Menuju konten utama

Hari-Hari Terakhir Mengerek Elektabilitas di Pilgub Jabar-Jatim

Pilgub Jawa Barat dan Jawa Timur diprediksi ketat. Meski masa kampanye sudah selesai, bukan berati habis pula upaya mengerek tingkat kedipilihan (elektabilitas).

Hari-Hari Terakhir Mengerek Elektabilitas di Pilgub Jabar-Jatim
Petugas membawa surat suara untuk didistribusikan di GOR STT Mandala, Bandung, Jawa Barat, Kamis (21/6/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

tirto.id - Poltracking Indonesia merilis hasil survei pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur, Sabtu (23/6/2018) kemarin. Hasilnya, tak ada yang bisa dibilang menang mutlak.

Survei berlangsung pada 18-22 Juni. Delapan ratus pemilih di 27 Kabupaten/Kota Jawa Barat dan 1.200 orang dari 38 Kabupaten /Kota Jawa Timur menjadi responden. Masing-masing margin of error sebesar 3,5 persen dan 2,8 persen.

Dalam Pilgub Jawa Timur, hasil survei menyatakan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak unggul tipis dari Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno. Khofifah-Emil dipilih 51,8 persen responden, sementara Ipul-Puti 43,5 persen.

Sementara Pilgub Jawa Barat, dua dari empat pasangan calon bersaing ketat: Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Ridwan-Uu dipilih 42 persen responden, sementara Demiz-Demul 34,8 persen. Dua pasangan lain diprediksi tak bakal bisa berbuat banyak. Sudrajat-Ahmad Syaikhu mengantongi 10,7 persen suara, sementara Tb. Hasanuddin-Anton Charliyan hanya 5,5 persen.

Hasil ini bukan hal baru. Beberapa lembaga survei menemukan kesimpulan serupa. Roda Tiga Konsultan, misalnya, menyebut pasangan Demiz-Demul memiliki tingkat kedipilihan sebesar 29,9 persen atau paling tinggi dibanding calon lain. Meski begitu, mereka ditempel ketat Ridwan-Uu (Rindu, kata tim kampanye mereka) yang tingkat kedipilihannya sebesar 28,6 persen.

Sementara di Jawa Timur, Khofifah-Emil unggul dengan tingkat kedipilihan 36,9 persen dalam simulasi tertutup. Namun ini juga tidak mutlak. Ipul-Puti menempel dengan perolehan 33,3 persen. Sisanya belum menentukan pilihan.

Pun demikian dengan survei Indo Barometer. Pasangan Rindu dan Demiz-Demul bersaing ketat dengan tingkat kedipilihan masing-masing 36,8 persen dan 30,1 persen. Dua pasangan lain nilainya juga tak signifikan.

Upaya Terakhir

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan masa tenang sepanjang tiga hari terakhir sebelum hari pencoblosan atau pada 24 (hari ini) hingga 26 Juni nanti. Pada masa tenang ini kampanye "darat" tak lagi diperbolehkan. Alat-alat peraga sudah mulai diturunkan dari ruang-ruang publik.

Meski begitu bukan berarti upaya meningkatkan tingkat kedipilihan selesai sama sekali. Satu-satunya cara yang masih bisa dilakukan adalah dengan "serangan udara"—merujuk pada cara-cara kampanye, baik untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu, dengan medium internet.

Ranah ini masih sangat mungkin dilakukan mengingat masih ada kelompok yang bisa dipengaruhi: mereka yang belum menentukan pilihan bahkan hingga hari-hari terakhir. Poltracking menemukan ada 4,7 persen responden yang belum menentukan pilihan untuk Pilgub Jatim. Sementara di Jabar ada sekitar 6 persen.

Selain yang belum memilih, ada pula kelompok yang masih mungkin untuk berubah haluan. Di Jawa Barat, misalnya, responden yang masih ragu-ragu akan pilihannya cukup besar, yakni 22,9 persen.

"Elektabilitas masih mungkin berubah," kata Hanta Yuda AR, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia. Hal yang sama berlaku pada Pilgub Jatim.

Selain itu, cara lain yang bisa dipakai untuk mengerek tingkat kedipilihan adalah kampanye hitam yang tujuannya merusak reputasi orang lain. Contoh paling mudah dari itu adalah apa yang dialami Basuki Tjahaja Purnama di Pilgub DKI tahun lalu. Ia dipersepsikan sebagai sosok yang anti-Islam, atau dengan kata lain dilawan dengan sentimen agama.

Hanta tidak menutup kemungkinan itu bakal terjadi, terutama di Jawa Barat. Kenapa ini tak terjadi di Jawa Timur? Sebab baik Ipul atau Khofifah punya latar belakang agama yang kuat: dua-duanya adalah kader Nahdlatul Ulama (NU).

Meski begitu, Hanta mengatakan bahwa sentimen agama, kalaupun benar digunakan, tak bakal punya pengaruh signifikan. Alasannya tak ada calon yang benar-benar bisa diserang dengan isu tersebut. Lagi pula, waktu yang tersisa sangat mepet.

"Demiz dipersepsikan bagian dari kelompok Islam. Keberpihakannya ada. Ridwan Kamil juga. Itu tidak terbelah," katanya.

Di satu sisi, para kontestan juga coba membangun persepsi dekat dengan agama. Contohnya dalam debat publik ketiga Pilgib Jabar di Bandung, Jumat (22/6/2018) lalu. Pada salah satu segmen, rata-rata setiap paslon sepakat bahwa negara tidak boleh dibenturkan dengan agama. Bahkan, kata mereka, Pancasila terinspirasi dan diilhami oleh para kiai dan ulama.

Kampanye hitam sebetulnya bukan cuma soal agama. Dan ini memang terjadi, setidaknya berdasarkan pengakuan kontestan.

Dedi Mulyadi, misalnya, pernah mengatakan banyak kampanye negatif mengenainya. Beberapa di antaranya adalah isu gizi buruk balita dan pembangunan masjid di Purwakarta. Katanya, serangan ini dilakukan oleh orang-orang yang sama.

Ridwan Kamil juga mengaku mengalami hal serupa. Menurutnya, sepanjang masa kampanye timnya telah melaporkan 23 akun sosial media "yang memfitnah dengan konten yang tidak berbasis data."

Kemungkinan Bersengketa

Pilgub memang belum berlangsung, namun berdasarkan survei-survei di atas, terbuka peluang hasil pemilihan di Jabar dan Jatim akan cukup tipis. Kalau ini terjadi, menurut Hanta, bakal ada drama tambahan: calon yang kalah tipis akan memperkarakannya ke Mahkamah Konstitusi (MK)—instansi yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk memutus perselisihan hasil pemilu.

"Kemungkinannya kalau selisihnya tipis akan dibawa ke MK, apalagi kurang dari tiga persen. Tetapi kalau selisihnya lebih dari lima persen enggak begitu relevan ke MK," kata Hanta.

Pendukung pasangan calon yang kalah jelas bakal kecewa, dan akan setuju-setuju saja untuk membawa perkara ini ke MK.

Namun menurut Hanta, tidak bakal ada kericuhan di tengah-tengah masyarakat. Paling-paling, katanya, hanya ramai-ramai di media sosial seperti pada Pilpres terakhir. Ia mengatakan masyarakat pada dasarnya sudah siap menerima kekalahan. Mereka baru akan "bergerak" jika para elite melakukan itu.

"Kalau ada komitmen elite untuk menerima hasil, sebenarnya tidak ada [konflik]," katanya.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino