sarana menahan hawa nafsu sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 187 berikut:
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu [perbedaan] antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai [datang] malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]:187).
Hukum pelaksanaan onani saat berpuasa disamakan dengan berhubungan badan suami-istri (mubasyarah). Hukum onani dan bersetubuh sama karena keduanya dilakukan dengan dasar memenuhi nafsu syahwat disertai adanya ejakulasi (inzal). Imam Nawawi dalam Kitab Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut:
“Jika seseorang beronani lalu keluar mani atau sperma [ejakulasi] maka puasanya batal karena ejakulasi sebab kontak fisik [mubasyarah] laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan ejakulasi sebab ciuman. Onani memiliki konsekuensi yang sama dengan kontak fisik pada selain kemaluan antara laki-laki dan perempuan, yaitu soal dosa dan sanksi takzir. Demikian juga soal pembatalan puasa.”
Konsekuensi onani dan berhubungan suami-istri saat siang hari puasa Ramadan berbeda dalam Islam.
Mengeluarkan mani dengan tangan hanya membatalkan puasa layaknya makan, minum, dan sebagainya. Orang yang onani wajib mengqadha puasa yang dibatalkan tersebut pada hari lain setelah bulan suci, hingga sebelum datangnya bulan Ramadan berikutnya.
Di sisi lain, orang yang berhubungan suami istri pada siang hari bulan puasa wajib mengqadha puasa 60 hari berturut-turut lamanya. Apabila tidak mampu, wajib memberi makan 60 orang fakir atau miskin dengan ukuran 1 mud untuk setiap kepala.
Diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, serang laki-laki datang menghadap Nabi saw. dan berkata, "Celaka diriku wahai Rasulullah."
Rasulullah bertanya, "Apa yang telah mencelakakanmu?" Laki-laki itu menjawab, "Saya telah berhubungan badan dengan istriku pada siang hari pada bulan Ramadhan."
Nabi bertanya, "Sanggupkah kamu untuk memerdekakan budak?" Ia menjawab, "Tidak."
Beliau bertanya lagi, "Sanggupkan kamu berpuasa 2 bulan berturut-turut?" Ia menjawab, "Tidak."
Nabi bertanya untuk ketiga kalinya, "Sanggupkah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin?"
Lelaki itu masih menjawab, "Tidak."
Kemudian laki-laki itu duduk, sementara Nabi saw. diberi satu keranjang berisi kurma. Rasulullah saw. bersabda, "Bersedekahlah dengan kurma ini."
Laki-laki itu menjawab, "Adakah orang yang lebih fakir dari kami. Karena tidak ada penduduk di sekitar sini yang lebih membutuhkannya daripada kami."
Mendengar ucapan itu, Nabi tertawa hingga gigi taringnya terlihat. Akhirnya beliau bersabda, "Pulanglah dan berilah makan keluargamu dengannya (satu keranjang kurma itu)." (H.R. Muslim).
Mengeluarkan air mani menggunakan tangan disebut dengan onani, masturbasi, dalam bahasa Arab memiliki istilah istimna’. Kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah melihat bahwa hukum asal istimna adalah haram, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Al-Mu'minun ayat 5 – 7 berikut.
“Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu [zina, dan sebagainya], maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas,” (QS. Al-Mu’minun [23]: 5-7).
Di sisi lain, para ulama Hanafi menyebutkan bahwa onani boleh dilakukan dengan catatan keadaan darurat, dan tidak semata-mata hanya melampiaskan dorongan nafsu. Pendapat ulama Hanafi menekankan pada pelaksanaan masturbasi lebih baik, untuk mencegah perbuatan zina di luar nikah.
Pengambilan keputusan ulama Hanafi selaras dengan sebuah perkataan, “Meraih kemaslahatan umum dan menolak bahaya yang lebih besar dengan mengambil sesuatu (antara dua perkara) yang lebih ringan bahayanya.”
Hukum Mengeluarkan Air Mani oleh Tangan Sendiri di Hari Puasa
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai hukum asal onani, perbuatan mengeluarkan air mani oleh tangan sendiri pada siang hari bulan Ramadan hukum membatalkan puasa. Apa pun alasannya, melakukan onani dalam rentang sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari pada bulan Ramadan tidak dibenarkan syariat Islam.
Puasa Ramadan harusnya menjadi sarana menahan hawa nafsu sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 187 berikut:
“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu [perbedaan] antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai [datang] malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]:187).
Hukum pelaksanaan onani saat berpuasa disamakan dengan berhubungan badan suami-istri (mubasyarah). Hukum onani dan bersetubuh sama karena keduanya dilakukan dengan dasar memenuhi nafsu syahwat disertai adanya ejakulasi (inzal). Imam Nawawi dalam Kitab Al Majmu Syarah Al Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut:
“Jika seseorang beronani lalu keluar mani atau sperma [ejakulasi] maka puasanya batal karena ejakulasi sebab kontak fisik [mubasyarah] laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan ejakulasi sebab ciuman. Onani memiliki konsekuensi yang sama dengan kontak fisik pada selain kemaluan antara laki-laki dan perempuan, yaitu soal dosa dan sanksi takzir. Demikian juga soal pembatalan puasa.”
Jika Masturbasi Saat Ramadhan, Wajib Bayar Puasa Qadha
Konsekuensi onani dan berhubungan suami-istri saat siang hari puasa Ramadan berbeda dalam Islam.
Mengeluarkan mani dengan tangan hanya membatalkan puasa layaknya makan, minum, dan sebagainya. Orang yang onani wajib mengqadha puasa yang dibatalkan tersebut pada hari lain setelah bulan suci, hingga sebelum datangnya bulan Ramadan berikutnya.
Di sisi lain, orang yang berhubungan suami istri pada siang hari bulan puasa wajib mengqadha puasa 60 hari berturut-turut lamanya. Apabila tidak mampu, wajib memberi makan 60 orang fakir atau miskin dengan ukuran 1 mud untuk setiap kepala.
Diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, serang laki-laki datang menghadap Nabi saw. dan berkata, "Celaka diriku wahai Rasulullah."
Rasulullah bertanya, "Apa yang telah mencelakakanmu?" Laki-laki itu menjawab, "Saya telah berhubungan badan dengan istriku pada siang hari pada bulan Ramadhan."
Nabi bertanya, "Sanggupkah kamu untuk memerdekakan budak?" Ia menjawab, "Tidak."
Beliau bertanya lagi, "Sanggupkan kamu berpuasa 2 bulan berturut-turut?" Ia menjawab, "Tidak."
Nabi bertanya untuk ketiga kalinya, "Sanggupkah kamu memberi makan kepada 60 orang miskin?"
Lelaki itu masih menjawab, "Tidak."
Kemudian laki-laki itu duduk, sementara Nabi saw. diberi satu keranjang berisi kurma. Rasulullah saw. bersabda, "Bersedekahlah dengan kurma ini."
Laki-laki itu menjawab, "Adakah orang yang lebih fakir dari kami. Karena tidak ada penduduk di sekitar sini yang lebih membutuhkannya daripada kami."
Mendengar ucapan itu, Nabi tertawa hingga gigi taringnya terlihat. Akhirnya beliau bersabda, "Pulanglah dan berilah makan keluargamu dengannya (satu keranjang kurma itu)." (H.R. Muslim).
(tirto.id - Sosial Budaya)
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus