tirto.id - Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo menilai Bank Indonesia (BI) sudah tepat mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan suku bunga acuan (BI 7-day Reverse Repo Rate/BI7DRRR) pada Kamis (17/5/2018).
Menurut Kartika Wirjoatmodjo, kenaikan suku bunga acuan BI ini penting untuk merespons kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Federal Reserve AS) pada Maret tahun ini.
"Karena memang kemarin dilihat awalnya estimasi kenaikan The Fed (suku bunga acuan AS) itu baru (terjadi) di kuartal 3 dan 4," ujar Kartika di Plaza Mandiri Jakarta pada Minggu (20/5/2018).
Suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate/FFR) naik sebesar 0,25 persen hingga 1,75 persen. Kenaikan tersebut diiringi dengan menguatnya ekonomi AS dalam beberapa bulan belakangan.
"Ternyata treasury yield-nya naik menembus 3 persen. Jadi, memang di luar ekspektasi bahwa treasury yield mereka 10 tahun lewat 3 persen. Itu yang perlu direspons segera. Jadi saya rasa respons Bank Indonesia tepat," tambah Kartika.
BI sendiri menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (0,25 persen), dari 4,25 persen menjadi 4,5 persen.
Terkait hal ini, Kartika Wirjoatmodjo tidak dapat memprediksi apakah kebijakan tersebut dapat menahan arus uang keluar yang kembali ke AS atau tidak. Menurutnya, hal itu perlu terus dikaji dan diantisipasi oleh Bank Indonesia.
"Mungkin pertanyaan ke depannya kalau misalnya arus uang yang kembali ke negaranya (AS) karena portofolio terus berjalan, apa (kenaikan) 25 bps itu cukup atau nggak? Justru kita perlu lihat ke depannya. Tentunya, kita harus melihat derasnya uang yang kembali ke negara maju," terangnya.
Kartika melanjutkan, yang perlu diperhatikan oleh Bank Indonesia adalah perubahan arus investasi baik di ekuitas/modal (equity) maupun di Surat Utang Negara (SUN).
"Kalau di equity itu kan sudah cukup deras ya (arus uang keluar/outflow). Yang mesti dipantau itu dari sisi SUN, apakah sisi SUN nya ada outflow atau nggak. Kalau SUN-nya masih ada outflow, perlu direspons lagi," ungkapnya.
Kartika mengatakan ancaman outflow terjadi hampir di semua negara berkembang, tidak hanya di Indonesia, akibat kenaikan suku bunga acuan The Fed.
"Permasalahannya karena ekspektasi portofolio yang sebagian direlokasi di negara maju, ditaruh di instrumen-instrumen aman seperti US treasury itu. Tentunya kalau jumlah (uang) yang dikembalikan ke US treasury besar, pasti dampak ke seluruh negara berkembang cukup signifikan," jelasnya.
Kartika menjelaskan, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang tidak terlalu berat terkena dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, dibandingkan negara lain, seperti Argentina dan Turki.
"Dibandingkan Argentina, Turki, jauh lebih parah daripada kita dari sisi penyesuaian di currency-nya, mereka itu mendekati 10 persen. Kalau kita hanya di kisaran 2-3 persen. Kita cukup moderat," kata dia.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 Mei 2018 tidak hanya memutuskan untuk menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen, juga menaikkan tetapi suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen, dan menaikkan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen. Kebijakan ini berlaku efektif sejak 18 Mei 2018.
Kebijakan tersebut ditempuh sebagai bagian dari kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Fitra Firdaus