tirto.id - Larangan pemerintah untuk menjual pakaian bekas impor atau thrifting membuat pelaku usaha di bisnis ini berada di persimpangan jalan. Memilih berhenti berbisnis thrifting atau terus berdagang dengan risiko melanggar hukum menjadi pilihan dilematis. Daripada disetop, penataan dan regulasi yang jelas menjadi solusi yang dinilai lebih adil.
Pedagang thrifting meminta pemerintah tidak melarang usahanya. Pasalnya, alih usaha atau mengganti barang dagangan pakaian bekas impor menjadi produk lokal bukan hal yang mudah. Sangat berisiko, jika mereka harus merintis bisnis baru di tengah lesunya ekonomi. Di sisi lain, para pedagang memikul tanggung jawab berat untuk menafkahi keluarga.
“Bisnis pakaian bekas impor ini sudah punya pelanggan sendiri. Kalau dilarang, kami mau makan apa?” keluh rata-rata para pedagang pakaian bekas impor menanggapi larangan berdagang thrifting. Kekecewaan terhadap larangan pemerintah itu membulatkan tekad para pedagang untuk memperjuangkan kepentingannya.
Dialog para pedagang di Pasar Senen, Jakarta bersama Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki yang dipandu Anggota DPR RI Adian Napitulu pada Kamis (30/3/2023) menghasilkan keputusan, pedagang boleh berjualan sampai stoknya habis. Dan, pemerintah tetap bersikukuh melarang penjualan pakaian bekas impor.
Tak puas dengan dialog tersebut, pada Selasa (6/6/2023), ratusan pedagang thrifting yang tergabung dalam Himpunan Pedagang Pakaian Impor Indonesia (HPPI) bersama seluruh perwakilan pedagang thrifting di Indonesia melakukan unjuk rasa di Kantor Kementerian Perdagangan.
Para pendemo menuntut pemerintah membolehkan pedagang mencari nafkah dengan berjualan pakaian bekas impor, mengesahkan perdagangan thrifting, dan memberikan kuota dagang impor thrifting.
Mereka juga menolak dikambinghitamkan sebagai penyebab lesunya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) beserta UMKM terkait. Sebelumnya, Presiden Jokowi dalam Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri di Gelora Bung Karno, Jakarta pada Rabu (15/3/2023) menyebut, perdagangan thrifting bisa membunuh UMKM.
Senada dengan Presiden, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, barang branded bekas yang dijual murah itu akan merusak produk UMKM yang bergerak di sektor TPT.
Mengutip data dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI), sebanyak 80% produsen pakaian di Indonesia didominasi oleh UMKM. Dengan maraknya impor pakaian bekas ini diperkirakan akan memangkas pangsa pasar UMKM sebesar 12%-15%.
Hal tersebut dibantah oleh para pedagang. ”Bukan thrifting yang membunuh UMKM, melainkan pakaian impor dari China yang menguasai 80 persen pasar Indonesia,” tulis Pedagang thrifting di spanduk besar yang dibentangkan di area Blok III, Pasar Senen, salah satu pusat perdagangan thrifting di Jakarta.
Sebenarnya, peraturan terkait larangan impor pakaian bekas ini sudah ada sejak tahun 2021, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 18 Tahun 2021, yang kemudian direvisi dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomer 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Faktanya, larangan pemerintah itu tak menghentikan perdagangan thrifting, bahkan makin menjamur.
Pusat perburuan pakaian bekas impor bermerek itu ada di berbagai kota, di antaranya Pasar Senen, Pasar Baru, dan Blok M Square (Jakarta), Pasar Cimol, Gedebage (Bandung), New Makassar Mal (Makassar). Pusat perdagangan thrifting terbesar di Indonesia berada di Pasar Monza TPO, di Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Tak hanya berjualan di pasar atau kios, pedagang thrifting juga memanfaatkan e-commerce, seperti Shopee, dan TikTok untuk berjualan daring.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, impor pakaian bekas selama tahun 2022 mencapai 26,22 ton atau melonjak 227,7% dari 8 ton di tahun 2021. Nilai impor juga melesat sebesar 518,5%, dari USD44.000 atau Rp677,6 juta menjadi USD272.146 atau kisaran Rp 4,19 miliar (kurs Rp 15.400/USD). Bila termasuk barang selundupan, total nilai impor pakaian bekas ini diyakini jauh lebih besar.
Sepanjang tahun 2023 (periode Januari-Maret) saja, menurut Plt. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan Moga Simatupang, pemerintah telah memusnahkan 14.717 bal pakaian bekas impor senilai Rp118 miliar. Dikutip dari Antara, Kamis (6 April 2022).
Perinciannya, pemusnahan pertama dilakukan pada 17 Maret di Pekan Baru, Riau sebanyak 730 bal senilai Rp10miliar. Pemusnahan kedua pada 20 Maret di Sidoarjo, Jawa Timur sebanyak 824 bal senilai Rp11 miliar.
Rekor terbesar pemusnahan sebanyak 7.363 bal senilai Rp80 miliar dilakukan di Cikarang, Jawa Barat pada akhir Maret. Pemusnahan pakaian bekas impor terakhir di bulan Maret dilakukan di Batam sebanyak 5.800 bal pakaian bekas senilai Rp17 miliar.
Digemari Kelompok Sosial BPJS
Peminat pakaian bekas impor ini pada umumnya adalah orang yang menyukai barang-barang bermerek (branded), tetapi ingin berhemat. Banyak juga anak muda yang ingin tampil keren bak pesohor, namun bujet tidak mencukupi untuk membeli barang yang mahal. Mereka disebut kelompok sosial BPJS (Bujet Pas-pasan, Jiwa Sosialita).
Seiring keberadaan Internet, perdagangan thrifting juga semakin luas. Thrifting sebenarnya kegiatan memburu barang bekas atau istilahnya barang loak.
Barang yang diburu biasanya unik atau langka, yang sulit ditemui di tempat biasa. Selain pakaian, ada produk fashion lainnya, seperti sepatu, jam, topi. Lalu, peralatan olah raga hingga perabotan rumah tangga. Untuk Indonesia, istilah thrifting disematkan untuk penjualan pakaian bekas impor.
Banyak Generasi Milenial dan Gen Z yang percaya, pakaian bekas impor (apalagi yang bermerek) memiliki kualitas bagus dan harganya juga murah meriah.
Suatu hari, saat datang ke klinik di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, saya dibuat terkejut ketika dokter yang bekerja di klinik itu menunjukkan bungkusan berisi empat helai baju bekas yang dibelinya dari toko online.
Dokter muda yang gendernya perempuan itu mengatakan bahwa dia suka belanja baju bekas, sebab harganya murah dan kualitasnya baik. Dia mengaku ingin berhemat sebab tidak mudah mencari uang. ”Buat apa beli baju mahal-mahal. Sayang uangnya….Dipakai paling 3 kali, empat kali sudah bosan,” jelasnya sembari tersenyum.
Penggemar thrifting yang awalnya dari golongan menengah bawah, ternyata telah bergeser ke seluruh lapisan masyarakat. Tak hanya yang berprofesi dokter, Pentolan Grup Musik Dewa 19 Ahmad Dhani juga penggemar barang bekas.
Selain gemar berburu furnitur dan perabotan antik di pasar loak, musisi yang mulai terjun ke dunia politik ini juga suka berburu pakaian bekas saat ke luar negeri.
Di channel Youtube Ahmad Dhani Dalam Berita, Dhani dan keluarga tampak berbelanja pakaian bekas di Pasar Loak Melrose, Amerika Serikat. Di kesempatan berbeda, Dhani beberapa kali juga membagikan keseruannya memilih baju bekas. Bahkan, sebagian kostum panggung Dhani adalah barang thrifting.
Pasar Loak Melrose yang dikunjungi Dhani terlihat berada di area terbuka dan sederhana. Para pedagang di tempat itu menata barang dagangannya dengan apik di tenda-tenda yang berderet rapi. Rupanya, keberadaan bisnis thrifting tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Sejarah Toko ‘Thrifting’
Dilansir dari laman instathrifts.com dalam artikel yang berjudul The History of Thrift Stores and Secondhand Clothing toko barang bekas pertama yang diketahui disebut Dorcas Society, didirikan di Boston, AS, tahun 1805.
Di toko itu, sekelompok perempuan mengumpulkan pakaian bekas dan membagikannya ke orang tidak mampu. Awalnya, penjualan barang bekas memang untuk mendanai kegiatan amal.
Pada akhir tahun 1800-an, Salvation Army juga membuka toko bekas pertamanya di London, Inggris. Toko ini menjual pakaian bekas dan barang-barang lainnya. Hasilnya juga disumbangkan untuk kegiatan amal.
Konsep toko bekas semakin menyebar. Di Amerika Serikat, Goodwill Industries didirikan tahun 1902 dan Salvator Army membuka toko pertamanya di Amerika tahun 1907.
Selama resesi ekonomi yang disebut depresi besar-besaran (Great Depression) di tahun 1930-an, toko barang bekas semakin populer. Banyak orang kesulitan ekonomi, sehingga tidak mampu membeli pakaian baru.
Tren tersebut berlanjut hingga tahun 1980-1990-an dengan maraknya pakaian vintage dan fashion grunge. Toko barang bekas menjadi destinasi populer bagi anak muda yang mencari pakaian unik dengan harga terjangkau.
Pada abad ke-20, pakaian bekas semakin populer dan menjadi gerakkan tandingan budaya untuk mengekspresikan individualitas dan menolak konsumerisme arus utama. Persepsi terhadap pakaian bekas juga berubah.
Sebagai salah satu bidang usaha, bisnis thrifting menarik. Namun, pakaian bekas impor yang dijual murah ini, menurut Menkop dan UKM Teten Masduki, menimbulkan sedikitnya tiga kerugian negara. Pertama, merusak UMKM yang berbisnis tekstil dan produk tekstil.
Kedua, menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan. Pakaian bekas yang didatangkan dari beberapa negara, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika, bahkan Thailand ini bisa berpotensi menularkan penyakit jika tidak dicuci dengan benar. Selain itu, limbah pakaian bekas yang berjumlah ribuan ton itu bisa merusak lingkungan.
Ketiga, pakaian bekas impor ini ilegal, karena melanggar aturan negara. Barang thrifting legal saja bisa merugikan negara, apalagi jika selundupan. Mereka tidak membayar bea masuk, hingga Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
Dengan dalih tersebut, pemerintah bersikukuh tidak akan merevisi aturan yang melarang impor pakaian bekas. Kata Teten, pemerintah akan menutup pintu masuk impor pakaian bekas dan membasmi importir ilegal. Permintaan pakaian bekas impor akan diganti dengan produk lokal.
Sampai saat ini, pedagang masih menuntut aturan yang melarang thrifting direvisi pemerintah agar mencerminkan keadilan sosial. Pendukung thrifting menyakini, perdagangan pakaian bekas ini memiliki segmen pasar kecil, sehingga tidak mungkin menganggu industri tekstil.
Lagipula, penggemar pakaian bekas tidak mungkin semua bajunya bekas. Pasti, dia juga akan berbelanja pakaian baru.
Daripada dilarang, perdagangan pakaian bekas impor ini apa tidak sebaiknya ditata dan dibuat regulasi, sehingga bisa menyumbang pendapatan negara?
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas