Menuju konten utama

Drama Kuasa Megawati

Megawati Soekarnoputri bisa dikatakan sebagai tokoh utama dalam Pilkada DKI Jakarta, selain Basuki Tjahaja Purnama. Meski mendapatkan penolakan dari kader PDIP, Megawati menggunakan kekuasaan absolutnya untuk memilih Ahok sebagai cagub dari PDIP. Jika ia berhasil menguasai DKI Jakarta, praktis Megawati menguasai mayoritas Pulau Jawa.

Drama Kuasa Megawati
Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (tengah) dibantu mengenakan jaket merah oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat (kanan) saat pendaftaran Cagub-Cawagub DKI Jakarta 2017 di Kantor KPUD DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9). Duet petahana Ahok-Djarot dalam Pemilihan Gubernur-Wagub DKI Jakarta didukung empat partai yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, Nasdem. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/kye/16.

tirto.id - Anggota DPRD Surabaya dari Fraksi PDI Perjuangan itu tampak tak jenak berkomunikasi lewat ponsel pintarnya. Duduk sejenak, berdiri, berjalan pelan memutar untuk kemudian duduk kembali di tempat semula, di Curabhaya Lounge, Hotel Garden Palace, Surabaya, pada Senin lepas maghrib (19/9/2016).

“Pokoknya rapat besok pagi di DPP (Kantor DPP PDI Perjuangan di Menteng Jakarta Pusat) harus dikondisikan agar pembahasan calon gubernur DKI Jakarta deadlock. Teman-teman harus ngotot agar keputusan siapa calonnya diserahkan kepada Ketua Umum untuk membuat keputusan di ruang hening. Kita harus tetap berjuang memunculkan Risma jadi calon gubernur,” kata orang dekat Bambang DH, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu itu kepada lawan bicaranya.

Sampai dengan Senin malam hingga Selasa siang, pertarungan di internal elite PDI Perjuangan untuk menentukan siapa calon gubernur DKI Jakarta ternyata masih berjalan alot. Muncul kubu yang menginginkan Ahok dan kubu yang menjagokan Tri Rismaharini, walikota Surabaya.

Sedangkan anggota DPRD Surabaya tadi, tak lain bagian dari kubu yang mendukung pencalonan Risma sebagai cagub DKI Jakarta. Dia mendukung Risma “pergi” ke Jakarta agar Wisnu Sakti Buana, Wakil Walikota Surabaya yang juga Ketua DPC Kota Surabaya, naik menjadi walikota.

Setelah selesai bertelepon, anggota DPRD tadi mengatakan bahwa pertarungan menentukan calon yang bakal diusung partainya masih terus berjalan. Kubu pendukung Ahok di antaranya Eriko Sotarduga (wakil sekjen) atau Djarot sendiri. Sedangkan kubu yang berseberangan, di antaranya Ahmad Basarah (wakil sekjen) dan Bambang DH yang anti Ahok tapi juga tak suka Risma.

“Para pendukung Ahok menginginkan keputusan mendukung Ahok terjadi dalam rapat DPP dan hasilnya direkomendasikan kepada Ibu Ketua Umum. Sementara kami tak ingin membuat rekomendasi. Kami justru menyerahkan keputusan penuh kepada Ibu Ketum,” ujarnya kepada Tirto.id.

Megawati adalah Kunci

Para pendukung boleh berbeda pendapat, tetapi keputusan kunci tetap ada di tangan Megawati. Pilgub DKI Jakarta 2017 rasa "Pemilihan Presiden" berada dalam kendalinya. Tanpa diskusi, Megawati memutuskan PDIP mengusung pasangan Ahok-Djarot. Seluruh kader partai pendukung Ahok harus memilih menurut, mengundurkan diri, atau dipecat.

Klimaks drama penentuan cagub DKI Jakarta oleh PDIP terjadi pada Rabu (20/9/2016) sore. Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama [Ahok] menjadi tamu spesial di kediaman Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDIP] Megawati Soekarnoputri pada Rabu (20/9/2016) sore. Dia satu-satunya calon kepala daerah dan bukan petugas partai yang diundang. Ahok berupaya sebisa mungkin menghindari awak media untuk mengakses rapat pleno akhir PDIP tersebut.

Setelah pertemuan yang berlangsung sekitar 2 jam, Ahok muncul di pelataran rumah Megawati dengan "poker face", gestur muka penuh teka-teki. Tak jelas apakah pertemuan tersebut deadlock atau keputusan untuk mendukungnya. Namun yang pasti Ahok langsung kembali ke Balai Kota. Wartawan yang menantinya pun hanya bisa menduga-duga soal keputusan pertemuan di rumah Mega tersebut. Ada yang menyimpulkan Ahok batal dicalonkan PDIP, ada yang menduga Ahok hanya sekadar berakting untuk mengecoh.

Informasi terang akhirnya muncul beberapa jam kemudian. Ahok diundang datang dalam deklarasi calon kepala daerah yang akan diusung PDIP. Sebab tak berjarak jauh dari momentum itu, Megawati memberi keputusan mengusung pasangan Ahok dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat [Ahok-Djarot] tanpa membuka diskusi atau kompromi.

“Jadi saya pikir rapat yang kali ini [pleno pentuan calon kepala daerah DKI Jakarta], saya menggunakan hak prerogatif saya tanpa harus diskusi di rapat itu. Saya sebagai ketua umum PDIP hanya memberitahukan kepada jajaran DPP saya dan meneruskan instruksi tersebut kepada seluruh jajaran struktural ke tingkat bawah. Begitu juga ke seluruh legislatif yang ada di DPR sampai ke tingkat bawah. Begitu juga mereka yang berada di eksekutif untuk diberitahukan bahwa putusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri untuk mengusung yang namanya Pak Ahok dan Pak Djarot sebagai calon yang akan bertarung di DKI ini,” ungkap Megawati di Kantor DPP PDIP, Rabu (21/9/2016).

Ahok memang mengambil jalan pintas untuk menyasar pusat komando‎. Ia tak peduli kader struktural di bawah Megawati ‎bergemuruh berusaha menarik Walikota Surabaya sekaligus Juru Kampanye Nasional PDIP, Tri Rismaharini atau stok kader PDIP yang lain ke Jakarta. Adegan mencuri hati Megawati terselip dalam beberapa pertemuan.

Berbagai syarat dan perjanjian politik harus ditandatangani Ahok. ‎Dia harus bersumpah mengikuti Dasa Prasetya PDIP. Hingga hal-hal yang berbau diplomatis harus mengikuti kehendak rakyat dan menopang program kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo [Jokowi].

Meski begitu ada satu hal yang masih diinginkan Megawati tetapi sulit untuk dituruti Ahok. Hal tersebut ialah sikap yang digaungkan kembali oleh Ahok, yaitu tak akan daftar menjadi kader partai manapun.

“Saya dari dulu tidak pernah masuk dalam partai PDI Perjuangan. Tapi yang saya perjuangkan dulu dengan Pak Taufik Kiemas [Muhammad Taufiq Kiemas] sejalan dengan apa yang diperjuangkan PDI Perjuangan. Saya profesional saja,” ungkap Ahok selang setengah jam setelah dideklarasikan oleh PDIP.

Namun, Megawati menebar sinyal kembali yang mengisyaratkan rayuan agar Ahok menjadi kader partainya. Hal tersebut terjadi ketika Megawati menemani pasangan Ahok-Djarot mendaftar ke KPU DKI Jakarta. Megawati tiba-tiba mengambil jas merah, lalu meminta Ahok memakainya. Ahok hanya bisa malu-malu pasrah menerima permintaan Megawati. Dia memakai jas yang identik dengan warna PDIP tersebut di tengah gemuruh teriakan para pendukungnya.

Berdamai atau Dipecat

Ahok kini dalam genggaman Megawati. Jauh sebelum itu, Ahok sempat mendapat dukungan dari nonparpol yakni melalui Teman Ahok. Dengan berjanji maju melalui jalur independen, Ahok bisa melenggang kampanye ‎di kantong-kantong pemilihnya yang dihimpun Teman Ahok. Jumlah KTP pendukung yang menembus 1 juta menjadi daya tawar lebih untuk menguatkan posisinya sebagai petahana pertama yang memastikan maju kembali.

Antusiasme pendukung Ahok itu akhirnya memikat sejumlah parpol. Partai NasDem, Partai Hanura, dan Partai Golkar akhirnya terpikat dan sepakat memberikan dukungannya. Ahok pun goyah dan memutuskan tidak maju melalui jalur independen, melainkan jalur parpol. Meski begitu, Ahok tak kunjung tenang. Dia berharap PDIP sebagai partai penguasa turut mengusungnya. Sebab semasa menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Jokowi, sebagian besar orang memilih karena Jokowi yang ditopang mesin politik PDIP.

Drama saling sikut pun muncul antara Ahok dengan kader PDIP. Mereka saring serang argumen melalui media massa. Hal tersebut lantaran kader PDIP terpantik oleh beberapa alasan. Di antaranya ialah Ahok yang tak punya loyalitas penuh pada partai politik, tak mengikuti pendaftaran yang menjadi mekanisme PDIP, dan gaya bicaranya yang cenderung blak-blakan dianggap tak beretika.

Jika merunut pada kalkulasi hasil survei terakhir menjelang pembukaan pendaftaran KPU, yaitu dari hasil survei Poltracking, dalam simulasi head to head pasangan calon Pilgub DKI 2017, Ahok berpotensi dikalahkan oleh Risma. Elektabilitas pasangan Risma bersama Sandiaga Uno sebanyak 38,21 persen. Sedangkan pasangan Ahok bersama Djarot berada di bawahnya yaitu sebanyak 36,92 persen. Sebanyak 24,87 persen responden memilih tidak menjawab atau tidak tahu.

Begitu pula dengan simulasi jika Risma dipasangkan dengan Anies Baswedan, mereka meraih angka 37,95 dari responden. Sedangkan Ahok bersama Heru Budi Hartono hanya mendapat 35,64 persen. Sebanyak 26,41 persen responden tidak tahu atau tidak menjawab. Namun, survei terhadap 400 responden warga DKI Jakarta selama 4 hingga 6 September 2016 tersebut, tidak memprediksi jika pasangan calon terpecah menjadi 3 kubu.

Maka pantaslah secara logika, Risma lebih pantas ditarik ke Jakarta. Terlebih bukan hanya hitung-hitungan survei, Risma punya kartu sakti sebagai kader yang loyal.

Megawati tahu, tapi sengaja membiarkan dinamika perseteruan Ahok versus kader PDIP tersebut. Hingga sehari menjelang pembukaan pendaftaran calon kepala daerah, Megawati yang berada di pucuk struktural partai turun tangan.

Sejumlah kader PDIP yang sebelumnya berseberangan dengan Ahok yaitu Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu PDIP, Gembong Warsono, Politikus PDIP Masinton Pasaribu, Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah, Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira, Politikus PDIP Eva Sundari, dan beberapa lainnya manut mandat Megawati. Mereka berbalik arah, tak lagi menyerang Ahok, justru semakin garang menekan kubu seberang.

“Dengan adanya keputusan ini [mengusung Ahok-Djarot] semua wacana, seluruh dinamika yang pernah terjadi kita tutup sebagai sejarah dan kita akan membuka lembaran baru menghadapi pertarungan hari esok,” kata Andreas yang berusaha meredam pertikaian Ahok versus kader PDIP kepada tirto.id, Rabu (20/9/2016).

Yel-yel "Ahok pasti tumbang" yang dinyanyikan Bambang DH, berubah menjadi "Ahok-Djarot pasti menang" dinyanyikan Djarot beserta loyalisnya. Semua tunduk pada Megawati.

Faktor Jokowi

Berhasil digenggamnya dukungan Megawati dan PDI Perjuangan sebenarnya sudah menjadi target Ahok. Sebagai politisi yang dikenal loyal dengan tujuan, Ahok pastilah sangat berharap dukungan partai banteng untuk tetap kembali berkuasa di Jakarta. Dukungan dari Partai Golkar, Nasdem dan Hanura memang cukup baginya untuk maju mendaftar ke KPUD sebagai calon gubernur resmi peserta Pilkada, namun belum menjadi jaminan bakal memenangkan Pilkada.

