Menuju konten utama

Drama Merajah Tubuh dengan Tato (Nama) Pasangan

Niatnya sih mengabadikan cinta, tapi bagaimana jika hubungan mereka kandas? 

Drama Merajah Tubuh dengan Tato (Nama) Pasangan
Ilustrasi tato berpasangan. FOTO/Pinterest

tirto.id - Dalam relasi sosial manusia, termasuk dalam hubungan cinta, terjadi kesepakatan-kesepakatan yang kerap ditandai dengan membuat benda atau simbol-simbol. Selain itu, monumen juga dibikin untuk mengenang, menjaga ingatan atas apa-apa yang dicintai, meski secara ragawi sudah tidak ada lagi.

Taj Mahal di India, misalnya. Bangunan tersebut adalah bukti cinta Raja Mughal, Shah Jahan kepada istrinya yang bernama Mumtaz Mahal. Mereka menikah pada usia 19 tahun. Saat melahirkan anaknya yang ke-14, istrinya meninggal. Taj Mahal adalah wujud penghormatan dan upaya Shah Jahan untuk mengawetkan ingatannya terhadap sang istri.

Selain Taj Mahal, sejumlah bangunan megah lainnya di berbagai belahan dunia hadir sebagai bukti, tentang cinta yang tak hanya bersemayam dalam hati. Misalnya kastil milik George Boldt di New York yang dibangun untuk istrinya tercinta, Louise. Namun, saat pembangunan masih berlangsung, Louise meninggal. Boldt memerintahkan para pekerja untuk menghentikan pembangunan tersebut. Ia tak bisa membayangkan kastil impiannya berdiri megah tanpa istrinya.

Atau simaklah latah gembok cinta yang ada di sejumlah negara di Eropa, seperti Perancis, Italia, Hungaria, Jerman, Rusia menjalar sampai ke Asia dan Uruguay sebagai gejala yang menunjukkan bahwa manusia membutuhkan penanda atau monumen atas apa yang mereka sepakati bersama.

Belakangan, salah satu simbol cinta adalah tato. Dua orang saling berkomitmen, entah berpacaran atau pasangan suami istri. Seraya menautkan jiwa, tato pun diguratkan pada raga.

Konsep tato seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Pada abad ke-18, di Jepang telah ada kebiasaan menato nama seseorang yang dianggap istimewa di bagian lengan atas. Komik bertarikh 1785 bertajuk Playboy Roasted a la Edo (Edo umare uwaki no kabayaki) karya Santo Kyoden, mengisahkan pelacur yang menato lengannya dengan nama pria yang dicintainya. Hal serupa juga dilakukan oleh pria yang dicintai pelacur itu dengan merajah lengan atasnya dengan nama pelacur pujaannya.

Belakangan, sejumlah orang terkenal melakukan hal tersebut dengan pasangannya. Sebut saja pasangan pesohor Amerika Serikat Chris Brown dengan Rihanna. Pasangan ini sama-sama memiliki tato gugusan bintang dekat leher bagian belakang. Hanya saja, Rihanna kemudian menambahkan lebih banyak bintang di punggungnya yang konon untuk menciptakan kesan ramping.

Pasangan Channing Tatum dan Jenna Dewan lain lagi. Meski mereka telah berpisah setelah menjalin hubungan pernikahan selama hampir 9 tahun, mereka masih memiliki tato berpasangan yang dibikin sebagai janji setia pernikahan. Tato Tatum terletak di sepanjang rusuknya, sementara tato Dewan ada di bagian kakinya.

“Kami tidak akan saling menyebut nama. Kami ingin melakukan sesuatu yang simbolis. Itu salah satu sumpah kami satu sama lain,” ujar Tatum pada 2012.

Tren tato berpasangan juga diminati di kalangan pelaku dunia hiburan di Indonesia, salah satunya pasangan Vino G. Bastian dan Marsha Timothy. Suami-istri yang telah dikarunia seorang putri itu membuat tato bertuliskan kata “LOVE” yang terdapat di tangannya. Suku kata “LO” terdapat di tangan kanan Marsha, dan “VE” di tangan kanan Vino.

“Ibarat lego, gue seperti nemuin part dari hidup gue yang ilang. Gue butuh dia dalam hidup gue. Sama dia, gue ngerasa komplit. Ngerasa punya arah, dan tujuan hidup yang lebih pasti,” ujar Marsha.

Tak hanya mereka yang dikenal oleh orang ramai, sejumlah kalangan lain juga melakukan hal yang sama.

Infografik Tato berpasangan

Meiyama yang biasa dipanggil Ama, gitaris band Milisi Kecoa dan juga vokalis band Keras Kepala, menyampaikan pengalamannya.

Menurutnya, meski tak spesifik, ia menato dadanya dengan gambar matahati yang dimaksudkan sebagai gambaran istrinya. Sementara itu, istrinya menghiasi tubuhnya dengan gambar salah satu band Ama, Keras Kepala.

Ama yang tubuhnya dipenuhi tato menyatakan, jika hubungan dia dengan istrinya berakhir, tato matahati tersebut tidak akan ia hapus.

“Kan kita kalo ditato sudah punya pertimbangan sebelumnya, bakal udahan apa enggak. Ditato mah ditato aja. Jadi enggak peduli kalo emang nantinya udahan, enggak apa-apa. [Lagipula] Tato mah sayang [kalau dihilangkan], mending ditambahin. Dihilangin mah kulitnya jadi jelek. Bikinnya udah sakit, masa harus dihilangin dengan jadi kudis bentuknya,” ujar Ama.

Hal berbeda dialami oleh Juna, seorang artis tato yang berkarya di Jakarta, Solo, dan Yogyakarta. Ia menyampaikan bahwa dulu pernah mempunyai mempunyai tato di badannya yang khusus dibuat untuk pasangannya. Pacarnya juga memiliki tato yang dibuat untuk dia. Namun, hubungan mereka akhirnya tak berlanjut.

Saat hubungan dengan pacarnya berakhir, ia berniat menutup tato itu dengan tato yang baru untuk menghilangkan jejak masa lalu yang dirajah di tubuhnya. Namun, sampai saat ini karena kesibukan pekerjaan, ia belum sempat menutup tato tersebut. Ia mengungkapkan bahwa dulu saat tato itu dibikin, ia tidak berpikir panjang bahwa hubungannya bisa berakhir dengan penyesalan.

“Dulu masih bocah juga, enggak ngerti kalo ending-nya nyesel, ya asal bikin aja buat bahagia, ending-nya nyesel juga,” kata Juna.

Melihat beberapa kasus dan pengakuan sejumlah nama, upaya mengabadikan cinta lewat tato yang dibuat berpasangan bukanlah jaminan yang akan mengawetkan gelora yang menjompak-jompak di awal hubungan. Beberapa kisah cinta itu, oleh ragam alasan, berakhir jentaka.

“Saya tak akan pernah lagi berlaku bodoh dengan menato nama seorang laki-laki pada tubuh saya,” ujar Angelina Jolie setelah hubungannya berakhir dengan Billy Bob Thornton.

Mereka yang berpisah dan membawa tato pasangannya masing-masing sebagai bekas penanda cinta, dihapus atau tidak, pada akhirnya tetap melanjutkan langkah. Tentu dengan pelajaran dan penyesalannya masing-masing.

Baca juga artikel terkait TATO atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani