tirto.id - Sebuah fakta diungkapkan oleh Hatem Ben Arfa. Pesepakbola muslim kelahiran Perancis berdarah Tunisia yang sempat memperkuat Paris Saint-Germain (PSG) ini mengaku nyaris bergabung dengan aliran sufisme atau sekte Islam garis keras.
Masa depan Hatem Ben Arfa diprediksi cerah usai mengantarkan Timnas Perancis U17 menjuarai Piala Eropa U-17 2004. Terlebih, ia adalah lulusan pusat akademi sepak bola Clairefountain, yang banyak melahirkan anggota skuad Les Bleus.
Klub-klub mapan Ligue 1 pun pernah dibelanya, termasuk Lyon, Marseille, Nice, hingga PSG. Hatem Ben Arfa juga sempat merumput di Liga Inggris bersama Newcastle United dan Hull City.
Kenyataannya, jalan hidup sang pemain tidak seindah ramalan. Hatem Ben Arfa tidak pernah benar-benar menjadi pemain Les Blues yang berpengaruh layaknya Antoine Griezmann, N'golo Kante, Paul Pogba atau Kylian Mbappe.
Hatem Ben Arfa bahkan pernah mengalami kondisi terburuk yang membawanya nyaris bergabung dengan aliran sufisme yang mengarah kepada sekte garis keras.
Terdoktrin Sufisme Radikal
Hatem Ben Arfa lahir pada 7 Maret 1987 di Clamart, pinggiran Paris. Ia terlahir dari keluarga imigran Tunisia. Sang ayah bernama Kamel Ben Arfa, seorang mantan pesepakbola yang banting setir menjadi pekerja pabrik pengolahan logam usai hijrah ke Perancis.
Ben Arfa memiliki masa kecil yang berat. Sang ayah mendidiknya dengan cara yang keras. Dalam sebuah artikel yang dimuat oleh Mirror Football pada 16 Januari 2012, Ben Arfa mengaku jika sang ayah tak pernah menyayanginya seperti seorang anak.
Pada awal kariernya, Hatem Ben Arfa dikenal sebagai pesepakbola yang cenderung arogan. Gelandang serang yang juga bisa beroperasi sebagai winger ini kerap dianggap membawa pengaruh negatif sebagai imbas pengasuhan yang keras di keluarganya.
Kala bermain untuk Lyon (2004–2008) di awal karirnya, Hatem Ben Arfa sempat mengalami situasi yang buruk. Dalam kondisi terpuruk inilah ia nyaris bergabung dengan suatu kelompok Islam garis keras. Ia mengaku terpengaruh seorang penyanyi rapper Perancis bernama Abd Al Malik.
“Saat itu saya dalam keadaan yang buruk, dan tengah mencari kenyamanan. Saya membaca banyak buku tentang Sufisme, dan hal baik tentang ajaran itu membuat saya tertarik,” ucap Ben Arfa dikutip dari Mirror Football.
“Sebagaimana Abd Al Malik juga tertarik dengan hal tersebut, saya menghubunginya, dan dengan segera saya terlibat di dalamnya. Dia (Abd Malik) dan manajernya mengindoktrinasi saya, saat keadaan saya sangat rentan,” lanjut Ben Arfa.
Pemain yang kini telah menginjak usia 33 tahun ini bahkan sempat pergi ke Maroko untuk berguru langsung dengan seorang syekh yang juga pemimpin spiritual sekte tersebut.
Hatem Ben Arfa didoktrin bahwa semua orang yang menentang sufisme adalah musuh. Sekte itu juga berusaha memutuskan hubungan dengan dunia luar.
“Mereka menempatkan syekh mereka di posisi atas. Mereka terus mengatakan kepada saya bahwa setiap orang yang menentang Sufisme adalah musuh. Mereka mengkondisikan saya, dan pada suatu titik saya ingin mengikuti mereka,” kenang Ben Arfa.
“Saya mempunyai pandangan idealis tentang agama pada saat itu. Mereka benar-benar memotong saya dari dunia luar,” imbuhnya.
Tertolong Berkat Egoisme
Sifat egois yang besar dalam diri Hatem Ben Arfa ternyata tak selamanya merugikan. Lantaran faktor itulah yang pada akhirnya menyadarkan dirinya untuk keluar dari sekte radikal itu.
Ketika harus melakukan ritual mencium kaki syekh sang pemimpin spiritual di Maroko itu, yang sudah menjadi kewajiban bagi para pengikutnya, Hatem Ben Arfa menolak. Egonya bergejolak.
“Saya adalah bagian dari gerakan yang dipimpin seorang Syekh. Saat saya pergi ke aula sembahyang, saya harus mencium kakinya, itu wajib,” terang Hatem Ben Arfa.
“Ego menyelamatkan saya. Saya tak terima melakukan itu. Saya tak suka apa yang saya alami bersama mereka. Saya jauh dari spiritualisme yang saya cari,” lanjut pemain yang kini memperkuat klub Spanyol, Real Valladolid, ini.
Hatem Ben Arfa bersyukur tidak terjerumus terlebih dalam dengan aliran itu. “Sekarang saya tak bisa dibawa masuk lagi. Saya orang terkenal, bisa saja saya berakhir di sebuah sekte, syukurlah saya berhasil keluar,” ucapnya.
Kini, Hatem Ben Arfa mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang muslim yang moderat. Ia memang masih memegang teguh sejumlah prinsip ajaran Islam, namun untuk sebagian yang lain ia tidak begitu mempermasalahkannya.
“Saya penganut Muslim moderat. Saya tidak makan babi, tapi terkadang saya minum alkohol, dan saya juga suka mengejar gadis-gadis,” demikian pengakuan pengemas 15 caps untuk Timnas Perancis ini.
Penulis: Oryza Aditama
Editor: Iswara N Raditya