Kini, setelah dukungan berhasil diraih, langkah Ahok dalam menghadapi Pilkada pada Februari 2017 semakin tegak dan pasti. Maklum, kini dia mengantongi 52 kursi dari tiga partai plus PDI Perjuangan yang merupakan pemenang Pileg 2014 untuk wilayah Jakarta dan tingkat nasional. PDI Perjuangan menangguk 28 kursi di DPRD DKI Jakarta.

Ahok tampaknya juga tak salah kalkulasi dengan berharap dukungan dari partai merah, karena hasil survei yang dilakukan CSIS menunjukkan, tingkat elektabilitas nasional PDI Perjuangan per Agustus 2016 tetap tertinggi di angka 34,6 persen.

Lalu faktor apa yang membuatnya sukses didukung Megawati?

Menurut Gun Gun Heryanto, peneliti politik dari UIN Syarif Hidayatullah, dukungan Megawati terhadap Ahok tak bisa dilepaskan dari campur-tangan Presiden Jokowi. Terlihat jelas bagaimana Jokowi berupaya memfasilitasi pertemuan antara Ahok dengan Megawati. Salah satunya, saat semobil bertiga menuju kantor DPP Partai Golkar. “Bagaimana pun Jokowi harus dibaca sebagai faktor determinan. Sebab dalam beberapa kesempatan, dia memfasilitasi komunikasi politik antara Ahok dengan Mega,” katanya kepada tirto.id, pada Sabtu (24/9/2016).

Terlepas dari kepentingan Ahok untuk tetap berkuasa di Jakarta, hal lain yang menarik dicermati tak lain keputusan politik Megawati yang ternyata memilih Ahok daripada menugaskan Risma berangkat ke Jakarta.

Berdasarkan kalkulasi politik, mendukung Ahok merupakan jalan paling mudah untuk ikut “berkuasa” di Jakarta, dibanding mengusung Risma untuk melawan Ahok. Mengusung Risma, dipastikan bakal memerlukan kerja keras mesin partai, mengingat tingkat elektabilitas Ahok di Jakarta yang begitu tinggi.

Tapi Megawati juga sangat paham, bahwa Ahok juga harus “diikat” mengingat rekam jejaknya yang dengan mudah loncat partai. Maka wajar jika kemudian Ahok diminta mengikuti “Dasa Prasetya” PDI Perjuangan, termasuk berjanji mengikuti kehendak rakyat dan menopang program kerja pemerintahan Presiden Jokowi yang notabene juga didukung Mega.

Sebagai bentuk dukungan dan komitmen, Mega bahkan ikut menemani pasangan Ahok-Djarot mendaftar ke KPU DKI Jakarta.Megawati tidak setengah-setengah memenangkan Ahok- Djarot. Ia bahkan memutuskan untuk turun gunung menjadi juru bicara dalam kampanye Ahok - Djarot.

Tujuan Megawati ikut menguasai Jakarta dengan mendukung Ahok, sejatinya bagian dari strategi besar memenangi Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Menurut Gun Gun Heryanto, manuver Megawati tak bisa dilepaskan dari strategi menguasai wilayah-wilayah strategis, khususnya di Pulau Jawa.

Jangan lupa, Megawati saat ini sudah memiliki Ganjar Pranowo yang menjadi Gubernur Jawa Tengah dan Rano Karno Gubernur Banten. Jika kini Ahok dirangkul, maka berarti DKI Jakarta bakal berada dalam genggaman jika Ahok menang. Sedangkan untuk Jawa Timur, Risma bisa diandalkan untuk memenangkan pertarungan menjadi gubernur Jatim pada Pilkada 2018. Artinya, empat provinsi strategis di Pulau Jawa berpotensi dikuasai Megawati melalui mesin politiknya PDI Perjuangan.

“Konfigurasi kekuatan daerah strategis ini bakal menjadi penetrasi PDI Perjuangan. Bukan saja di Pilkada DKI 2017, tetapi juga Pemilu 2019,” kata Gun Gun.

Jadi Ahok ataukah Megawati yang sebenarnya diuntungkan terkait Pilkada DKI Jakarta? Keduanya sama-sama untung jika Ahok menang. Meskipun Megawati bakal lebih untung karena potensi wilayah “kekuasaannya” tak hanya Jakarta, tapi juga empat provinsi strategis di Pulau Jawa.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana, Arbi Sumandoyo & Mawa Kresna
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti