tirto.id - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengakui ada peluang kenaikan suku bunga acuan BI (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) lagi di tahun ini jika kondisi perekonomian menuntut hal itu.
“BI akan terus mengkalibrasi perkembangan ekonomi dan keuangan, baik domestik maupun global, untuk memanfaatkan masih adanya ruang untuk menaikkan suku bunga secara terukur,” kata Perry dalam jumpa pers di kantor BI pusat, Jakarta, pada Rabu (30/5/2018).
Kendati demikian, Perry menegaskan BI akan menaikkan suku bunga acuan dalam besaran yang wajar. Dia memastikan kenaikan suku bunga akan tetap mengacu pada indikator-indikator utama, seperti inflasi dan kondisi global, serta dalam kadar yang pas. Dia menyebut kenaikan itu tidak akan diterapkan dengan “dosis tinggi”.
BI telah kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin atau sekitar 0,25 persen. Suku bunga acuan BI resmi menjadi sebesar 4,75 persen, dari yang tadinya 4,5 persen, per Kamis (31/5/2018).
Dengan demikian, selama bulan ini, BI sudah dua kali menaikkan suku bunga acuan setelah sempat menahannya di angka 4,25 persen sejak September 2017.
Perry mengklaim keputusan menaikkan suku bunga acuan itu sebagai bauran kebijakan BI untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global.
BI juga menaikkan suku bunga depocit facility sebesar 25 basis poin menjadi 4 persen dan suku bunga lending facility sebesar 25 basis poin menjadi 5,5 persen.
“Keputusan menaikkan suku bunga tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan jangka pendek BI yang memprioritaskan kebijakan moneter pada stabilitas, khususnya nilai tukar rupiah,” ujar Perry.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai BI masih punya ruang untuk menaikkan suku bunga acuan menjadi 5 persen. Kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, menurut dia, untuk meredam keluarnya dana asing.
“Selain itu, BI perlu melanjutkan intervensi cadangan devisa. Apabila diperlukan, aktifkan Bilateral Swap Arrangement (BSA) penggunaan cadangan devisa Bank Sentral negara lain seperti Jepang,” kata Bhima.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom