tirto.id - Siang itu semestinya menyenangkan untuk Meyta Nurul Aini Prasetyo (19 tahun). Ia diundang untuk berbicara dalam sebuah acara untuk memperingati International Youth Day di sebuah perpustakaan pemerintah, Agustus lalu.
Namun, apa yang terjadi pada mahasiswi Universitas Padjadjaran itu sungguh tak dinyana. Ia mengalami pelecehan verbal di perpustakaan tersebut.
Pelaku pelecehan itu bukan orang lewat, melainkan dua orang pegawai dari perpustakaan itu sendiri. "Neng, neng .. cantik banget sih .. bohay banget," tutur Meyta menirukan perkataan yang dilontarkan kepada dirinya kepada Tirto.
Meyta awalnya ingin melupakan kejadian itu. Namun dengan cepat ia berubah pikiran. Ia bertanya-tanya, mengapa pelecehan seksual bisa terjadi di perpustakaan daerah. Meyta pun menghampiri kedua pria tersebut.
"Bapak-bapak tolong lebih sopan ya! Bapak sama saja mencemarkan nama baik tempat bapak bekerja," tegas Meyta.
Kedua pegawai itu langsung diam.
Peristiwa itu membuatnya semakin sadar bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan di Indonesia bisa terjadi di manapun.
"Kaget. Kaget karena menurutku perpustakaan adalah tempat yang aman dan mereka [para pegawai itu] seharusnya sudah mendapatkan pelatihan yang baik bagaimana mereka seharusnya memperlakukan pengunjung," kata Meyta kepada Tirto.
Rawan Kekerasan di Fasilitas Publik
Apa yang dialami Meyta adalah satu dari ribuan kejadian lain yang menandakan satu hal: tidak amannya fasilitas dan ruang publik bagi perempuan, khususnya yang muda.
Survei Yayasan Plan International Indonesia yang bekerjasama dengan U-Report Indonesia menegaskan hal itu.
Survei yang dilakukan pada pada September 2018 dengan 1.396 responden menyebutkan bahwa trotoar dan fasilitas adalah dua ruang publik yang paling tidak aman bagi perempuan muda.
Sebanyak 44,2 persen responden menyebut fasilitas transportasi publik, termasuk halte dan stasiun, sebagai tempat yang tidak aman bagi mereka. Sebanyak 56,8 persen responden mengatakan trotoar sebagai tempat yang berbahaya.
Lebih lanjut, sebanyak 64 persen responden menyebutkan bahwa ancaman tindakan kriminal dan pelecehan seksual menjadi penyebab utama dari perasaan ketidakamanan mereka. Kepadatan pengguna fasilitas publik sebagai faktor yang menyebabkan rasa tak aman ada di posisi nomor dua dengan persentase yang cukup jauh di belakang, yakni 19 persen.
Parahnya, 29,1 persen responden menyatakan pernah menyaksikan kejadian pelecehan seksual di fasilitas publik. Dari persentase itu, sebanyak 47,3 persen mengaku pernah menyaksikan pelecehan seksual di fasilitas publik lebih dari 5 kali.
Pelecehan seksual secara verbal (misalnya dalam bentuk ledekan, siulan, dan panggilan merendahkan) dan visual (tatapan pada area tubuh tertentu pada waktu yang lama) adalah dua kekerasan terbanyak yang pernah mereka saksikan, dengan persentase masing-masing 44,9 persen dan 33,6 persen.
Menariknya, masih banyak anak perempuan yang merasa bahwa fasilitas pendidikan merupakan tempat yang paling aman untuk mereka (56 persen). Padahal, dalam dalam sejumlah kasus, Tirtomencatat kasus kekerasan terhadap anak perempuan dan perempuan muda juga terjadi di dalam institusi pendidikan.
Banyak dari kasus ini tidak terungkap ke publik, apalagi berlanjut ke ranah hukum, sebab siswa takut akan otoritas pelaku.
Presentasi hasil riset tersebut adalah bagian dari rangkaian acara Hari Anak Perempuan Internasional (International Day of The Girls/IDG) yang jatuh pada 11 Oktober. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Plan International Indonesia dan Plan International.
Pada IDG 2018 ini, mereka mengangkat tema "kota aman", dengan merujuk pada berbagai survei yang mengindikasikan bahwa perempuan dan anak perempuan sangat rentan mengalami kekerasan di ruang publik.
Kota yang Aman?
Mengutip data dari PBB, Program Specialist UN Women Indonesia Lily Puspasari mengatakan bahwa perpindahan orang dari desa ke kota mencapai 54 persen di seluruh dunia. Tingkat urbanisasi ini, menurut Lily, berkaitan erat dengan kasus pelecehan seksual di ruang publik.
Keterangan Lily disampaikan dalam diskusi media tentang pengenalan hasil survei Yayasan Plan International Indonesia dengan U-Report Indonesia di Epicentrum Walk, Kuningan, Jakarta, Senin (8/10/2018).
"Ini juga konsisten berlaku di Indonesia," jelasnya sembari menambahkan bahwa urbanisasi meningkat karena kota menjanjikan kesempatan yang berlimpah, tidak hanya ekonomi dan pendidikan.
Tiap 2 jam, lanjut Lily, 3 hingga 4 perempuan mengalami kekerasan seksual, sehingga kebijakan demi kota yang aman jadi isu yang sangat penting. "Jika sebuah kota aman untuk perempuan, maka [kota itu] aman untuk semua," tegasnya.
Menurut survei terhadap para ahli berjudul "Girls' Safety in Cities Across The World" yang dirilis oleh Plan International September lalu, sebanyak 78 persen ahli mengatakan anak perempuan dan perempuan muda memiliki risiko yang tinggi dan sangat tinggi untuk mengalami pelecehan seksual di kota.
Survei itu melingkupi 22 kota di seluruh dunia, termasuk Jakarta, dan melibatkan 392 ahli di bidang hak anak, permasalahan perempuan, dan keamanan kota sebagai responden.
Lebih lanjut, sebanyak 69 persen responden mengatakan bahwa anak perempuan dan perempuan muda mengubah perilaku mereka untuk menyiasati bahaya di kota masing-masing.
"Ini sebenarnya menempatkan atau memposisikan masalah pada korban bukan pelaku," jelas Nadira Irdiana, manajer advokasi Plan International dalam diskusi tersebut. Anak perempuan, tambahnya, disuruh berpakaian lebih tertutup atau bahkan, dalam situasi yang lebih ekstrem, tidak boleh keluar malam.
"Ini seperti yang terjadi di Aceh," kata Lily menambahkan bahwa pendekatan ini adalah pendekatan proteksionis, tapi kenyataannya melanggar hak asasi manusia.
Padahal, lanjut Nadira, intervensi ke pelaku lebih dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan kota yang lebih aman, terlebih pada area peningkatan pemahaman akan kesetaraan gender dan pelecehan seksual. "Kita perlu kerjasama [dengan laki-laki] sesungguhnya," kata Nadira.
Lily mengatakan, Jakarta sesungguhnya masih berada di level menengah terkait keamanan untuk perempuan. Berdasarkan scooping study yang dilakukan oleh UN Women Indonesia, ibukota Indonesia ini mendapatkan skor keamanan 2.5 dari maksimal 5.
Ada delapan parameter yang digunakan untuk mengukur skor tersebut: pencahayaan, keterbukaan, visibilitas, keramaian, keamanan, trotoar, ketersediaan angkutan umum, tingkat penggunaan ruang berdasarkan jenis kelamin, dan perasaan yang timbul karena berada di tempat tersebut.
Masalah Bias
Kepada Tirto, baik Lily maupun Nadira mengamini bahwa tantangan untuk mewujudkan kota yang lebih aman bagi perempuan sangat beragam dan kompleks. Beberapa di antaranya adalah bias terkait isu kekerasan terhadap perempuan serta persepsi koordinasi antar lembaga pemerintah itu sendiri.
"Persepsi [pemerintah] untuk isu-isu ini masih perlu kita tingkatkan," jelas Lily berdasarkan pengalamannya bekerjasama dengan lembaga pemerintah. Sensitivitas pemerintah, tambah Lily, akan meningkat apabila mereka memiliki data yang mempermudah pembuatan kebijakan dan aturan. Sayangnya, koordinasi antar-lembaga pemerintah pun masih tidak sinkron. "Itu masih menjadi PR kita," katanya.
Penting untuk tidak melihat fenomena kekerasan terhadap perempuan sebagai isu sektoral, alih-alih sebagai bagian dari penyusunan perencanaan kota yang baik berdasarkan delapan parameter kota aman. "Ini kerja semua pihak," jelas Lily.
Di sisi lain, Nadira juga menggarisbawahi masalah bias di masyarakat. Ia mencontohkan, ketika pihaknya menyelenggarakan acara dengan tajuk yang mengandung kata "perempuan", ada anggapan bahwa yang hadir haruslah perempuan.
"Ini masalah juga karena nanti akan ada kesenjangan pemahaman akan isu yang mau diangkat," jelasnya.
Kekhawatiran Nadira bukan omong kosong. Lebih dari 90 persen audiens pengenalan hasil riset Yayasan Plan International Indonesia dan U-Report Indonesia ini, misalnya, adalah perempuan.
Padahal, lanjut Nadira, laki-laki memegang peranan penting untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan. "Kita terlalu banyak fokus pada korban. Padahal seharusnya kita fokus pada pelaku," kata Nadira.
Editor: Windu Jusuf