tirto.id - Tepat setahun menduduki kursi presiden, Prabowo Subianto baru-baru ini menyebut bahwa angka kemiskinan pada masa pemerintahannya turun ke level 8,47 persen, rekor terendah sepanjang sejarah Indonesia.
“Ini saya diberitahu, catatan, oleh para pakar, ini angka terendah sepanjang sejarah republik Indonesia, kita beryukur dan berterima kasih. Walaupun kita tidak boleh puas,” ujar Prabowo saat menyampaikan pengantar di Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Senin lalu (20/10/2025).
Pada saat yang sama, Prabowo juga mengklaim melorotnya angka tingkat pengangguran terbuka ke 4,76 persen. Menurutnya juga, angka ini merupakan level terendah sejak tahun 1998 silam.
Meski demikian, dia meminta agar seluruh jajaran pemerintah tidak berpuas diri sebab angka tersebut masih menyisakan pekerjaan besar bagi negara. Termasuk, katanya, menyediakan lapangan kerja bagi yang masih membutuhkan.
“Sekali lagi, kita tidak boleh puas, karena 4,76 persen dari 280 juta orang itu angka yang cukup besar, dan bagi mereka yang perlu pekerjaan segera, ini sesuatu yang harus kita pikirkan dengan seksama,” katanya.
Prabowo memahami bahwa tingkat pengangguran yang ada saat ini masih tergolong meresahkan bagi sejumlah orang yang membutuhkan. Dia berjanji, pemerintah akan bekerja keras dalam menangani hal ini.
Mendengar pernyataan Prabowo, Marto (50) mengaku tak yakin dengan angkanya. Meski baginya “tak banyak”, ia masih kerap menjumpai beberapa masyarakat yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) maupun mereka-mereka yang masih menganggur.
“Ya memang pemerintah yang tahu sih [datanya]. Tapi kayaknya gak mungkin deh,” katanya saat narik ojek online di wilayah Jakarta Selatan, Selasa (21/10/2025).
Ia justru merasa bersyukur dengan keberadaan ojol yang dianggap bisa memberikan opsi lapangan kerja. Meski tak semua mau dan bisa menjalani pekerjaan sebagai pengemudi ojol, Marto bilang, jika sudah terbiasa, pekerjaan itu nyaman dilakoni.
Data dan Keadaan Lapangan
Narasi soal kemiskinan dan pengangguran yang “membaik” ini bukan hanya sekali kita dengar. Tiga bulan lalu, saat Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Solo, Jawa Tengah, Minggu (20/7/2025), Prabowo mengklaim angka pengangguran dan kemiskinan absolut mengalami penurunan. Prabowo mengaku mendapatkan data itu dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Kala itu, Prabowo bahkan menyinggung soal usaha untuk membuat seolah-olah Indonesia dalam keadaan susah, dalam keadaan gelap, dan ekonomi yang gagal itu merupakan upaya menurunkan semangat dan itu tidak benar.

Pernyataan Prabowo soal kemiskinan turun maupun terendah memang tak sepenuhnya salah. Secara statistik, data BPS memperlihatkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia melorot, dari September 2024 sebanyak 23,85 juta orang (8,47 persen dari total penduduk) menjadi 24,06 juta orang atau setara 8,57 persen pada data terakhir Maret 2025.
Capaian Maret 2025 tersebut bahkan tercatat paling rendah selama dua dekade terakhir. Pada Maret 2014 misalnya, jumlah penduduk miskin di Tanah Air menyentuh angka 28,28 juta orang, alias sebesar 11,25 persen.
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Putu Rusta Adijaya menilai, secara makro, hal ini bisa dianggap sebagai capaian yang layak dan patut dibanggakan. Namun, secara mikro, capaian ini terlihat belum mencerminkan perbaikan kesejahteraan yang merata dan keberlanjutan.

Sebab, dari data BPS, masih terlihat adanya disparitas antara persentase kemiskinan di wilayah perkotaan dan di wilayah perdesaan. Per Maret 2025, persentase kemiskinan perkotaan ada di level 6,73 persen, sementara persentase kemiskinan perdesaan menyentuh 11,03 persen. Artinya, perbandingan alias disparitasnya sendiri mencapai 63,89 persen.
Tak seperti angka kemiskinan di pedesaan yang turun, di perkotaan, angkanya pun justru merangkak naik dari 6,66 persen pada September 2024, menjadi 6,73 persen pada Maret tahun ini. Hal ini memperlihatkan kalau penurunan kemiskinan pada Maret 2025 sepenuhnya ditopang oleh perdesaan.
Di lain sisi, menurut Rusta, banyak pekerja RI merupakan pekerja informal, seperti halnya dilakukan Marto. Sulitnya mencari pekerjaan formal dan tidak adanya pilihan lain membuat masyarakat beralih ke pekerjaan informal.
Walaupun secara angka pengangguran turun, ini ada indikasi ditopang oleh lapangan pekerja informal. Padahal, jika ingin pertumbuhan ekonomi optimal, sektor formal harus bisa menyerap dan memiliki porsi yang lebih banyak ketimbang informal.
“Pekerja informal juga relatif lebih rentan dibandingkan kelompok pekerja formal karena jaminan hukum yang belum kuat dan penghasilan yang belum stabil. Jadi, terlihat pencapaian secara data, namun masih terlihat ‘semu’ secara kualitas,” tegas Rusta.
Dengan masih adanya disparitas yang kuat antara wilayah pedesaan dan perkotaan, Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyampaikan capaian angka kemiskinan Maret 2025 ini perlu dibaca dengan lebih hati-hati.

Menurut dia, salah satu faktor utama terjadinya hal tersebut adalah laju urbanisasi yang terus meningkat, di mana banyak penduduk desa bermigrasi ke kota dengan harapan memperoleh penghidupan lebih baik. Sayangnya, sebagian besar terserap ke sektor informal yang berpenghasilan rendah dan tidak stabil, tanpa jaminan sosial maupun kepastian kerja.
“Akibatnya, kemiskinan perkotaan menjadi lebih kompleks, bukan hanya karena rendahnya pendapatan, tetapi juga karena tingginya biaya hidup, keterbatasan akses terhadap hunian layak, transportasi, serta tekanan inflasi makanan di kawasan urban,” kata Rendy saat dihubungi Tirto, Selasa (21/10/2025).
Selain tingkat kemiskinan, ia bilang, dua indikator lain—yakni kedalaman kemiskinan (povertygap) dan keparahan kemiskinan (poverty severity)—menunjukkan bahwa meskipun jumlah penduduk miskin menurun, kesenjangan antara kelompok miskin dan garis kemiskinan masih cukup lebar.
BPS sendiri mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.
Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.
Perlu Kebijakan yang Tekan Kedalaman & Keparahan Kemiskinan
Rendy beranggapan, ke depan, tantangan pemerintah adalah memastikan penurunan angka kemiskinan ini tidak bersifat semu. Oleh karenanya, perlu ada kebijakan yang menekan kedalaman dan keparahan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja formal, peningkatan keterampilan tenaga kerja, dan penguatan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, serta perumahan terjangkau.
“Reformasi struktural di sektor perkotaan menjadi kunci, agar urbanisasi tidak berubah menjadi sumber kemiskinan baru. Dengan demikian, penurunan kemiskinan tidak hanya tercermin dalam angka, tetapi juga dalam kualitas hidup dan kemandirian ekonomi masyarakat miskin—baik di desa maupun di kota,” tegas Rendy.

Dengan banyaknya pekerja informal, Rusta mendorong pemerintahan Prabowo-Gibran harus memfokuskan diri untuk memperluas perlindungan sosial bagi pekerja informal juga, serta mendorong pembentukan lapangan kerja dan meningkatkan kapasitas SDM agar dapat bekerja dan bersaing di pekerja formal.
Selain itu, pemerintah pun mesti mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta tidak serta merta melihat angka pertumbuhan ekonomi secara kuantitas.
“Tapi, lihat juga peningkatan produktivitasnya berapa, apakah sudah merata kesejahteraannya, bagaimana dengan dampak lingkungan yang dihasilkan, dan lain sebagainya. Intinya, tidak hanya fokus ke metrik ekonomi tertentu tetapi mengabaikan metrik penting yang lain,” ujar Rusta.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































