tirto.id - Setiap Agus Harimurti Yudhoyono bergerilya lapangan (kata 'gerilya' kerap diucapkan Agus), selalu ada pendukung garis keras yang rela berdesak-desak hanya untuk berswafoto, yaitu ibu-ibu. Tidak sedikit dari mereka menggendong anaknya.
“Mas Agus ... Mas Agus ... Foto dong, Mas Agus,” ucap mereka. Atau, “Ih..., Mas Agus ganteng bener. Gagah!”
Ibu-ibu ini mengenakan daster dilapisi kaos hitam bertuliskan “Coblos nomor satu, Agus-Sylvi”.
Gaya kampanye Agus lebih sering berorasi. Naik ke panggung, memaparkan visi dan misi, lalu melakukan stage diving.
Soal orasi, Agus lebih sering menatap kosong ke satu titik nun jauh di depan ketimbang kontak mata terhadap konstituennya di bawah panggung.
Agus juga kerap berkata “keseluruhan” atau “secara utuh” ketika menjawab pertanyaan wartawan maupun warga. Ini semacam ciri khasnya saat bertemu warga.
Selama kampanye, kata “keseluruhan dan “secara utuh” menjadi andalan Agus untuk pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya dengan rinci. Apakah ini semacam bentuk jawaban yang sudah ia siapkan atau lebih karena ia sendiri kelabakan saat merespons permasalahan yang diajukan warga Jakarta maupun wartawan?
Frasa “Secara Utuh” Agus dan Pantun Sylvi
Di Pancoran, misalnya, Agus disambut oleh The Jakmania, suporter fanatik klub sepakbola Persija. Ia diarak bak kapten yang baru memenangkan laga final. Mengenakan syal warna oren khas Persija, usai berorasi, tibalah pertanyaan cegatan wartawan yang mengikutinya. Di akhir sesi tanya-jawab, seorang wartawan bertanya soal apa rencana Agus soal pembangunan stadion jika terpilih.
Agus menjawab: “... Dan bagi saya itu akan lihat secara utuh, jangan sampai ada hal-hal yang terganjal aspek hukum dan sebagainya. Tetapi komitmen saya akan membangun, menghadirkan itu semua yang berkelas, yang menjadi kebanggaan dan identitas warga Jakarta secara keseluruhan.”
Saat bergerilya di daerah Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, 16 Januari lalu, Agus lagi-lagi mengeluarkan si Frasa Ajaib. Saat itu ia ditanya oleh wartawan soal upah minimum provinsi dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
Agus menjawab: “Terhadap pekerja lepas dan yang lainnya, kita tentu ingin melihat secara utuh. Setiap jenis pekerjaan tentu ada ukurannya.”
Sebelum masa kampanye, misalnya, Agus mengatakan, “Segala sesuatu masalah harus dilihat secara utuh dan komprehensif dan semua harus inklusif melibatkan semua pihak.” Jawaban ini untuk pertanyaan soal apakah ada kontrak politik dengan masyarakat, atau bagaimana ia mengatasi beragam problem masyarakat Jakarta.
Agus lebih banyak fasih saat memaparkan visi-misi. Selebihnya, kandidat nomor satu ini lebih suka mengandalkan kata “keseluruhan” atau “secara utuh” dan lebih banyak lagi berorasi, atau ketika di atas panggung, melihat lautan massa, ia gampang stage diving.
Kecuali tindakan terakhir, bapaknya, Susilo Bambang Yudhoyono, beberapa kali mengutarakan kata khas tersebut yang menurun ke anaknya. Yudhoyono pernah mengeluarkan mantra serupa pada 2014: “Tetapi itu nanti saja, akan saya jelaskan secara utuh dalam forum yang lebih tepat.”
Dalam satu pidato pada 2 Juni 2014, Yudhoyono pernah berkata, “Agar rakyat kita juga bisa mengikuti secara utuh apa yang kita bicarakan di ruangan ini. Utuh dan benar. Maklum para perwira, sekarang adalah musim Pilpres. Politik pasti panas, saling curiga, intip-mengintip.”
Agus memang pernah berkata bahwa bapaknya, presiden keenam Indonesia, adalah mentornya. Ini ia katakan menjelang debat perdana resmi KPU, pertengahan Januari lalu.
Bagaimana dengan pasangannya, Sylviana Murni?
Sylvi jauh lebih unik. Ia selalu memakai pantun setiap membuka orasi saat bergerilya di masa kampanye.
Sebagai orang Betawi, pantun acapkali jadi andalan Sylvi. Ia memakainya untuk menarik massa, khususnya ibu-ibu pengajian dan majelis taklim.
“Indung-indung kepala lindung, hujan di Bogor di sini mendung, pilih satu jangan bingung, coblos aje yang kerudung,” ujar Sylvi di depan warga Cilandak, 4 Februari lalu.
'Selotip Ajaib' Ahok & 'Drunken Master' Djarot
Satu pagi Kamis di awal Februari, Kijang Innova hitam yang ditumpangi Basuki “Ahok” Tjahja Purnama berhenti di satu perempatan jalan di Cakung Barat, Jakarta Timur. Ahok turun bersama seorang pria. Ia diam sejenak, mengedarkan pandangan: sebatang sungai selebar delapan meter membelah jalan dan orang-orang dan para pelaju motor berlalu lalang.
Kehadiran Ahok segera menyedot perhatian warga setempat, menghampiri dan mengerumuninya. Tak bisa menghindar, sang petahana itu segera beranjak, dengan berjalan kaki, menuju daerah terdekat ke Pasar Kalimalang. Tetapi, belum beberapa meter, langkahnya tertahan oleh kerumunan warga lain. Mereka berebut swafoto dan bersalaman. Ahok terlihat agak kepayahan melayani mereka.
Segera saja orang-orang berjubel. Di jalan seberang sungai, lalu-lintas mendadak macet. Beberapa pengendara motor berhenti, menyaksikan keramaian. Dari kejauhan, teriakan mereka terdengar. Di satu madrasah terdekat para siswa berhamburan dari ruang kelas. Mereka berteriak: “Pak Ahok... Pak Ahok.”
Kejadian itu berlangsung lebih dari setengah jam, ditingkahi gerimis. Warga masih tetap mendekati Ahok, mereka berkeluh-kesah, sebelum akhirnya sejumlah relawan berusaha memberi jalan bagi sang idolanya
Kedatangan Ahok di sana, pukul 9 pagi pada 9 Februari, rupanya tak hanya disambut meriah, tetapi juga dicegat oleh seorang anggota Panitia Pengawas Kecamatan bernama Tomi Ronal. Di antara kerumunan warga yang berdesakan ke arah Ahok, Tomi mengatakan kepada para relawan bahwa kampanye Ahok di tempat itu tak berizin.
“Ini enggak boleh di sini. Enggak ada izinnya ini,” kata Tomi.
Namun itu tak digubris oleh Ahok dan para relawannya. Adu mulut antara Tomi dan para relawan Ahok pun tak terhindarkan. Tomi ditantang oleh relawan Ahok untuk melaporkan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum jika memang ada pelanggaran.
“Kalau memang salah, lapor aja, Pak. Jangan menghentikan kampanye,” kata seorang relawan.
Dalam aturan kampanye oleh Komisi Pemilihan Umum, setiap kandidat, baik gubernur maupun wakil gubernur, harus melampirkan pemberitahuan daerah-daerah kampanye kepada Bawaslu.
Saat ditanya soal beberapa kali tim kampanye Ahok mengabaikan aturan itu, Ahok sekali waktu pernah menjawab: “Sekarang ke Cakung enggak ada pemberitahuan saja kita enggak bisa jalan. Apalagi kalau kita kasih (pemberitahuan), kita enggak bisa kerja.”
Di Cakung Barat, kampanye Ahok itu memang tak berizin. Hari itu Ketua Bawaslu Jakarta Timur Sahrozi mengatakan tidak menerima pemberitahuan apa pun soal kegiatan Ahok di daerahnya.
“Kan, biasanya ada tembusannya di KPU pusat (DKI Jakarta),” ujarnya kepada reporter Tirto.
Sepekan sebelumnya, Sahrozi pernah memanggil tim kampanye Ahok-Djarot untuk meminta klarifikasi soal kampanye pasangan nomor dua yang tak berizin di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 3 Februari. Ia mengatakan telah mencoba menghubungi tim kampanye tapi tiada jawaban.
“Sekarang semua paslon yang turun ke bawah itu kan pasti kampanye. Biarpun enggak sampaikan visi-misi, tapi kalau berhenti lama untuk salaman sama warga, kan, sama saja,” kata Sahrozi.
Selain dua kali melakukan kampanye tanpa izin di atas, Ahok pernah diperingatkan oleh Bawaslu untuk pelanggaran yang sama sewaktu mendatangi Semper Barat, Jakarta Utara, pada 2 Januari, dan di Kalideres, Jakarta Barat, pada 5 Februari.
Saat berkunjung ke pemukiman-pemukiman warga itu, Ahok memang tak terlihat seperti berkampanye. Tidak ada panggung, perangkat audio, kursi-kursi, maupun sambutan dari tokoh setempat. Ia tak berbicara di depan khalayak, tanya-jawab, lalu pergi, melainkan menyambangi rumah-rumah warga di gang selebar 1-5 meter.
Terkadang ia juga bertemu para ibu yang menggendong balita dan menanyakan, apakah si anak sudah divaksin atau belum. Ia beberapa kali juga mengambil si balita dari gendongan sang ibu lalu berfoto bareng. Jika si bayi menangis, sang ibu akan mengambil kembali si buah hati lalu berfoto bersama Ahok.
Tak berbeda dengan Ahok, Djarot Saiful Hidayat juga berkampanye dengan cara blusukan. Animo warga saat Djarot datang pun terbilang sama dengan Ahok. Saat mengunjungi Cengkareng Timur, Djarot bahkan disambut meriah meski ratusan warga yang menunggu lebih dari sejam diguyur hujan.
“Hidup Pak Djarot!” Warga berulang-ulang menyambutnya.
Ketika berhadapan dengan warga, Djarot ternyata lebih luwes dari Ahok. Tak hanya menggendong anak kecil, Djarot pandai mengundang sorot kamera dengan, misalnya, mencicipi kerupuk di pasar, membeli sayuran, mengajak warga bernyanyi, sampai mengomentari hal-hal sederhana.
Saat blusukan di daerah Srengseng Sawah, misalnya, Djarot berkomentar tentang burung peliharaan yang sedang dijemur di rumah seorang warga. Ia mengangkat salah satu sangkar burung itu lalu mengobrol dengan pemiliknya.
“Ini burung pleci. Suaranya sudah bagus ini, siap buat ikut lomba. Dikasih makan cacing atau jangkrik? Kalau punya saya di rumah ada kenari. Saya juga punya cendet. Dulu ada murai juga."
Di lokasi terdekat, Djarot juga berceramah soal tanaman bambu yang ia singgahi untuk berteduh. Menurutnya, bambu adalah tanaman yang pas di bantaran kali karena akar bambu kuat untuk menyanggah tanah dari erosi.
“Enggak boleh ditebang ini. Kalau bisa malah diperbanyak. Karena akar bambu itu, kan, serabut, mengikat tanah. Enggak mudah kegerus tanahnya sama air.”
Sesekali selama blusukan, mantan Walikota Blitar itu berkelakar dan mengundang tawa para wartawan. Di pasar Radio Dalam, Kebayoran Baru, ia membeli kelapa dan meminta si penjual melubangi salah satu pangkalnya, mengambil dan lansgung meminumnya.
“Wah Drunken Master ini saya, mabuk ini,” katanya sambil cekikikan.
Selama masa kampanye, Djarot lebih banyak pidato ketimbang Ahok. Hampir di setiap kunjungan, Ahok selalu blusukan dan tak pernah berhenti di satu tempat lalu berbicara menggunakan mikrofon. Berbeda dengan Djarot yang beberapa kali menghadiri undangan warga dan berbicara di hadapan mereka seperti di Cengkareng Timur dan Cilandak Barat.
Itu boleh jadi dipengaruhi kasus hukum yang sedang menimpa Ahok. Lantaran ucapannya di Kepulauan Seribu yang diduga menista agama, Ahok dikenakan pasal pidana dengan ancaman penjara lima tahun. Pada hari terakhir kampanye, di hadapan pendukungnya di Rumah Lembang, Menteng, Ahok minta didoakan agar tak “salah ucap” hingga hari pemilihan.
“Lagi-lagi saya minta tolong, doakan saya supaya selotip ajaib saya enggak copot,” ungkapnya diiringi tawa para pendukung.
Di hari yang sama, ucapan senada ia ulang lagi di Hotel Pullman, Thamrin. Di acara bertajuk “Terimakasih Pendukung Badja”, ia mengatakan akan terus memperbaiki caranya dalam berkomunikasi.
“Saya mulai bisa menahan diri, tahu enggak? Saya mulai berpikir akibatnya apa, (terus) enggak jadi (bicara).”
Sayangnya, selotip itu mengendur justru di akhir masa kampanye Pilkada Jakarta. Beberapa jam usai acara di Hotel Pullman, Ahok dianggap kembali melakukan blunder saat memberikan sambutan dalam acara serah-terima jabatan di Balai Kota.
“Kalau berdasarkan agama saya tak mau berdebat, karena gara-gara itu saya disidangkan. Tapi kalau [Anda] milih berdasarkan agama, saya mau bilang kalau Anda melawan konstitusi,” ujar Ahok.
Tak perlu waktu lama ucapan itu direspons oleh sejumlah tokoh, antara lain oleh wakil ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. Hidayat menanggapinya dengan mengatakan bahwa kebebasan memeluk agama dan beribadah diatur dalam konstitusi.
Sementara itu, lewat akun resmi twitter, Lukman mengatakan bahwa memilih berdasarkan agama sama sekali tidak melanggar konstitusi di Indonesia.
“Kita bangsa religius yg menjadikan agama sebagai acuan bersikap. Memilih cagub berdasar keyakinan agama sama sekali tak langgar konstitusi,” tulis Lukman.
Anies Formal, Sandiaga Nyentrik
Hujan turun sesaat sewaktu Anies Baswedan mendatangi daerah Sawah Besar, Jakarta Pusat, 16 Januari lalu. Itu agak mengacaukan persiapan sekelompok grup marawis yang menyambutnya. Namun, alih-alih segera meneduh, Anies menyalami warga di lokasi, berjalan menuju ke panggung kecil yang sudah disediakan untuknya.
Mengenakan jaket parasut, Anies berorasi di atas panggung, ditemani ketua RW setempat. Ia menyampaikan tiga hal yang menurutnya menjadi garansi warga memilih dirinya. Tiga alasan itu yang jadi program unggulan pasangan nomor urut tiga tersebut: KJP Plus, urban renewal, dan OK OCE.
Sesudahnya barulah Anies membuka sesi pertanyaan. Saat sesi itulah warga mengeluhkan beragam masalah dan menyampaikan unek-unek kepada Anies, yang kemudian dijawabnya dengan sejumlah janji.
Model kampanye Anies di Sawah Besar itu berlaku pula di tempat lain. Hari itu saja, dalam kampanyenya ke dua tempat yang lain, Anies kembali mengulang orasinya di tempat pertama. Kalaupun ada hal baru adalah respons tanya-jawab antara ia dan warga.
Model kampanye Anies serupa proses belajar-mengajar di ruang kelas. Ada materi yang disampaikan terlebih dulu, lantas ada pertanyaan dan tanggapan. Seandainya ada keluhan dan pertanyaan dari warga, agak jarang Anies menyampaikan perihal baru dari tiga program andalannya itu.
Sebaliknya, Sandiaga Uno minim berorasi dan lebih sering melebur bersama warga. Bila Anies layaknya guru, maka Sandiaga bak pelawak, suka melakukan lelucon.
Ada saja ucapan atau tindakannya yang memancing tawa. Seperti pantun-pantun yang dilontarkannya saat mengakhiri orasi saban kampanye.
”Jalan-jalan ke Pantai Sanur, jangan lupa beli janur. Makan roti manis itu sehabis mandi. Kalau mau pilih calon gubernur dan wakil gubernur, pilih saja Bang Anies-Sandi,” katanya di Pondok Pinang, 17 Januari lalu.
Tidak hanya itu. Bila Anies cenderung formal, Sandiaga sebaliknya. Ia sosok yang siap melakukan apa saja di hadapan konstituen.
Di Pondok Pinang, saat disambut salawatan grup marawis, Sandiaga bahkan berjoget mengikuti iringan nada marawis. Ia mengayunkan tangannya ke atas dan ke bawah, seperti mengajak semua orang di situ untuk ikut bersalawat, tak lupa menambahkan gerakan OK OCE, sebelum akhirnya memutar kedua tangan seakan menggulung benang layangan.
Selain itu, Sandiaga juga ceplas-ceplos. Menjelang debat kedua, seusai seminar wirausaha OK OCE di kantor Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam, pada 26 Januari lalu, Sandidaga dengan enteng menjawab: “Soal tema debat kedua nanti, Mas Anies sudah cukup paham. Paling saya hanya OK OCE saja di belakangnya.” Dan terbukti, selama debat kedua esok harinya, Sandiaga lebih sering duduk dan melakukan gerakan OK OCE di belakang Anies.
Kendati begitu, Sandiaga tipikal perasa. Saat melakukan kunjungan di Pondok Pinang itu, seorang ibu yang menggendong anaknya dan menggandeng anaknya yang lebih besar, berlari menghampirinya. Ibu itu langsung memeluk Sandiaga sambil terisak. Sandiaga pun memeluknya balik.
“Pak Sandi, KJP enggak dihapus, kan?” kata si ibu.
“Tidak, Ibu. KJP tidak kami hapus, malah ditingkatkan menjadi KJP Plus. Jangan percaya dengan fitnah,” kata Sandiaga.
Kepada Sandiaga, Ibu itu memperkenalkan diri sebagai Bu Yos. Ia memiliki tiga anak yang mesti disekolahkan. Namun, penghasilan dari pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga dan penjual gorengan tak cukup untuk membiayai sekolah ketiga anaknya, termasuk anak pertamanya yang SMP.
“Saya minta bantuan Pak Sandi. Tolong banget, Pak,” kata Bu Yos.
Selagi si ibu mencurahkan kesulitannya, Sandiaga memeluknya lebih erat. Namun, warga lain di dekatnya justru menertawakannya. Mendengar tawa warga atas curhatan Bu Yos, Sandiaga marah.
“Apa-apaan kalian ini, ada saudaranya kesusahan kok malah ditertawakan? Enggak boleh itu. Prihatin dong!” Nada suara Sandiaga tinggi. Sontak, warga yang tadinya tertawa pun terdiam. Suasana untuk beberapa saat menjadi melankolis.
Kepada Bu Yos, Sandiaga menyampaikan tidak perlu khawatir. Ia mengklaim bila nanti terpilih bersama Anies Baswedan, perkara yang dialami Bu Yos takkan ada lagi.
Nama Bu Yos sendiri disebut oleh Sandiaga dalam debat kedua. Bu Yos menjadi bagian dari deretan nama yang disebut oleh pasangan Anies-Sandi dalam tiga debat yang mereka lakoni.
Bila Bu Yos soal pendidikan, lain lagi dengan Bu Misnah. Ibu yang juga pernah disebut Sandiaga dalam salah satu sesi debat ini memiliki anak yang menderita kelenjar getah bening. Ia menghampiri Sandiaga yang tengah melakukan kampanye di wilayah Klender, Jakarta Timur.
Bu Misnah berkata kepada Sandiaga bila anaknya ditolak oleh RSCM lantaran tak punya uang untuk membayar pengobatan di sana. Ia meminta kepada Sandiaga agar bisa dibantu berobat.
Sandiaga, yang saat itu tengah berjalan, berhenti dan mendengarkan curhatan Bu Misnah dengan khidmat. Seperti kepada Bu Yos, Sandiaga juga memeluk Bu Misnah. Bahkan terlihat mata Sandiaga berkaca-kaca. Kepada Bu Misnah, Sandiaga berjanji membantunya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam