tirto.id - Tak banyak kisah cinta yang bisa dijuduli “Fire of Love” (api cinta) tanpa terdengar melebih-lebihkan. Kisah Katia dan Maurice Krafft adalah satu di antara segelintir itu.
Keduanya adalah pasangan vulkanologis asal Perancis dengan spesialisasi geokimia dan geologi. Keduanya kerap didapuk sebagai pionir fotografi dan film tentang gunung berapi yang diambil dari titik-titik ekstrem yang mempertaruhkan nyawa—mulai dari mulut kawah hingga tepian aliran lava.
Ditulis dan disutradarai Sara Dosa, dokumenter Fire of Love yang dirilis pada 2022 lalu membingkai kisah pasangan Krafft mulai dari pertemuan hingga akhir hayat mereka.
Sama-sama menghabiskan masa kecil di reruntuhan pascaperang Alsace, Perancis, Katie dan Maurice tumbuh dengan kekecewaan pada kemanusiaan, menolak perang, dan pada akhirnya “mengungsi” menuju misteriusnya alam.
Mereka menemukan minat terbesar dalam mendekati dan meneliti gunung berapi, juga menemukan satu sama lain berkat kecintaan yang selaras pada Gunung Etna dan Stromboli. Keduanya berbarengan mendapati gairah pada ketidakberdayaan saat berada di bagian bumi yang tak terjinakkan itu.
Gairah Cinta dan Sains
Hidup sesuai ritme denyut bumi, Katia dan Maurice melangkah ke mana aktivitas gunung berapi memanggil. Camping di mulut kawah Nyiragongo di Zaire, sempat gentar melihat polah Anak Krakatau, kadang karena kesibukan mencari uang demi mendanai perjalanan macam itu, sampai melewatkan erupsi dahsyat St. Helens.
Mereka seakan tak bisa menjalani hidup seperti itu tanpa satu sama lain. Mereka pasangan yang berbagi kesenangan membolak-balikkan setiap batu, menyusuri sungai lava—kerja-kerja ilmu pengetahuan.
Fire of Love tak lupa menyoroti kerja-kerja penting ilmuwan yangsering kali tak begitu digubris. Katia dan Maurice disebut-sebut sebagai bagian dari deretan pendesak yang meminta pemerintah mempersiapkan sistem peringatan dan rencana evakuasi yang mumpuni.
Sayangnya, para pembuat keputusan menganggap persiapan demikian terlalu mahal. Dalam salah satu episode pemerintah-tak-mendengarkan-ilmuwan, kebebalan itu mesti dibayar amat mahal—berupa melayangnya 20 ribu nyawa rakyat Kolombia pada Tragedi Armero yang diawali erupsi Nevado del Ruiz.
Masukan serupa yang ditanggapi serius, setidaknya yang ditunjukkan dokumenter ini, sukses menyelamatkan 58 ribu warga Filipina kala Gunung Pinatubo erupsi pada 1991. Gesitnya pemerintah mematuhi peringatan saat itu dinilai tak lepas dari andil Katia dan Maurice memfilmkan cara memahami gunung berapi.
Intinya, malapetaka bisa dihindari bila kau mendengar masukan dari saintis yang menghabiskan hidupnya meneliti gunung berapi aktif.
"Mungkin kau memerlukan filosofi eksistensi tertentu untuk menghadapi monster vulkanik ini. Milikku mendasar saja. Aku lebih suka kehidupan yang intens dan singkat daripada kehidupan yang monoton dan panjang."
Ucapan Maurice itu dibacakan ulang seraya gambar menampilkan sang vulkanologis melangkah menuju erupsi. Itu terdengar seperti kegilaan, memang. Orang yang sama pernah menjajal berperahu karet di kawah belerang saat mengunjungi Indonesia dan bahkan punya mimpi berperahu di atas aliran lahar. Karenanya, Maurice dapat julukan Volcano Devil.
Sesekali, dokumenter menampilkan perbedaan visi antara Katia dan Maurice, baik soal keilmuan maupun kenekatan. Namun seperti banyak hal lainnya, mereka juga sepakat untuk satu hal, terutama bagaimana mereka bakal berakhir.
"Aku ingin lebih dekat, langsung ke perut gunung berapi. Itu akan membunuhku suatu hari nanti, tapi itu tidak menggangguku sama sekali," ujar Maurice.
Di lain waktu, Katia berkata, "Bukannya aku menggoda kematian, tapi pada saat itu, aku sama sekali tak peduli."
Narasi dokumenter Fire of Love pun pada akhirnya mengarah pada kegetiran: akhir hidup sepasang ilmuwan, akhir kisah cinta sepasang manusia.
Terbangunnya Gunung Unzen di Jepang setelah 200 tahun tertidur memanggil mereka. Rekaman terakhir Katia dan Maurice Krafft menunjukkan keduanya sedang mengambil gambar aktivitas gunung tersebut. Hingga aliran piroklastik skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya menewaskan pasangan Krafft bersama 41 jiwa lain pada 3 Juni 1991.
Dokumenter Romantis
"Di dunia ini, ada api yang menyala-nyala. Dan dalam api ini, dua kekasih menemukan rumah," ucap narator.
Bagi saya, Fire of Love jelas dokumenter romantis. Ia berkisah ihwal cinta dua manusia. Ia memaparkan gairah keduanya terhadap sesuatu yang sama. Sepasang kekasih yang hidupnya berakhir tatkala melakukan aktivitas yang paling mereka cintai jelas kisah romantis.
Ia pun bisa dikatakan meromantisasi sulitnya memisahkan kehidupan para ilmuwan dan kegilaan akan subjeknya.Atau sebetulnya, dua hal itu tak perlu dipisahkan. Dan ia romantis lantaran menampilkan hasrat dan kegigihan manusia memahami perkara yang belum terpecahkan, mencoba mengerti dunia yang kita tinggali.
Fire of Love pun tak luput memaparkan perihal teknis soal gunung berapi, mulai dari klasifikasinya yang tak pernah sama, penjelasan beda red dan grey volcano, hingga prediksi intensitas dan pemicu ketidakstabilan magma yang tak pernah berhenti dipelajari. Semuanya dalam porsi yang tak terlalu besar dan tak kelewat memusingkan bagi penonton awam.
Hujan abu jelas bukan sekadar penghalang, terlebih bagi mereka yang tinggal di negeri-negeri Cincin Api atau kawasan mana pun di bawah ancaman bencana gunung berapi. Dan dokumenter ini menemukan cara untuk tak menyinggung terus-terusan soal petaka yang nyaris tak bisa dilepaskan dari keberadaan gunung berapi.
Deburan lahar, luncuran bom vulkanis diselingi dengan gambar-gambar alam, lanskap atau kejadian periodik yang bisa jadi tak berhubungan. Footage teramat lengkap yang dikumpulkan Katia dan Maurice Krafft semasa hidup menjadi sajian utama—termasuk kejadian-kejadian lucu dan iseng, seperti mengetes fire proximity suit atau merekam adegan koboi bagai The Good, the Bad, and the Ugly. Animasi yang elok sesekali hadir untuk mendeskripsikan persoalan teknis.
Keseluruhannya dirakit Sara Dosa dengan piawai, menjadi jenis dokumenter yang cukup langka ditemukan belakangan. Ia bukan sekadar runutan kejadian maupun cuplikan, tapi memberikan suasana yang distingtif.
Sinematografinya sendiri dengan jalinan musik pengiring dan gambar-gambar bahkan menjadikannya layak ditonton tanpa narator sehingga lebih menyerupai feature film, alih-alih dokumenter kebanyakan.
Kerja-kerja pasutri Krafft sebetulnya telah menemui kalangan luas sejak dokumenter Into the Inferno (2016) garapan Werner Herzog. Sebuah dokumenter yang layak, mengeksplorasi gunung berapi dari mata sains dan mistis, tapi juga sekaligus membatasi para ujung tombaknya (orang-orang seperti pasutri Krafft) sebagai ilmuwan dan pewarta.
Maka Fire of Love menampilkan sosok-sosok itu sebagai manusia, menggali motif yang bikin mereka berdenyut dan terus melangkah, mengingatkan akan kecilnya manusia di antara kekuatan alam mahadahsyat seperti gunung berapi, sekalian mengingatkan bahwa ketakberdayaan dalam waktu yang sekejap itu pantas diceritakan dan layak dikenang.
Poin-poin itu disampaikan dengan menawan oleh narator Miranda July dengan cara yang kentara berbeda dari Herzog maupun David Attenborough. Penyampaiannya yang lembut—tak jarang juga puitis bahkan misterius—terasa membuai, sukses membaurkan kisah cinta antarmanusia, individu dengan dunianya, dan hasrat akan obsesi masing-masing.
Fire of Love mungkin tak bisa dibilang betul-betul terobosan. Bukan pula berada di koridor "dokumenter yang wajib disaksikan". Namun dengan kadar informasi yang pas dan narasi yang mudah diikuti, ia adalah tuturan yang indah tentang kisah cinta yang tak sering terjadi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi