tirto.id - Selain emas dan perak, logam mulia yang jauh lebih langka dan karenanya bisa berkali-kali lipat lebih mahal adalah logam golongan platina: rutenium (Ru), rodium (Rh), paladium (Pd), osmium (Os), iridium (Ir), dan platina/ platinum (Pt).
Jika saat ini harga emas di kisaran USD 88 per gram, maka platina, rutenium, dan paladium ada pada kisaran USD 30 per gram, sementara rodium dan iridium di sekitar USD 165 per gram. Yang paling mahal adalah osmium pada angka USD 1.600 per gram, 20 kali harga emas.
Produksi logam golongan ini per tahun di dunia amat sedikit, 150 kg osmium berbanding 3.500 ton emas. Uniknya, logam mulia ini hanya hasil sampingan, atau residu ekstraksi dari produksi tambang utama emas, tembaga, dan nikel.
Selain sebagai perhiasan, logam golongan platina kerap digunakan dalam aneka industri, obat anti kanker, perangkat elektronik, dan kedokteran gigi. Dalam kebijakan tambang mineral Indonesia, platina dikategorikan bahan tambang golongan B serta menjadi salah satu dari 22 mineral strategis. PT Freeport Indonesia disebutkan dapat memproduksi 375 kg palladium dan 30 kg platinum per tahun, selain 50 ton emas dan 200 ton perak.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2022 juga mengatur tentang empat logam golongan platina lainnya serta didorong produksinya dengan menetapkan tarif paling rendah (2% sampai 3,25%).
Perhatian akan logam golongan platina sudah mengemuka di paruh kedua abad ke-19. Meskipun undang-undang tambang perdana Hindia Belanda, Indische Mijnwet 1850, tidak eksplisit menyebut logam ini, revisinya pada 1899 lantang menyebutkan dalam Bagian 1 Pasal 1:
”Para pemilik tanah yang di lahannya terdapat: logam mulia platina, osmium, iridium, emas, perak…tidak memiliki hak atas logam-logam tersebut.”
Disertasi Peter de Ruiter (2016: hal. 163) menyebutkan bahwa Hindia Belanda memproduksi platina 646 gram di tahun 1938 dan 873 gram pada 1939. Tidak dirinci jelas unsur logam platina mana yang dimaksud.
Menurut Prof. S. Bleekrode dalam jurnal de Volksvlijt tahun 1857, seorang anggota komisi Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië, Ludwig Horner, adalah yang pertama kali menyampaikan ada logam platina Kalimantan ketika mengunjungi tambang emas di Poelo-Ary (Pelaihari, Banjarmasin).
Horner mengatakan bahwa dalam butiran-butiran bijih dulangan didapat 1 bagian platina berbanding 10 bagian emas. Dia cukup percaya diri menyimpulkan bahwa Pulau Kalimantan setidaknya dapat menghasilkan 650 pon platina per tahun.
Sebagai perbandingan oleh Bleekrode saat itu, Rusia telah memproduksi 1.100 pon per tahun sejak 1824-1851, sementara AS tidak sampai menghasilkan platina sepersepuluhnya.
Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië edisi 1851 lebih spesifik mengkaji logam golongan platina di Nusantara, yakni dalam laporan H. von Graffon tentang tambang-tambang emas di bagian barat Tanah Laut, Kalimantan.
Platina yang bercampur dengan emas, merkuri (kwik), dan intan, selain didapat di Playhari pada tambang-tambang etnis Tionghoa, juga ada di Soengi matjan, Songei Karang intang, Soengi Batoe api dan Soengi Pinang. Logam golongan platina di sana selain unsur platina (Pt), juga ada osmium dan iridium.
Keberadaan logam golongan platina juga disebut dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 1868, dituangkan dalam laporan Presiden Koninklijke Natuurkundige Vereeniging in Nederlandsch-Indië, PJ Maier, pada 23 Maret 1867. Ilmuwan ini menyebutkan ada mineral yang berasal dari Borneo yang didapat oleh Waitz, yang kemudian dianalisis oleh ilmuwan Jerman, Wöhler.
Mineral tersebut ternyata mengandung rutenium 62,88%, dan platina termahal osmium sebesar 5%. Walau osmium juga telah terdeteksi pada bijih-bijih platina yang ditemukan di Borneo, tapi rutenium adalah temuan baru di Hindia Belanda. Mineral ini diabadikan dengan nama Laurit oleh Wöhler.
Pakar geologi dan vulkanologi Belanda, RDM Verbeek (1845-1926) juga berhasil mendeteksi keberadaan logam-logam mulia golongan platina di Nusantara, dalam karyanya Geologische Beschrijving der Distrikten Riam-Kiwa en Kanan in de Zuider- en Ooster-Afdeeling van Borneo; volgens opneming in de Jaren 1869-1870yang muncul dalam Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indië Tahun Keempat Bagian Pertama 1875.
Logam golongan platina tersebut terlacak ditemukan di Tjempaka (sekarang lokasinya 47 km dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan) dalam tambang intan milik seorang yang dinamakan Beretti.
Logam ini dalam bentuk pasir platina didapat oleh penambang pribumi dengan metode sederhana: menggunakan dulang. Hasil sisihan dulang mereka kebanyakan terdiri dari bijih besi kromium, tapi juga mengandung pasir emas dan logam platina.
Pada Mulanya Dibuang
RDM Verbeek mengatakan bahwa orang-orang pribumi dulu membuang saja logam platina karena dianggap tidak berharga dan tidak bisa mereka lebur saking kerasnya. Baru pada 1870 ada beberapa orang yang mulai mencoba mengumpulkannya. Platina dari Kalimantan ini kemudian dianalisis secara kimia oleh Böcking dan Bleekrode di Jerman karena di Hindia Belanda belum ada sarana identifikasi unsur-unsur platina terpisah.
Sampel Böcking mengandung 86,10% platina (Pt), 0,69% iridium (Ir) dan 0,31% Osmium (Os), selebihnya beberapa persen besi dan tembaga. Sementara sampel pada Bleekrode mengandung 70,21% Pt, 1,15% Os, 6,13% Ir, 1,44 % Pd (palladium) dan 0,5% Rh (rodium), selebihnya emas 3,97%, besi dan tembaga beberapa persen.
RDM Verbeek membeli bijih platina lain di Cempaka yang kemudian dianalisis oleh Prof. Fritzche dengan melarutkannya dalam Koningswater (aqua regia/air raja), dengan hasil 72,69% Pt, 15,98 % gabungan Ir, Rh, Ru, 4,09% Pd dan selebihnya besi dan tembaga.
Tidak heran jika selanjutnya tambang-tambang logam mulia, khususnya di Kalimantan sengaja memburu platina. Regeerings-almanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1898 mencatat setidaknya ada tiga konsesi tambang yang menargetkan produksi platina: konsesi Ban Pin San di Sambas (dikelola P van Dijk), konsesi Goenoeng Lawak di Martapoera dan konsesi West-Borneo Gold Field yang diberikan oleh Sultan Sambas kepada EL Gordon selama 75 tahun.
Almanak pemerintah yang sama pada 1903 juga menambahkan konsesi-konsei Siak Pai, Loemar, Emmaville, Melak, Siminis dan Boekal (Buol, Sulawesi) sebagai lokasi tambang platina.
Catatan-catatan di atas hanya menyinggung tambang emas pribumi di Kalimantan. Padahal, dalam hal produksi logam mulia, tambang-tambang di Sumatra memproduksi lebih dari 80% emas dan perak seluruh Hindia Belanda pada awal abad 20. Sayang sekali, dalam penelitian logam mulia dan laporan kinerja tambang Sumatra yang seluruhnya dikelola swasta logam platina tidak terlacak apalagi diproduksi.
Tantangan terbesar dari eksplorasi logam jenis ini adalah tiadanya fasilitas untuk mengujinya dan mengekstrasinya per unsur. Di masa Hindia Belanda, identifikasi dan pemisahan dilakukan di Eropa, tidak bisa di Nusantara seperti halnya emas dan perak. Yang dapat dilakukan hanyalah mengidentifikasinya sebagai logam golongan platina secara umum, tanpa membedakan apakah osmium yang mahal atau palladium.
Kendala serupa ternyata masih dialami oleh Indonesia saat ini, dengan tiadanya laboratorium yang memadai untuk pengujian logam-logam golongan platina dengan skala produksi, sehingga harus dilakukan di luar negeri.
Untuk mendatangkan sarana dan SDM yang kompeten dari luar masih dipandang tidak sebanding dengan perhatian akan eksplorasi logam mulia ini, karena pasti sangat mahal.
Sehingga, terserah kepada perusahaan penambang bermodal raksasa jika memang berhasil mengekstraksi platina. Padahal, karena termasuk mineral strategis, apalagi jika dieksplorasi secara serius, mineral langka ini bisa menjadi salah satu komoditi signifikan.
Penulis: Novelia Musda
Editor: Irfan Teguh Pribadi