tirto.id - Bisnis pakaian impor bekas atau thrifting dinilai berpotensi menghantam industri dan produk tekstil dalam negeri. Tidak hanya itu, bisnis tersebut juga nilai bakal menghancurkan para UMKM.
Terkait hal itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi VII, Adian Napitupulu pun mempertanyakan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Dia menduga ada agenda tersembunyi dalam kebijakan tersebut.
"Kalau dikatakan bahwa pakaian thrifting itu membunuh UMKM maka ijin saya mau bertanya, data apa yang digunakan para menteri itu?" ungkap Adian dalam keterangan tertulis, Jumat (24/3/2023).
Dia pun membeberkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia impor pakaian jadi dari negara China menguasai 80 persen pasar di Indonesia. Pada 2019, impor pakaian jadi dari China 64.660 ton sementara menurut data BPS pakaian bekas impor di tahun yang sama hanya 417 ton atau tidak sampai 0,6 persen dari impor pakaian jadi dari China.
Adian menjelaskan, pada 2020 impor pakaian jadi dari negara China diperkirakan sebanyak 51.790 ton, sementara pakaian bekas impor hanya sebanyak 66 ton atau sekitar 0,13 persen dari impor pakaian dari China.
Pada 2021, impor pakaian jadi dari China 57.110 ton sementara impor pakaian bekas sebesar hanya 8 ton atau 0,01 persen dari impor pakaian jadi dari China.
Lebih lanjut, dia menjelaskan jika impor pakaian jadi dari China mencapai 80 persen, lalu pakaian jadi impor Bangladesh, India, Vietnam dan beberapa negara lain sekitar 15 persen, maka sisa ruang pasar bagi produk dalam negeri cuma tersisa maksimal 5 persen.
"Itu pun sudah diperebutkan antara perusahaan besar seperti Sritex, ribuan UMKM dan Pakaian Bekas Impor," bebernya.
Dia mengamati dari 417 ton impor pakaian bekas tidak semuanya bisa dijual ke konsumen. Hal itu disebabkan lantaran ada yang tidak layak jual. Rerata yang mampu terjual hanya sekitar 25 persen hingga 30 persen saja atau di kisaran 100 ton.
"Jika dikatakan bahwa pakaian bekas impor itu tidak membayar pajak maka itu juga bisa diperdebatkan karena data yang saya sampaikan di atas adalah data BPS yang tentunya juga harus tercatat juga di bea cukai,” tuturnya.
"Jadi siapa sesungguhnya yang dibela oleh Mendag dan Menkop UMKM? Industri pakaian jadi di negara Cina atau UMKM Indonesia. Ayo kita sama sama jujur. Kenapa para menteri itu berlomba lomba mengejar, membakar dan menuduh pakaian bekas itu menjadi tersangka tunggal pelaku pembunuhan UMKM?” tambahnya.
Adian pun menilai seharusnya para menteri melakukan evaluasi kepada jajarannya. Hal itu agar bawahannya bisa memberikan pelatihan kepada para UMKM sehingga bisa menembus pasar global.
“Kenapa para menteri itu tidak berupaya mengevaluasi peraturan dan jajarannya untuk memberi ruang hidup lebih besar, melatih cara produksi, cara marketing bahkan kalau perlu membantu para UMKM itu menembus pasar luar negeri,” lanjutnya.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Intan Umbari Prihatin