Menuju konten utama

Drama Harga Cabai yang Terus Berulang

Fluktuasi harga cabai kerap mengganggu negeri ini. Komoditi ini juga masuk sebagai bahan makanan yang punya kontribusi pada inflasi. Bisakah menghentikan drama harga cabai yang terus terulang?

Drama Harga Cabai yang Terus Berulang
Petani memanen cabai di persawahan Pakis, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (23/8). Petani mengaku, harga cabai merah besar meningkat dari harga biasanya Rp12.000 per kilogram kini mencapai Rp40.000 per kilogramnya karena minimnya pasokan cabai dari petani. ANTARA FOTO/ Budi Candra Setya/foc/16.

tirto.id - Mengapa masakan Indonesia sedemikian lezat? Seorang penyuka kuliner asal AS yang tinggal di Bangkok, Mark Wiens memberikan jawabannya dengan sederhana.

“Ini karena makanan Indonesia memakai bumbu dapur dan rempah-rempah yang segar,” jawab Wiens dalam situs migrationology.com.

Jawaban Wiens ada benarnya. Bumbu segar memang merupakan salah satu kultur kuliner masyarakat Indonesia. Salah satu bumbu segar yang senantiasa membuat masakan Indonesia lezat adalah cabai. Bagi kebanyakan orang Indonesia, makan tak sedap rasanya kalau belum ada sambal, dan pastinya dari cabai yang masih segar.

Cabai segar memang masih menjadi favorit untuk bumbu memasak di Indonesia. Rasanya lebih pas jika menggunakan cabai segar dibandingkan dengan cabai kering atau bubuk. Cabai kering umumnya lebih banyak diserap oleh industri mi instan daripada rumah tangga. Sayangnya, harga cabai seringkali mengalami fluktuasi yang tinggi. Kadang tinggi sekali karena seretnya pasokan, kadang malah anjlok karena kebanyakan pasokan.

Ada momen-momen tertentu di mana harga cabai melejit, melebihi harga beras. Misalnya seperti yang terjadi di awal September ini, menjelang Idul Adha. Harga-harga cabai di beberapa kota di Indonesia mulai merangkak naik. Di Medan Sumatera Utara misalnya, harga cabai merah besar sudah mencapai Rp60.000/kg. Jauh dari harga rata-rata nasional cabai merah besar yang berkisar Rp38.000/kg. Kondisi serupa juga terjadi di Purbalingga, Jawa Tengah harga cabai merah menembus Rp40.000/Kg, padahal harga normalnya hanya Rp25.000/kg.

Menjelang Idul Adha, kebutuhan terhadap cabai merah meningkat di saat orang-orang bersiap pada ritual tahunan memasak daging kurban. Sama halnya ketika Idul Fitri, ketika orang cenderung memasak dengan menggunakan bumbu yang didominasi cabai. Kenaikan harga cabai menjadi pengulangan menahun yang belum ada solusinya. Penyebabnya mulai persoalan tata niaga, produksi, hingga budaya masyarakat yang cenderung memilih cabai segar.

Pemicu Harga Cabai

Dalam hukum ekonomi, harga sangat dipengaruhi oleh produksi atau suplai. Saat ini, di atas kertas suplai cabai surplus. Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat ketersediaan cabai merah besar pada periode Juni-Agustus 2016 mengalami surplus 230.888 ton. Pada Agustus 2016 misalnya, pasokan cabai mencapai 93.111 ton sedangkan kebutuhan hanya 75.761 ton.

Kenyataannya harga cabai di berbagai kota mengalami kenaikan. Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam kurang waktu dari sebulan, harga rata-rata cabai merah besar di tingkat nasional Rp38.000/kg atau naik 22 persen.

"Kami melihat harga cabai dan bawang merah mulai naik. Sementara pasokan saat ini normal. Tidak ada kekurangan berarti, karena produksi juga cukup karena terjadi panen di sentra bawang merah dan cabai," kata Mendag Enggartiasto Lukita bersama Mentan Amran Sulaiman saat berkunjung ke Pasar Induk Tanah Tinggi, Tangerang (23/8/2016) dikutip dari Antara.

Ini sebuah drama ulangan saat Mendag dan Mentan turun ke pasar memantau perkembangan harga cabai yang sedang naik. Sama mengulangnya ketika pemerintah menuding persoalan kenaikan harga cabai dan kebutuhan pokok lainnya gara-gara persoalan tata niaga. Saat produksi di atas kertas cukup tapi harga naik, maka tudingan masalah rantai pasokan jadi alibi yang paling gampang.

Kenaikan harga cabai juga pernah terjadi pada Maret lalu, saat harga cabai juga melambung. Pada waktu itu harga cabai naik saat tak ada momen hari keagamaan. Kalau sudah begini, persoalan gangguan produksi cabai akibat musim hujan jadi alasan. Kenyataannya, waktu produksi dan panen cabai di Indonesia tak terjadi sepanjang tahun akibat pola tanam yang tak merata. Ketika panen cabai sedang tinggi-tingginya, harga cabai biasanya jatuh karena petani hanya mengandalkan cabai segar. Hasilnya, banyak cabai tak berharga dan dibiarkan membusuk. Di sisi lain saat produksi sedang rendah, harga cabai melonjak. Belum lagi soal cuaca yang tidak menentu akan berpengaruh pada serangan hama dan penyakit.

“Persoalan utama fluktuasi harga cabai adalah pola tanam dan tata niaga. Kalau masalah budaya makan cabai segar itu bukan faktor yang dominan,” kata Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia Dadi Sudiyana kepada tirto.id, Rabu (7/9/2016)

Pemerintah memang tak tinggal diam, masalah fluktuasi harga cabai juga terjadi karena kendala musim hujan. Karakter biologis dari cabai umumnya mudah rusak bila banyak terkena air. Balitbang Kementan telah mengembangkan cabai yang bersifat amfibi dan mempunyai produktivitas tinggi di musim kemarau atau hujan.

Selain pembenahan sisi produksi, pemerintah seharusnya mampu mendorong industri olahan cabai agar masyarakat tak tergantung dengan cabai segar. Industri olahan cabai juga bisa menyelamatkan cabai petani yang tak berharga saat panen raya, dengan mendorong pengeringan cabai hingga jadi produk olahan. Cabai kering atau bubuk memang tak sepopuler cabai segar yang diganderungi masyarakat. Cabai kering yang berkualitas tak kalah pedasnya dengan cabai segar.

Dalam sebuah karya akademis IPB yang berjudul “Preferensi Konsumen dan Analisa Rantai Nilai Produk Olahan Cabai Merah Kering” di Bogor, konsumen cabai kering tetap akan mengedepankan kualitas rasa pedas saat membeli sebuah produk cabai kering. Dari responden ibu rumah tangga misalnya, preferensi karena pertimbangan pedas mengambil porsi 38,18 persen, sedangkan faktor pertimbangan harga hanya 7,97 persen.

Sedangkan untuk industri pengguna cabai kering, pertimbangan soal kepedasan mengambil porsi hingga 53,59 persen daripada pertimbangan harga yang hanya 12,95 persen, sisanya aroma, dan warna turut menentukan pilihan mereka memakai cabai kering. Dari studi ini menggambarkan bahwa masyarakat memang mengutamakan rasa pedas, ketimbang harga sebuah cabai olahan.

Masalah fluktuasi harga cabai memang kompleks. Selain persoalan produksi, juga ada kendala di tata niaga. Kultur orang Indonesia yang juga masih doyan mengkonsumsi cabai segar, menjadi kombinasi yang sempurna terhadap fluktuasi harga komoditi ini.

“Masyarakat perlu diedukasi untuk bisa mengkonsumsi cabai olahan, tidak terlalu fokus pada cabai segar," kata Pakar Hortikultura IPB Muhammad Syukur dikutip dari Antara.

Komoditas seperti cabai merupakan contoh bagaimana buruknya sistem produksi dan tata niaga pertanian di Indonesia. Cabai hanya sebuah bahan pangan yang memang tak sepokok dari beras, tapi masyarakat tak mudah lepas dari kebutuhan cabai segar. Imbauan mengurangi cabai segar, mungkin sebuah ironi. Di sisi lain pemerintah belum juga punya obat mujarab mengatasi drama cabai yang berulang. Jadi mau setop makan cabai?

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti