tirto.id - Debat terakhir pasangan calon (paslon) gubernur dan calon gubernur Jawa Barat (Jabar) di Ballroom Sudirman, Jalan Sudirman, Kota Bandung pada Jumat (23/6) malam berlangsung antiklimaks. Tidak ada pertarungan ide dan gagasan yang tajam di antara masing-masing paslon. Ibarat pedagang kecap, setiap paslon hanya saling klaim bahwa merekalah obat mujarab menyelesaikan berbagai persoalan di Jawa Barat, namun tak jelas upaya konkret apa yang akan mereka lakukan untuk mewujudkannya.
Situasi membosankan itu berlangsung sejak para peserta diminta menjawab pertanyaan panelis mulai sesi dua hingga sesi kelima. Saat ditanya tentang bagaimana strategi mereka meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan masyarakat di Jabar, keempat paslon menggunakan retorika yang nyaris sama.
Cawagub nomor urut empat Deddy Mulyadi menjanjikan pembangunan rumah sakit rujukan di empat wilayah Jawa Barat agar masyarakat di luar Kota Bandung tidak harus repot ke Rumah Sakit Hasan Sadikin; audit kualitas air, tanah, dan udara; serta memastikan kehadiran dokter hingga ke desa-desa.
Janji hampir serupa juga disampaikan calon gubernur nomor dua Tubagus Hasanuddin. Ia mengatakan akan membangun rumah sakit rujukan di wilayah-wilayah Jawa Barat, menjanjikan pembangunan 500 puskesmas rawat inap, dan memberi insentif Rp20 juta per bulan bagi para dokter yang terjun ke desa.
Calon gubernur nomor urut satu Ridwan Kamil yang coba menawarkan gagasan berbeda dengan mencibir ide pembangunan rumah sakit rujukan juga terjerembab pada retorika klise yang sama. Ia mengulang jargon usang tentang pentingnya kehadiran negara dalam melayani rakyat di bidang kesehatan dan pendidikan. Ridwan menjanjikan dokter hadir ke rumah penduduk dan pendidikan gratis hingga universitas bagi warga tidak mampu. Tapi, seperti juga Demul maupun Hasanuddin, walikota Bandung ini tidak menjabarkan konsepsi jelas untuk mewujudkan janjinya. “Yang penting hidup sehat. Bukan banyaknya rumah sakit,” kata Ridwan.
Calon wakil gubernur nomor urut empat Syaikhu juga memberikan retorika yang sama membosankannya tentang strategi membangun kesehatan dan pendidikan di Jabar. Ia berjanji akan memberdayakan pola hidup bersih dan sehat dengan memanfaatkan kader posyandu dan pendamping lokal desa. Ia juga menjanjikan pembangunan puskesmas rawat inap di desa.
Strategi mengumbar janji tanpa menjelaskan strategi mewujudkannya juga kembali berulang saat panelis memberikan pertanyaan tentang pemberdayaan perempuan, perlindungan anak-anak, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Jawaban mengawang-awang diutarakan hampir seluruh paslon.
Calon gubernur nomor urut tiga Sudrajat, misalnya, menekankan retorika perempuan sebagai tonggak negara. Ia bilang perempuan harus dihargai dan dimuliakan dengan diberikan kesempatan berpartisipasi di bidang sosial politik dan ekonomi. Syaikhu coba menambahkannya dengan menjanjikan pemberdayaan perempuan menjadi entrepreneur.
Dedi Mulyadi juga melontarkan retorika nyaris serupa. Menurutnya negara harus melindungi perempuan, memberdayakan perempuan, dan mendorong kemandirian perempuan. Ia juga menjanjikan asuransi bagi perempuan agar mereka bisa mandiri saat suami meninggal. Namun Dedi tak menjelaskan secara rinci kriteria perempuan penerima asuransi itu.
Ridwan menjanjikan kerjasama dengan aparat kepolisian untuk melindungi perempuan dari perdagangan. Ia berkomitmen pula untuk menghilangkan KDRT di Jawa Barat dan menjanjikan kesetaraan infrastruktur bagi penyandang disabilitas dan memberikan lapangan kerja bagi pemuda.
Sedangkan Hasanuddin berjanji akan membuat perempuan mandiri dan menyediakan layanan konseling bagi perempuan. Ia juga berjanji akan memperbaiki gizi anak-anak di Jawa Barat dengan memberikan asupan makanan seperti prajurit TNI. “Kami beri telur di hari Jumat, Jumat berikutnya kacang hijau, Jumat berikutnya susu. Supaya mereka menjadi generasi kuat ke depannya," janjinya.
Persoalannya, meski janji mereka terdengar sama-sama manis, tidak ada penjelasan konkret mengenai strategi yang akan mereka lakukan untuk mewujudkannya. Padahal janji-janji seperti membangun rumah sakit, membangun puskesmas, menggerakkan dokter ke desa, menyediakan asuransi bagi perempuan, sampai memberikan asupan makanan kepada seluruh anak-anak di Jawa Barat erat kaitannya dengan anggaran. Misalnya, berapa porsi anggaran yang disediakan untuk bidang pendidikan dan kesehatan oleh masing-masing paslon dalam APBD?
Pengubahan Format Debat
Ketidakjelasan masyarakat untuk mendapatkan strategi konkret atas janji para paslon tidak bisa dilepaskan dari format debat yang diterapkan KPUD Jawa Barat yang meniadakan sesi tanya jawab dan debat secara langsung antarpaslon. Sehingga setiap paslon tidak bisa menguliti ide dan janji yang disampaikan lawannya.
Peneliti dari Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Hendri Satrio sudah memprediksi impilkasi negatif peniadaan sesi tanya jawab secara langsung antarpaslon. Menurutnya, hal tersebut membuat debat yang mestinya mencerahkan masyarakat Jawa Barat menjadi tontonan membosankan. “Kalau cerdas cermat masih seru. [Debat ini] Seperti ceramah MLM, punya potensi membosankan,” kata Hendri.
Hendri menilai alasan KPUD menghapus debat karena faktor keamanan tidak beralasan. Sebab menurutnya keriuhan yang terjadi saat debat putaran kedua yang diakibatkan pengibaran kaos bertuliskan #2019GantiPresiden oleh Sudrajat-Syaikhu terjadi saat sesi closing statement, bukan saat sesi tanya-jawab antarpaslon. “Ini [penghapusan sesi tanya jawab antarpaslon] kerugian buat masyarakat,” ujar Hendri.
“Karena masyarakat ingin mengetahui kapasitas calonnya. Salah satunya datang dari jawaban yang dilontarkan dari lawannya.”
Analis politik dari Universitas Padjajaran Ferry Kurnia Rizkiansyah juga menyayangkan penghapusan sesi tanya jawab antarpaslon oleh KPUD Jabar. Ia mengatakan meskipun penghapusan itu telah disepakati seluruh paslon, implikasinya bisa dirasakan langsung masyarakat dalam menilai setiap paslon. “Saya sangat menyayangkan karena banyak hal bisa digali dari pertanyaan yang dilontarkan paslon kepada lawannya,” ujarnya.
Ferry menilai kekhawatiran KPUD bahwa tanya jawab antarpaslon bisa menimbulkan kericuhan tidaklah beralasan. Sebab menurutnya, fluktuasi tensi saat tanya jawab antarpaslon merupakan hal biasa yang bisa diterima publik. “Saya pikir semua kita sudah dewasa dalam politik. Dinamika [saat debat] itu biasa saja,” kata Ferry.
Editor: Ivan Aulia Ahsan