tirto.id - “Tidak bisa yang namanya tentara, yang namanya polisi ikut dalam urusan demokrasi. Di tentara itu nggak ada demokrasi.”
Begitu salah satu kalimat penekanan Presiden Joko Widodo dalam rapat pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (1/3/2022). Dalam pengarahan secara hybrid, Jokowi ingin agar TNI-Polri bisa menjadi teladan disiplin nasional. Ia menyinggung soal 'disiplin' TNI-Polri berbeda dengan sipil dan tidak boleh ada demokrasi.
“Nggak ada yang namanya bawahan itu merasa bebas, tidak sama dengan atasan, eh nggak boleh. Dengar, berbicara masalah demokrasi tidak ada di tentara dan kepolisian, tidak ada," kata Jokowi.
Selain kepada prajurit, Jokowi juga menyinggung soal kedisiplinan untuk para pasangan TNI-Polri. Ia ingin agar para pasangan prajurit TNI-Polri ikut disiplin. Mantan Wali Kota Solo itu bahkan menggunakan contoh soal larangan memanggil penceramah dengan afiliasi “radikal.”
“Menurut saya, nggak bisa ibu-ibu itu memanggil, ngumpulin ibu-ibu yang lain, memanggil penceramah semaunya atas nama demokrasi. Sekali lagi di tentara, di polisi tidak bisa begitu. Harus dikoordinir oleh kesatuan, hal-hal kecil tadi, makro dan mikronya. Tahu-tahu mengundang penceramah radikal, nah hati-hati,” kata Jokowi.
Jokowi pun menyinggung soal ibu kota negara sebagai contoh kebijakan yang tidak boleh diperdebatkan. “Itu sudah diputuskan pemerintah dan sudah disetujui DPR. Kalau di dalam disiplin TNI-Polri sudah tidak bisa diperdebatkan. Kalau di sipil, silakan,” tegas dia.
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai pernyataan Jokowi wajar karena hal tersebut adalah penegasan sesuatu yang diatur dalam undang-undang. Akan tetapi, Fahmi memandang masalah utama justru ada pada bagaimana TNI-Polri berjaga jarak dengan kekuasaan daripada cawe-cawe urusan demokrasi seperti pesta pemilu.
“Sebenarnya yang problematis bukan terkait dengan pemilunya atau dengan yang kerja-kerja 5 tahun sekali, tapi dari bagaimana mereka yang tadi seringkali gagal berjarak dengan kekuasaan ketika misalnya kaitan kebijakan politik, terkait dengan adanya problem-problem pembangunan, misalnya ada konflik agraria, konflik yang bernuansa HAM, itu kan TNI-Polri gagal berjarak," kata Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa (1/3/2022).
Fahmi mengatakan, masalah upaya manipulasi suara pemilu bukanlah menjadi problem yang disinggung Jokowi, tetapi lebih pada bagaimana TNI-Polri punya kekuatan untuk memengaruhi publik dan memengaruhi pemerintahan.
Ia mencontohkan bagaimana adanya aksi MoU TNI-Polri dengan kementerian maupun lembaga yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau kegiatan vaksinasi yang tidak sepenuhnya tugas pokok mereka dalam undang-undang.
Contoh lain yang juga bisa dijadikan referensi, kata Fahmi, adalah kondisi orde baru. Saat orde baru, publik sulit membedakan antara TNI-Polri sebagai alat penegak kedaulatan, penegakan hukum daripada dengan TNI-Polri sebagai alat kekuasaan.
“Itu yang masih mengalami problematik. Dalam pelibatan-pelibatan TNI-Polri dalam agenda-agenda pemerintahan, agenda pembangunan itu tidak ditopang payung hukum kuat sehingga akhirnya kusebut problematik," kata Fahmi.
Fahmi menambahkan, “Artinya gak gampang soal terlibat demokrasi itu, nggak gampang, tapi terlibat dalam praktik kekuasaan setelah paska pemilu, post election ini. Dalam pemerintahan terbentuk, penguasanya jelas, yang memegang kekuasaan jelas, kemudian TNI-Polri terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan, agenda-agenda kebijakan," tutur Fahmi.
Di sisi lain, Fahmi paham pesan kedisiplinan dalam konteks ibu kota negara (IKN). Ia menilai, TNI-Polri harus satu suara karena IKN adalah soal keputusan negara yang harus dipatuhi. Akan tetapi, Fahmi menegaskan bahwa contoh soal penceramah “radikal” yang disinggung Jokowi tidak bisa dibenarkan. Sebab, pemerintah belum menentukan definisi radikalisme secara tegas.
Lalu, apakah pesan Jokowi juga sinyal bagi para tentara yang akan pensiun? Fahmi tidak memungkiri hal tersebut, apalagi tidak tertutup kemungkinan bahwa TNI-Polri bisa memanfaatkan jabatan mereka jelang pensiun demi mendapatkan pengaruh elektoral.
Fahmi pun menilai sikap Jokowi bukan berarti takut TNI-Polri akan berbalik jelang habis jabatan, tetapi peringatan bahwa Jokowi akan selektif dalam penunjukan personil di masa depan.
“Ketimbang takut, mungkin lebih tepat dikatakan sebagai peringatan dini dan di antara implementasi peringatan itu mestinya adalah ketat dan selektif dalam hal penunjukan perwira TNI-Polri sebagai pejabat kepala daerah dan pimpinan satuan teritorial TNI maupun satuan kewilayahan Polri nantinya," kata Fahmi.
Sementara itu, Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjajaran Kunto Adi Wibowo menilai, pesan Jokowi meminta agar TNI-Polri tidak masuk ranah politik. Ia ingin mengembalikan posisi TNI-Polri sebagai pihak yang netral hingga ke tingkat keluarga.
“Pak Jokowi berbicara soal anggota TNI atau anggota Polri dan bahkan keluarga mereka yang mengkritik pemerintahan dan itu dianggap sudah masuk ranah politik," kata Kunto kepada reporter Tirto, Selasa (1/3/2022).
“Jadi Pak Jokowi ingin menggarisbawahi bahwa harusnya TNI dan Polri tidak berpolitik walaupun Pak Jokowi menggunakan istilah demokrasi, kan, bahwa nggak ada demokrasi di tentara dan Polri gitu,” kata Kunto.
Kunto memandang, aksi Jokowi sudah benar karena TNI-Polri punya alat untuk mengubah arah politik. Jokowi juga ingin menunjukkan bahwa aksi politik dalam TNI-Polri bisa memicu bahaya yang mengarah pada perpecahan.
Di sisi lain, kata Kunto, Jokowi juga kesal dengan adanya kritik dan ia meminta TNI-Polri untuk tidak ikut campur.
“Kalau soal jengkel dengan kritik, menurut saya itu hal yang biasa, pasti ada yang mengritik kebijakan beliau, kebijakan pemerintahan beliau, namun jangan sampai itu datang dari TNI-Polri yang harusnya netral dalam politik," kata Kunto.
Kunto memandang, kritik Jokowi tidak boleh hanya kepada TNI-Polri saja. Jokowi juga harus menjalankan pemerintahan dengan tidak menggoda TNI-Polri masuk ke jabatan sipil. Ia mencontohkan ada sejumlah anggota TNI-Polri yang duduk di kursi BUMN maupun kementerian/lembaga dengan status aktif.
Kunto juga khawatir adanya penggerakan TNI-Polri untuk menjadi pelaksana tugas kepala daerah karena tidak sedikit kepala daerah akan habis masa jabatannya. Kunto berharap agar Jokowi bisa berkomitmen dan berhati-hati dengan kehadiran TNI-Polri ini.
“Jadi menurut saya Pak Jokowi ingin berhati-hati dengan posisi TNI-Polri ini dan kekuatan yang dimiliki apalagi jelang 2024, entah itu dalam artian dukungan terhadap partai politik atau calon tertentu maupun dalam artian tadi plt," kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz