tirto.id - Ekonom dari Universitas Airlangga, Rumayya Batubara, menilai volatilitas rupiah biasanya akan meningkat saat tahun pertama dalam periode transisi pemerintahan lama ke pemerintah baru. Volatilitas itu pun cenderung diikuti dengan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Rupiah terhadap dolar AS juga melemah saat ini menjelang transisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden Terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto. Mata uang Garuda melemah mendekati Rp16.500 per dolar AS.
Menurut data yang dihimpun Rumayya, pada saat Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat pada Oktober 2004, nilai tukar rupiah berada di level Rp9.100 per dolar AS dan terdepresiasi menjadi sekitar Rp9.800 per dolar AS pada akhir 2005. Dari sini terlihat pola depresiasi tajam akan terjadi di awal-awal tahun, namun segera membaik setelah 2006.
“Tahun-tahun awal menunjukkan depresiasi tajam, tetapi dari 2006 dan seterusnya, tingkat depresiasi melambat,” ujar Rumayya, saat dihubungi Tirto, Kamis (27/6/2024).
Selanjutnya, pada awal Jokowi menjabat sebagai presiden di Oktober 2014, nilai tukar rupiah berada di posisi Rp12.200 per dolar AS dan anjlok hingga Rp13.800 per dolar AS pada akhir 2015. Sama seperti masa jabatan Presiden SBY, depresiasi signifikan kembali terjadi pada tahun pertama pemerintahan Jokowi.
Dengan melihat periode awal kepemimpinan dua presiden tersebut, Rumayya menilai, volatilitas dan depresiasi rupiah yang lebih tinggi disebabkan oleh ketidakpastian politik dan ekonomi. Kondisi ini juga jamak terjadi pada transisi pemerintahan lama ke pemerintah baru.
“Lebih karena adanya periode ketidakpastian kemana langkah kebijakan pemerintah baru, jadi market nya agak khawatir, panik atau overreacting. Nanti tahun keduanya biasanya udah turun volatilitas dan depresiasinya,” jelas Rumayya.
Namun, jika di tahun kedua masa pemerintahan presiden baru rupiah tidak juga stabil, kemungkinan ada masalah fundamental yang harus diwaspadai pemerintah. Masalah fundamental itu antara lain terkait dengan defisit neraca berjalan, inflasi dan utang luar negeri pemerintah.
“Pemerintahan baru tidak saja perlu mengantisipasi masalah-masalah fundamental, tapi juga harus berhati-hati agar tidak memicu munculnya masalah-masalah baru yang berpotensi mengganggu fundamental ekonomi,” imbuh dia.
Selain itu, untuk menjaga stabilitas rupiah, pemerintah juga harus meramu kebijakan-kebijakan yang bisa membuat pasar optimis terhadap kondisi pasar keuangan nasional. Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu membangun kepercayaan masyarakat untuk mengurangi faktor ketidakpastian di dalam negeri.
“Kebijakan-kebijakan yang dirumuskan pemerintahan baru harus doable atau feasible dan bisa meyakinkan pasar dan membangun kredibilitas pemerintah sehingga mengurangi faktor ketidakpastian,” tutur Rumayya.
Berbeda dengan Rumayya, Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai pergantian kepemimpinan tidak selalu berkaitan dengan pelemahan rupiah. Apalagi, jika pergantian tersebut melalui proses demokrasi yang wajar.
Menurutnya, depresiasi terjadi akibat salah kelola kebijakan ekonomi, yang seringkali diperburuk oleh situasi ekonomi dunia yang dinamis dan tidak pasti. “Kondisi ekonomi kita yang melemah saat ini adalah akibat dari salah urus ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, kondisi gobal ada peran juga, tetapi sangat minor,” tutur Wijayanto.
Salah urus kebijakan ekonomi tersebut antara lain, karena utang berlebih dengan bunga tinggi, proyek-proyek mahal yang digagas pemerintah dengan dampak minim bagi peningkatan produktivitas ekonomi, ketidakpastian regulasi dan regulasi yang tidak berpihak pada industri, dan kurangnya dukungan pada sektor manufaktur sehingga terjadi deindustrialisasi.
Selain itu, tata kelola birokrasi yang buruk juga dapat menimbulkan biaya ekonomi tinggi, insentif pajak tidak tepat sasaran yang mengakibatkan rasio pajak (tax ratio) stagnan, hingga lemahnya perlindungan bagi produsen dalam negeri terhadap serbuan produk impor, khususnya dari Cina.
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pemerintah perlu secara tegas menyelesaikan isu-isu yang menjadi perhatian investor dan dunia usaha, di antaranya menyampaikan rencana konkrit yang realistis terkait kebijakan fiskal lima tahun ke depan. Ini perlu dilakukan dengan memastikan tingkat utang terkontrol dengan Debt Service Ratio (DSR) -perbandingan jumlah utang dengan penerimaan yang diterima negara- yang aman.
“Memastikan belanja APBN efektif, dengan prioritas pada spending yang berdaya ungkit ekonomi. Kurangi atau bahkan hentikan program populis boros anggaran. Dengar secara serius concern pengusaha, terutama sektor manufaktur dan pelaku retail. Response concern mereka dengan kebijakan yang pro industri,” tegas dia.
Pada saat yang sama, pemerintah juga harus memastikan korupsi di Tanah Air tidak semakin merajalela dan birokrasi makin efektif dalam bekerja. Selain itu, komunikasi antara satu kementerian dengan kementerian lain atau satu pejabat pemerintahan dengan pemerintahan lain tidak boleh tumpang tindih.
“Jangan sampai masing-masing menteri/pejabat menyampaikan berbagai pendapat aneh yang justru menurunkan kredibilitas Pemerintah. Tidak mudah memang, tetapi situasi kita memang sangat sulit. There is no easy way,” pungkas Wijayanto.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang