tirto.id - Kementerian Perdagangan mengubah harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah jadi Rp14.000 per liter dan harga kemasan premium diserahkan kepada mekanisme pasar. Aturan pengganti ini tertuang dalam Permendag Nomer 11 tahun 2022.
Direktur Center Of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten terhadap pengaturan HET justru membuat pengawasan di lapangan akan menjadi sulit. Apalagi minyak curah tidak memiliki barcode dan kode produksi.
“Pengawasannya akan sangat susah. Sehingga kemungkian oplos sama minyak jelantah bisa terjadi,” kata Bhima saat dihubungi Tirto, Jumat (18/3/2022).
Di samping itu, Bima khawatir kebijakan baru ini akan membuat distribusi minyak sampai ke konsumen menjadi susah. Bahkan kemungkinan harga minyak goreng di ritel mahal masih tetap terjadi.
“Moral hazard-nya terlalu besar," imbuhnya.
Ia juga menilai gonta ganti kebijakan dilakukan pemerintah ini khawatir adanya tekanan dari konglomerat sawit. Belum lagi, konsistensi terhadap pemenuhan dalam negeri atau DMO tidak dipenuhi semuanya.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, sejak awal DPR telah mengingatkan agar jangan sampai Permendag Nomor 6 Tahun 2022 yang mengatur harga minyak goreng hanya menjadi kebijakan macan kertas.
“Tapi faktanya, kebijakan ini hanya jadi macan kertas. Kebijakan ini tidak bisa menyelesaikan persoalan minyak goreng,” katanya dalam keterangan tertulis.
Terkait kebijakan macan kertas itu, Dasco menyinggung klaim Kementerian Perdagangan terkait surplus pasokan minyak goreng di hampir seluruh wilayah di Sumatera. Di Sumatera Utara pada periode 14 Februari hingga 16 Maret 2022 misalnya, pasokan minyak goreng mencapai 60 juta liter. Namun, barang itu tidak ada di pasar maupun supermarket.
Menurutnya, berbekal Permendag Nomor 6 Tahun 2022 pemerintah bisa ambil langkah tegas. Pemerintah tinggal memerintahkan produsen CPO untuk melakukan DMO dan DPO ke perusahaan minyak goreng.
“Kalau CPO nya tidak jalan, pemerintah harus berani cabut HGU perusahaan kelapa sawit itu. Perusahaan minyak goreng juga bisa dicabut izinnya kalau tidak memproduksi minyak goreng yang sesuai kebutuhan rakyat,” kata Dasco.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz