tirto.id - Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Fitra Arda mengatakan Gedung Utama Kejaksaan Agung "belum masuk" dan "belum teregistrasi" sebagai benda cagar budaya.
Pernyataan Fitra kepada reporter Tirto pada Rabu (26/8/2020) itu mematahkan klaim Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono pada Minggu (23/6/2020). Dalam akun Youtube Kejaksaan RI ia mengatakan "gedung ini masuk dalam deretan catatan cagar budaya" (detik ke 0:50).
Oleh karena itu renovasi gedung ini "harus sesuai dengan peraturan daerah yang dalam hal ini ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta tentang cagar budaya."
Pernyataan Fitra sama persis dengan keterangan Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta periode 2017 hingga 28 Juli 2020 Mundarjito. Semasa menjabat, ia tak pernah menerima pengajuan cagar budaya dari kejaksaan. Sepengetahuan Mundarjito, Gedung Utama Kejaksaan Agung tidak disebutkan di SK Gubernur 475 Tahun 1993--SK terakhir penetapan cagar budaya.
"Di SK Gubernur 475/1993 itu ada ratusan cagar budaya. Di situ tidak ada," kata Mundarjito, Kamis (27/8/2020).
Memahami Cagar Budaya
Status cagar budaya tidak bisa diperoleh sembarangan, kata Fitra. Ada sejumlah tahapan yang harus dilalui. "Didaftarkan, lalu dinilai tim ahli, baru ditetapkan." Pendaftaran sebuah objek menjadi cagar budaya bisa diajukan oleh pemerintah setempat atau pemilik objek.
Objek yang didaftarkan harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pasal 5 menyebut, benda, bangunan, atau struktur bisa diajukan sebagai cagar budaya bila memenuhi empat kriteria, yakni berusia 50 tahun atau lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Objek tersebut diajukan kepada TACB lokal atau atau TACB nasional. Tim tersebut yang menilai kelayakan gedung masuk cagar budaya atau tidak. "Kalau dinyatakan sebagai CB (cagar budaya), diajukan di tingkat DKI ditetapkan oleh gubernur, kalau nasional ditetapkan menteri," kata Fitra.
Salah satu contoh cagar budaya di lingkungan yudikatif adalah Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. "Itu memang bangunan kolonial, sudah lama betul." kata Fitra.
Apabila benda atau gedung sudah berstatus cagar budaya, pemilik dapat melestarikannya dengan cara memugar. Pemugaran melibatkan tim cagar budaya dari Kemdikbud. Sebelum melakukan itu, tim akan melakukan kajian terlebih dulu. Situasi serta filosofi dari bangunan bakal diteliti.
Biaya perbaikan dibebankan kepada pemilik cagar budaya.
Belum Diasuransikan
Selain bukan cagar budaya, Gedung Utama Kejaksaan Agung pun belum diasuransikan. "Catatan kami: belum diasuransikan," kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata. Oleh karena itu, "kalau direnovasi atau dibangun kembali, tentu membutuhkan penganggaran baru APBN."
Isa mengatakan estimasi biaya pembangunan kembali mencapai Rp155 miliar. Saat pembangunan pertama pada 1970, gedung ini hanya bernilai Rp7 juta.
Selain menunggu uangnya ada, Kementerian PUPR dan Universitas Indonesia juga diperintahkan untuk "meneliti struktur bangunan."
Ia berharap kejadian ini jadi pelajaran bagi kementerian/lembaga lain "membangun budaya baru" untuk "mengasuransikan bangunannya". Sejauh ini baru 10 kementerian/lembaga yang sedang mengajukan proses asuransi.
Analis asuransi Irvan Rahardjo menjelaskan apabila suatu barang diasuransikan, pihak asuransi dapat mengganti penuh kerugian dari kerusakan.
"Kalau mau dapat uang ganti penuh dari asuransi harus dengan cara harga baru. Kalau tidak, Anda hanya mendapat sejumlah uang yang sudah dipotong penyusutan, maka Anda tidak bisa membangun kembali dari uang asuransi karena uangnya hanya dapat berapa karena dipotong penyusutan," kata Irvan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino