tirto.id - Menjelang Paskah kali itu di perairan Atlantik Selatan, April 1982, tiga ratus kru kapal HMS Coventry mengapung melintasi samudera, bergerak menuju Kepulauan Falkland. Waktu itu, Sersan Chris Howe baru berumur 25, dan seperti kebanyakan prajurit Inggris lain, berharap ketegangan antara Inggris dan Argentina bisa rampung di atas meja diplomasi.
Namun, Argentina sudah kadung menerjunkan ribuan pasukan dan Inggris menjawab dengan bikin Zona Eksklusif Maritim, 200 mil di sekitar Kepulauan Falkland. Kapal-kapal perang Inggris dikirim ke zona itu buat menghambat pasokan logistik dan melemahkan kekuatan Argentina. HMS Coventry dengan tiga ratus krunya, termasuk Howe, kini menuju perang yang tiba-tiba dan tanpa persiapan.
Sersan Howe benar-benar gusar melihat bubungan asap hitam nun di cakrawala. Hari itu, 4 Mei 1982, perang telah berlangsung selama beberapa minggu. Asap tersebut berasal dari HMS Sheffield, sebuah kapal perusak tipe 42, satu jenis dengan HMS Coventry, yang ringsek dihajar jet-jet tempur Argentina. HMS Sheffield menjadi korban pertama dalam konflik Kepulauan Falkland, dan ia bukan satu-satunya.
HMS Sheffield compang-camping setelah dikeroyok misil-misil andalan Argentina, The Exocet. Misil bikinan Perancis ini memang merepotkan dan jadi primadona selama konflik Kepulauan Falkland. The Exocet mampu menipu radar, terbang sangat rendah di atas permukaan laut, dan gerakan macam begini membuatnya seolah-olah bisa muncul tiba-tiba.
Kelak, bukan cuma kapal-kapal perang Inggris yang dibikin melempem oleh The Exocet. Pada 3 Mei 1985, tepat hari ini 33 tahun lalu, Ju Do Chun, seorang jawara tinju asal Korea Selatan, dibikin rusak berat karena musabab yang sama: The Exocet. Namun, bukan The Exocet yang meluncur dari jet-jet tempur Argentina, melainkan The Exocet yang lahir dari sekepal tangan kidal seorang petinju asal Saparua, Ellyas Pical.
Yang Terampas dan Yang Putus
Mengenakan ikat kepala berwarna merah darah dan berjubah hitam mengkilat, Elly naik ke atas ring. Mirip pendekar dalam lakon-lakon silat. Pada hari itu, berdasarkan laporan majalah Tempo berjudul "Ale Mesti Mati, Hook Beta Sudah...", ada 17.000 orang berkerumun di Istora Senayan, mengiringi Elly dengan lagu-lagu perjuangan macam "Halo-Halo Bandung" dan "Maju Tak Gentar".
Sebuah suasana yang tentu saja membikin berdiri bulu roma.
Ini adalah pertandingan penting buat karir Elly dalam kontes adu jotos. Dalam waktu lima belas ronde, Elly harus merebut gelar juara tinju dunia kelas bantam junior versi IBF, yang dipegang lawannya, Ju Do Chun. Meski bertanding dalam status petinju profesional, Elly menanggung harapan besar rakyat Indonesia di sarung tinjunya.
Mundur beberapa tahun, pada 1981, Thomas Americo, jagoan tinju asal Timor Timur, digadang-gadang menjadi juara dunia pertama dari Indonesia saat bertanding melawan Saoul Mamby dari Amerika Serikat. Sayang, Thomas keok dalam perebutan gelar juara tinju dunia kelas welter ringan versi WBC itu. Kini, bermuka-muka dengan Chun, Elly menyalakan kembali harapan rakyat Indonesia—meski waktu itu IBF masih berumur tiga tahun dan kalah mentereng ketimbang WBC atau WBA.