tirto.id - Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tersenyum saat namanya disebut Hasto Kristianto, Sekjen DPP PDI Perjuangan, sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dari partai berlambang banteng itu. Usai Hasto mengumumkan calon kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada 2017 di beberapa daerah, Ahok pun dipanggil maju bersama Djarot Saiful Hidayat, wakil gubernur yang akan mendampinginya.
Seorang petugas partai kemudian memberikan keduanya jas berwarna merah untuk dikenakan. Djarot mengenakan jas warna merah dengan logo PDI Perjuangan di dada sebelah kiri, sedang Ahok mengenakan jas warna merah polos. Tanpa logo partai.
Bagi Amalia Ayuningtyas, juru bicara Teman Ahok, jas merah polos Ahok itu sangat berharga. Setidaknya, jas merah tanpa logo partai menunjukkan komitmen Ahok untuk tetap independen. Sebuah komitmen yang sejak awal dijaga oleh Teman Ahok.
Tujuannya sederhana, menjaga Ahok agar tidak terjerat utang budi pada partai. Sejak awal Teman Ahok menganggap, terlibat dalam partai memiliki risiko yang besar. Misalnya, harus ada komitmen kepada partai, harus transaksional dan terkesan kotor. Mereka khawatir, Ahok akan disebut petugas partai seperti Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, menyebut Presiden Joko Widodo.
“Kita bagaimana pun caranya berusaha menjaga Ahok supaya tidak terikat partai. Nanti ada hutang yang harus dibayar. Kami lega, Ahok masih tetap pada pendirian. Jas merah Ahok kemarin polos, tidak ada logo partai,” kata Amalia saat ditemui tirto.id, di Sekretariat Teman Ahok, pada Kamis (22/9/2016).
Miskin Kader Mumpuni
Ahok sebenarnya tak sendirian berjas polos. Dua kandidat gubernur lainnya, Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono, juga bukan kader dari salah satu partai politik pedukungnya. Bayangkan, tiga calon gubernur DKI Jakarta bukan kader partai. Bahkan jika melihat enam sosok cagub dan cawagub, hanya Djarot yang murni kader partai, yakni PDI Perjuangan.
Pasangan calon yang diusung oleh Gerindra dan PKS, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno juga bukan murni orang partai. Anies adalah seorang akademisi yang beralih profesi sebagai politisi. Dia mengawali debut dengan menjadi juru bicara pasangan Jokowi – JK pada Pilpres 2014. Sementara Sandiaga, dia murni seorang pengusaha, meski baru saja menjadi kader Partai Gerindra.
Begitu pula dengan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Agus, meski anak kandung Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, bukanlah kader partai berlambang bintang mercy itu. Agus seorang tentara, sementara Sylviana, seorang birokrat, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Munculnya mayoritas figur di luar kader partai yang menjadi calon gubernur dan wakil gubernur seolah dianggap lumrah. Padahal merupakan persoalan besar yang menghinggapi hampir semua partai politik di Indonesia. Partai-partai miskin kader andal.
Bukannya menjadikan momentum Pilkada DKI Jakarta untuk bebenah, partai-partai justru pongah. Demokrat misal, mereka begitu antusias menyambut Agus yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengalahkan Ahok, calon paling kuat. Padahal, Agus dan Sylviana bukan kader partai mereka.
Sikap kritis justru dilontarkan oleh Ruhut Sitompul, kader Partai Demokrat yang kini duduk sebagai anggota DPR RI. Ruhut dengan tegas mengatakan Agus bukanlah kader Partai Demokrat. Dia pun menolak mendukung Agus. Alih-alih kritik itu dijadikan refleksi, Ruhut justru jadi cemoohan dari kader-kader Partai Demokrat.
Tapi Ruhut tak peduli. “Agus Yudhoyono bukan kader Partai Demokrat, aku tetap dukung Ahok,” tegasnya.
Hal yang sama juga terjadi di kubu Prabowo dan pengikutnya. Memilih Anies dan Sandiaga mencerminkan bahwa tidak ada kader partai mereka yang memiliki kualitas untuk bersaing dengan Ahok sang incumbent. Gerindra dan PKS lebih percaya diri dengan mengandalkan orang luar partai ketimbang kader murni mereka.
Lebih miris lagi PDI Perjuangan. Partai yang selama ini dikenal memiliki beberapa kader yang mumpuni, ternyata juga tidak cukup percaya diri untuk mengusung kadernya sendiri untuk bertarung di Jakarta. Dipilihnya Ahok membuat sejumlah kader berang pada keputusan Megawati, sang ketua umum. Ada yang memilih mengundurkan diri lantaran menolak Ahok.
Kemenangan Teman Ahok
Munculnya banyak figur nonpartai yang diusung dalam Pilkada Jakarta tidak hanya menandakan partai-partai miskin kader, tetapi sekaligus kemenangan wacana independen. Teman Ahok salah satu yang ikut berperan dalam membentuk wacana tersebut.
Mendorong Ahok maju melalui jalur independen membuat partai kelimpungan mencari lawan yang sepadan. Mau tak mau, partai-partai terpaksa mencari calon nonpartai yang populer dan berpotensi mengalahkan Ahok. Di sinilah kemenangan Teman Ahok.
Disadari atau tidak, munculnya Teman Ahok adalah bentuk ketidakpercayaan dan kritik pedas terhadap partai yang dianggap kotor dalam berpolitik dan tidak memiliki kader yang mumpuni. Dalam pertarungan kali ini, Teman Ahok terbukti berhasil menggiring opini bahwa tidak ada kader partai yang berkualitas untuk melawan Ahok.
Teman Ahok pun memilih untuk tetap konsisten pada perjuangan relawan. Pasca Ahok ditetapkan sebagai calon gubernur oleh PDI Perjuangan, Teman Ahok memilih untuk keluar dari Tim Sukses resmi.
“Kita akan jadi relawan saja, tidak akan ikut tim sukses. Perjuangan kami kan mengawal Ahok. Tidak harus di tim sukses. Yang pasti, Ahok tetap tidak berpartai dan yang terpenting sekarang memenangkan Ahok,” tegas Amalia.
Kemenangan wacana Teman Ahok ini, setidaknya membuat warga Jakarta memiliki kepastian bahwa pemimpin mereka nantinya bukan petugas partai. Mereka mengenakan jas polos tanpa logo partai. Seperti jas merah polos Ahok.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti