tirto.id - PT Freeport Indonesia (Freeport) berharap pemerintah masih memberikan relaksasi kebijakan ekspor mineral. Ini terkait Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang menjadi dasar izin perusahaan tambang untuk melakukan ekspor mineral mentah mulai kadaluarsa besok, 11 Januari 2017.
“Kami berharap pemerintah memberikan relaksasi ekspor,” kata VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama kepada Tirto, Selasa (10/01/2017).
Perusahaan pemegang kontrak karya (KK) seperti Freeport memang sedang di ujung tanduk menunggu arah keputusan pemerintahan Presiden Jokowi. Freeport dan perusahaan tambang lainnya selema beberapa tahun mendapat relaksasi dari UU No 4 tahun 2009 tentang mineral batu bara yang disahkan pada Januari 2009, yang mengamanatkan pembangunan pabrik pemurnian (smelter) oleh perusahaan tambang paling lambat pada Januari 2014.
PP yang berakhir ini mengatur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Meski demikian, Freeport tak akan mengajukan izin rekomendasi ekspor ke pemerintah, mereka lebih memilih menunggu keputusan pemerintah, untuk memperpanjang atau sebaliknya.
“Kami masih menunggu aturan dari Pemerintah,” tambah Riza.
Kemarin, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan sempat mengatakan keputusan mengenai relaksasi ekspor mineral mentah akan diserahkan kepada Presiden Jokowi dalam rapat kabinet terbatas Selasa (10/1/2017). Artinya jika tidak ada revisi mengenai kebijakan tersebut, maka perusahaan tambang tidak diperkenankan untuk melakukan ekspor mineral mentah.
Belum ada yang pasti sebelum pemerintah mengambil keputusan. Namun, ucapan Luhut kemarin mengungkapkan ada pelanggaran yang terjadi dalam keputusan mengenai relaksasi ekspor mineral mentah dua tahun lalu.
"Kami tidak ingin mengulangi kesalahan. Kita ini menerima masalah lalu yang menurut saya, kita banyak melanggar UU Minerba. Tapi sudah kejadian, mau diapain? Kita cari solusi, jalan tengah," ujarnya.
Sejak adanya relaksasi, Freeport setidaknya sudah mendapatkan enam kali perpanjangan izin ekspor. Relaksasi ini memang sambil menunggu realisasi pembangunan smelter oleh perusahaan tambang seperti Freeport.
Namun, membangun smelter oleh Freeport tidak mudah, seperti dikutip Antara, hingga akhir 2016 Freeport belum merealisasikan pembangunan smelter itu.
Freeport sempat menjalin kerja sama dengan perusahaan PI Indosmelt dan PT Indovasi Mineral Indonesia untuk pembangunan smelter pengolahan 60 persen konsentrat tembaga hasil penambangan Freeport pada 2013 pada era Presiden Direktur PTFI dipegang oleh Rozik Boedioro Soetjipto.
Freeport sempat akan membangun smelter di Gresik di Jawa Timur, di lahan milik PT Petrokimia Gresik. Lokasi ini dipertimbangkan terkait limit waktu yang diberikan Pemerintah Indonesia yakni hanya 2,5 tahun. Jika harus membangun di Papua maka butuh waktu sekitar 4-5 tahun. Di sisi lain, ada dilema Freeport lebih memilih Gresik daripada Papua, padahal perusahaan tambang asal Amerika itu beraktivitas di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, seperti yang disuarakan oleh pemerintah daerah Papua.
Sayangnya, hingga para petinggi Freeport berganti ke Maroef Sjamsoeddin sampai digantikan oleh Chappy Hakim, persoalan smelter belum juga selesai. Tentu ini menjadi dilema bagi pemerintah saat ini apakah akan menghentikan ekspor konsentrat Freeport atau sebaliknya tetap memberikan relaksasi ekspor yang menyangkut nilai yang tak sedikit. Kita tunggu saja.
Penulis: Suhendra
Editor: Addi M Idhom