Menuju konten utama

Cerita Lama dari Para Kuli Tionghoa

Kuli-kuli asal Tiongkok yang datang setelah munculnya proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia, adalah sebuah pengulangan sejarah. Pada masa lalu, para kuli Tionghoa didatangkan oleh penguasa lokal, pengusaha, hingga VOC dan pemerintah Hindia Belanda.

Cerita Lama dari Para Kuli Tionghoa
Kuli Cina dari Shantou tiba di Belawan dengan menggunakan Kapal Jacob untuk bekerja di perkebunan di Deli, Sumatra Oostkust 1900. Foto/Istimewa

tirto.id - “Mereka bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja... Tak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya selain daripada orang Tionghoa,” kata Gubernur Jenderal VOC paling sohor Jan Pieterzoon Coen, seperti dikutip Willard Hanna dalam Hikayat Jakarta (1998) dan Benny Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008).

Orang-orang pribumi, di mata JP Coen, adalah orang-orang pemalas, susah diatur dan tak dapat dipercaya. Itulah kenapa sejak zaman kolonial, banyak orang Tionghoa dimasukkan VOC maupun pemerintah Hindia Belanda ke Nusantara. Sebelum masuknya VOC, orang-orang Tionghoa sudah masuk ke Nusantara untuk berdagang. Mereka dikenal sebagai bangsa pedagang di Indonesia. Namun, banyak di antara mereka datang ke Indonesia sebagai kuli.

Menurut Benny Setiono, antara tahun 1760-1770 orang-orang Tionghoa dalam jumlah besar mulai masuk Kalimantan Barat. Mereka dipekerjakan oleh Sultan Sambas sebagai kuli-kuli pertambangan emas. Belakangan ada juga orang-orang Tionghoa yang jadi petani. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka bisa membuka lahan pertanian luas yang ditanami lada dan sayur-mayur.

Salah satu imigran Tionghoa yang terkenal adalah Lan Fong Phak dari suku Hakka. Dia datang ke Kalimantan Barat pada 1772. Lan Fong Phak datang bersama 100 orang yang masih satu keluarga besar. Dia mendirikan kongsi Lan Fong. Kongsi ini semula bergerak di bidang pertanian.

Kongsi-kongsi Tionghoa adalah komunitas demokratis, dimana mereka memilih sendiri pemimpin komunitas mereka. Beberapa kongsi kemudian bersatu dalam sebuah kongsi yang dipimpin Lan Fong Phak. Kongsi itu dikenal sebagai Republik Lanfang. Mereka punya pemerintahan, pengadilan, penjara dan pasukan bersenjata.

Mereka dizalimi Sultan Sambas, dan memberontak kepada penguasa lokal. Selama berpuluh-puluh tahun, Republik Lan Fong mampu menghadapi Sultan Sambas dan Belanda. Republik itu baru bubar 1854. Ketika Belanda semakin kuat. Sejarah pemberontakan Lan Fong, juga Geger Pecinan di Jawa, tak membuat orang-orang Belanda yang berkuasa di Batavia trauma dengan orang-orang Tionghoa.

Mereka dipertahankan, bahkan didatangkan lagi untuk menggerakkan perekonomian di Hindia Belanda. Gubernur Jenderal VOC JP Coen juga pernah berucap, “Siapapun yang berniat membangun dan memperluas pengaruh Belanda, harus bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa.”

Selain di Kalimantan Barat, di Bangka-Belitung, orang-orang Tionghoa didatangkan juga oleh Sultan Palembang untuk menambang timah di sana. Menurut Benny Setiono, “pemukiman orang Tionghoa secara besar-besaran diperkirakan mulai muncul pada dekade kedua dan ketiga abad ke-19. Pada tahun 1917, terdapat 70 ribu orang Tionghoa di antara 154 ribu penduduk Bangka. Seperti Kalimantan Barat dan daerah lain di Indonesia, orang-orang Tionghoa yang datang itu kemudian beranak-pinak. “

Meski sudah ada beberapa pemukiman Tionghoa seperti di Palembang pada abad ke-8, menurut Benny Setiono, “imigrasi orang Tionghoa ke Sumatera secara besar-besaran terjadi relatif terjadi lebih belakangan dibanding dengan Jawa dan Kalimantan.”

Infografik Imigrasi Pekerja Asal Tiongkok

Mary F Somers Heidhues, dalam Bangka Tin and Mentok Pepper (1992), menyebut ribuan pekerja Tionghoa datang secara massal sebagai kuli kontrak di penambangan timah di Bangka dan Belitung tahun 1710.

Pada masa setelah dihapuskannya kebijakan Tanam Paksa (1830-1870), yang memeras darah dan keringat petani Jawa, onderneming alias perkebunan swasta bermunculan di Jawa dan Sumatera. Onderneming tembakau di Deli, Sumatera Utara bagian timur, begitu membutuhkan banyak kuli-kuli kasar untuk perkebunan. Mereka merekrut kuli kebun dari sekitar Bagelen atau mengambil dari selatan daratan Tiongkok. Di antara kuli Tionghoa itu, sudah didatangkan sebelum berakhirnya Tanam Paksa pada 1870.

“Pada 1870, di daerah Pantai Timur Sumatra (sekitar Deli) hanya ada kurang lebih 150 orang Jawa, yang berasal dari Bagelen (Purworejo), mayoritas dari 4 ribu orang buruh di sana adalah Tionghoa.... Sejak 1864, ribuan orang kuli Tionghoa didatangkan untuk bekerja di perkebunan Tembakau,” tulis Benny Setiono.

“Orang Karo dan Melayu tidak cocok dijadikan kuli kebun karena sering membangkang, (Pengusaha Tembakau) Nienhuij kemudian mendatangkan kuli-kuli perkebunan dari Penang. Setelah itu ribuan kuli perkebunan didatangkan dari Tiongkok Selatan dengan sistem kontrak untuk jangka waktu tiga sampai lima tahun dengan upah tetap. Mereka juga harus membuat surat jaminan untuk membayar ongkos perjalanan mereka baik untuk kedatangan dan kepulangan,” tulis Benny Setiono dengan mengacu pada artikel Kuli Kontrak, Mardi Lestari dan Asisten Gubernur di Kompas (11/06/2001).

Kurun waktu antara 1888 hingga 1931, sejumlah 305 ribu kuli Tionghoa mendarat di Pelabuhan Belawan, Sumatra Utara. Mereka datang dari Swatow dan Hong Kong, di mana Association of Deli Planter punya kantor perekrutan para kuli.

Setelah 1920-an, jumlah kuli-kuli Tionghoa menurun di Pantai Timur Sumatera. Kuli-kuli Tionghoa itu digantikan kuli-kuli Jawa, yang dari tahun ke tahun jumlahnya makin banyak. Menurut Victor Purcell dalam The Chinese in Southeast Asia (1981), arus masuk kuli-kuli Tionghoa itu terhenti pada 31 Desember 1931, karena biaya imigrasi yang dikenakan untuk satu kuli Tionghoa sudah mencapai 150 gulden. Biaya yang cukup mahal pada waktu itu.

Di sisi lain aturan Poenale Sanctie—yang memperbolehkan pengusaha perkebunan untuk menghukum sendiri kuli mereka yang kabur dari perjanjian kontrak—sudah dicabut oleh pemerintah pada waktu itu. Inilah masa-masa akhir kedatangan para kuli Tionghoa di era Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Baca juga artikel terkait TIONGHOA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra