tirto.id - Gedoran pintu mengejutkan Fitri (52) pada Minggu (1/9/2024) subuh. Ia menunda wudunya, lalu bergegas keluar. Ternyata, seorang pria misterius datang membawa kabar buruk tentang MAH (13), anak bungsu Fitri yang sejak malam belum pulang. MAH belum juga menunjukkan diri di rumah mereka di Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdangbedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Lelaki itu mengabarkan bahwa MAH berada di rumah sakit. Tanpa buang waktu, Fitri pun pergi dengan setumpuk cemas. Ia dibonceng menggunakan sepeda motor, menuju rumah sakit yang berjarak sekitar 3 kilometer.
Kekhawatiran Fitri terbukti. Setibanya di lokasi, sang buah hati sudah terbujur kaku. MAH dinyatakan meninggal dunia dengan luka tembak di punggung tembus ke dada. Fitri sontak histeris dan berulang kali jatuh pingsan.
“Di situ saya sempat jatuh dan bangkit lagi. Kata perawat, ‘Anak ibu kena luka tembak, anak ibu sudah tidak ada’,” tutur Fitri kepada kontributor Tirto, Sabtu (9/8/2025).

MAH merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya meninggal dunia pada 2016 silam, ketika dia berusia lima tahun. Di mata keluarga, Alfath adalah tipe bocah yang periang, baik dan penurut. Setiap malam, ia rutin belajar membaca Al Quran. Kecuali pada malam tragis itu.
Pada Sabtu (31/8/2024) sekitar pukul 20.00 WIB, MAH mengalami flu. Dia minta izin keluar membeli obat ke apotek ditemani B, kakak kelas MAH di sekolah yang sejak dua hari terakhir menumpang tinggal di rumah mereka. Saat itu, MAH duduk di bangku kelas dua SMP. Sedangkan B di kelas tiga. Tanpa firasat apapun, Fitri membolehkan keduanya pergi menggunakan sepeda motor.
Hingga pukul 21.00 WIB, MAH dan B belum pulang. Fitri coba menghubungi menggunakan aplikasi pesan digital. Dari situ diketahui mereka mampir ke rumah remaja bernama B. Rumahnya berjarak sekitar 200 meter dari kediaman Fitri.
Singkat cerita, Fitri ketiduran dan terbangun jelang tengah malam. Tapi MAH maupun B belum juga balik. Di tengah jalan pulang, keduanya ternyata bertemu dengan remaja lain, W dan R. Dari sinilah petaka dimulai.
Rombongan Wisnu mengajak MAH dan B bergabung dengan kelompok geng motor mereka untuk tawuran dengan remaja lain, asal Kecamatan Lubuk Pakam. Fitri tidak mengetahui hal ini lantaran ketiduran.
Dari pelataran suatu minimarket waralaba, W dan kawan-kawan pergi berboncengan. Tepat di atas suatu jembatan, mereka melihat kelompok yang diincar dan langsung melakukan pengejaran. Sebab kalah jumlah, lawan memutuskan kabur. Sebagian masuk ke dalam suatu diskotek sehingga menimbulkan kepanikan. Di tengah situasi itu, tiba-tiba terdengar suara letusan senjata api.
Letusan itu disambut ketakutan oleh W dan kawan-kawan. Mereka buru-buru pergi meninggalkan lokasi. Saat itu, W dan B boncengan dengan MAH. Sedangkan R boncengan dengan B. Mereka berencana balik ke titik kumpul semula, namun tidak sadar dikejar oleh dua unit mobil yang muncul dari arah diskotek.
Situasi mencekam ketika jarak mereka berdekatan. Dari dalam mobil, seorang pria menodongkan pistol ke arah R dan B. Merasa takut, mereka sempat memelankan laju kendaraan sebelum akhirnya memutar arah. Sedangkan MAH yang membonceng Bayu dan Wisnu tetap di jalur yang sama dan lanjut dikejar.
Setelah melewati jembatan, kembali terdengar beberapa kali letusan senjata api. MAH menggeser arah kendaraan untuk menghindar. Namun, pria di dalam mobil terus melesatkan tembakan hingga peluru panas akhirnya menembus punggung MAH sampai ke dada. Setelah kendaraannya hilang kendali lalu jatuh ke parit, W sempat melarikan diri. Nahas, ia berhasil ditangkap dan dihajar.
Pukul menunjukkan sekitar 04.00 WIB. Setelah mengetahui ada yang kena tembak, para pelaku memutar otak dan berpencar. Satu unit mobil pergi meninggalkan lokasi. Sedangkan mobil lainnya membawa jasad MAH ke rumah sakit dan ditinggalkan begitu saja dengan alasan kecelakaan lalu lintas.
Sementara di rumah, Fitri menanti buah hati dengan penuh gelisah. Ia terbangun jelang subuh dan mencoba kembali menghubungi MAH. Tapi panggilannya tidak pernah diangkat. Kegelisahan itu terjawab setelah seorang pria misterius datang. Betapa hancur hati Fitri mengetahui MAH meregang nyawa layaknya penjahat besar.

“Hancur hati saya. Tega sekali orang itu. Padahal masih banyak cara. Dia masih kecil, kadang masih saya sulangi kalau makan. Kakinya dipegang saja dia sudah tidak bisa apa-apa. Kenapa mesti ditembak sampai mati,” ujar Fitri.
Jalan Terjal Keadilan
Akhir pekan yang cerah seketika berubah kelam. Pada Minggu (1/9/2024) pagi, Ilham (20) tiba-tiba mendapat pesan dari kampung halaman. Dia disuruh pulang karena adik kandungnya, MAH, meninggal dunia. Kala itu, Ilham sedang berada di luar kota dalam rangka mengikuti kegiatan kampus.
“Saya kaget. Kata keluarga, MAH meninggal kecelakaan, jadi saya cepat-cepat cari tiket pesawat untuk pulang. Awalnya saya tidak percaya. Sampai di rumah ternyata benar, MAH tewas ditembak bukan kecelakaan,” ujar Ilham kepada kontributor Tirto, Sabtu (9/8/2025).
Mengetahui adiknya tewas ditembak, perasaan Ilham campur aduk. Terpukul sekaligus marah. Keluarganya berulang kali mendatangi kantor polisi setempat untuk mencari sosok pembunuh MAH. Titik terang baru muncul beberapa hari kemudian.
Pada Rabu (4/9/2024), personel Polres Serdangbedagai menangkap Eduardus Jeriko Nainggolan (31) di Kecamatan Bringin, Kabupaten Deliserdang. Selang dua hari berikutnya, polisi menciduk tiga pria lain di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi. Ketiganya adalah M Abdillah Akbar (22), Agung Pratama (25), dan Paul M Sitompul (47).

Hasil penyidikan menunjukkan bahwa mereka semua terlibat dalam peristiwa subuh itu. Tapi bukan sebagai penembak. Melainkan pengemudi mobil sekaligus juga orang-orang yang menelantarkan jasad MAH di rumah sakit.
Penembak korban adalah Darmen Hutabarat dan Hendra Fransisco Manalu. Keduanya merupakan prajurit TNI yang bertugas di Kodim 0204/Deliserdang dengan pangkat masing-masing Sersan Kepala (Serka) dan Sersan Dua (Serda). Meski bukti-bukti sudah mengerucut, pengusutan terhadap mereka begitu lambat.

Ilham masih ingat betul bagaimana laporan ibunya ditolak berkali-kali oleh Pomdam I/Bukit Barisan. Kedatangan mereka menjemput keadilan selalu mentok di depan gerbang. Laporan baru diterima setelah kisah MAH menuai sorotan publik serta menarik simpati berbagai kalangan organisasi sipil.
Pada Rabu (2/10/2024), penyidik Polres Serdangbedagai melimpahkan berkas kasus ke Pomdam I/Bukit Barisan. Bukti yang diserahkan antara lain dua selongsong peluru berkode PIN produksi PT Pindad (Persero). Meski ada kemajuan, perjalanan keluarga almarhum MAH masih panjang dan terjal.
Hingga tahun berganti, belum ada tanda-tanda Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu akan diseret ke pengadilan. Saat keluarga korban nyaris putus asa, berkas mereka akhirnya disidangkan Pengadilan Militer I-02 Medan pada Selasa (18/3/2025) atau delapan bulan setelah peristiwa terjadi. Sementara empat orang sipil yang ikut terseret kasus ini masuk persidangan di Pengadilan Negeri Sei Rampah satu bulan sebelumnya.
Setelah melewati 21 kali sidang, Oditur Pengadilan Militer I-02 Medan Mayor Tecki membacakan tuntutan terhadap terdakwa Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu pada Rabu (9/7/2025). Tuntutan terhadap keduanya jauh di bawah harapan keluarga korban.
Masing-masing hanya dituntut 18 bulan penjara dan satu tahun penjara dikurangi masa tahanan. Keduanya dijerat Pasal 359 Juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan seseorang meninggal dunia. Bukan pasal tentang pembunuhan.
“Tuntutan terhadap terdakwa saat itu sangat rendah, tidak mencerminkan keadilan,” ujar Ilham.
Pada sidang pembacaan replik, Selasa (22/7/2025), keluarga MAH sempat melayangkan protes terhadap tuntutan Oditur. Ibu korban, Fitri, menangis terisak-isak di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Militer I-02 Medan yang diketuai Letkol Djunaedi.
“Kenapa pasalnya kelalaian, Pak? Mereka sudah membunuh, seharusnya pasal pembunuhan itu di atas lima tahun tuntutannya,” ujar Fitri.
Mendengar protes itu, hakim memberi tanggapan yang normatif. Letkol Djunaedi menjelaskan bahwa tuntutan terhadap terdakwa bukan kewenangan mereka. Melainkan Oditur.
“Itu bukan kewenangan kami, kewenangan Oditur. Tapi kami nanti yang memutuskan,” ujar Letkol Djunaedi.

Tuntutan Oditur yang begitu ringan terhadap dua prajurit TNI penembak bocah SMP kembali menarik perhatian koalisi sipil. Pada Rabu (6/8/2025) atau sehari jelang sidang vonis, massa menggelar aksi unjuk rasa. Mereka mendesak hakim menjatuhkan hukuman berat terhadap Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu.
Demo ini direspons oleh Ketua Pengadilan Militer I-02 Medan Laksamana Pertama TNI Hari Aji Sugianto. Ia meminta massa membubarkan diri dengan mengapungkan janji bakal memenuhi tuntutan aksi.
“Kalau seandainya hakim nanti memutus tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, saya siap mundur,” ujarnya.
Pernyataan Laksamana Pertama TNI Hari Aji Sugianto menyisakan setitik asa bagi keluarga MAH. Di tengah tuntutan Oditur yang rendah, keluarga korban berharap hakim mampu membalikkan meja dan memberi rasa keadilan bagi mereka.
Namun, harapan tinggal harapan. Pada Kamis (7/8/2025) lalu, Majelis Hakim hanya menjatuhkan hukuman 2,6 tahun kepada Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu.
Mereka dinyatakan bersalah bukan karena melakukan pembunuhan, tapi melanggar Pasal 76c juncto Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP juncto Pasal 26 KUHPM subsider satu bulan kurungan atau denda Rp200 juta. Selain dihukum penjara, keduanya sama-sama dipecat dari kesatuan TNI AD.
“Menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Letkol Djunaedi.
Putusan hakim disambut keluarga almarhum MAH dengan penuh emosi. Ibu korban menangis histeris dan sempat terjadi keributan di ruang sidang saat simpatisan mengibarkan bendera ikon serial anime dan manga asal Jepang, One Peace. Sejumlah pria berbadan tegap menarik mereka ke dalam sel tahanan lalu dipukuli beramai-ramai.
Di tempat berbeda, vonis terhadap empat terdakwa sipil dalam kasus ini juga tak kalah ringan. Beberapa bulan sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sei Rampah mengganjar Agung dan Abdillah dengan hukuman penjara 4 tahun. Sedangkan Eduardus dan Paul hanya 10 bulan. Hukuman receh terhadap para pelaku melengkapi derita yang dialami keluarga almarhum MAH.
“Kami tidak tahu lagi ke mana bisa mencari keadilan. Kami ragu mengajukan banding, karena dari tuntutan Oditur saja sudah ringan sekali,” ujar Ilham.
Aroma Alkohol Minuman Keras
Setahun berlalu. Selain panjang, terjal dan berliku, proses penindakan hukum terhadap para pelaku dalam kasus penembakan almarhum MAH juga dipenuhi banyak kejanggalan, menurut keluarga korban. Di antaranya soal lokasi saat Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu pertama kali muncul dan melepaskan tembakan.
Berdasarkan fakta persidangan, baik di Pengadilan Pengadilan Militer I-02 Medan maupun di Pengadilan Negeri Sei Rampah, serta hasil rekonstruksi Polres Serdangbedagai pada tahun lalu, para pelaku termasuk dua prajurit TNI tersebut muncul dari depan suatu hotel berinisial DI.
Selain menyediakan kamar penginapan, Hotel DI diketahui juga menawarkan tempat hiburan malam seperti diskotek. Anehnya, menurut Ilham, hal ini tidak didalami dengan serius di meja persidangan. Padahal, dia menduga para pelaku berada di bawah pengaruh alkohol.
“Saya curiga mereka mabuk sehingga emosinya tidak terkontrol. Buktinya sampai ada lima kali tembakan. Adik saya sudah pergi dari lokasi tetap mereka kejar. Padahal saat itu almarhum tidak melakukan apa-apa, tidak membunuh, melukai atau merusak apapun,” ujar Ilham.
Hotel DI berada di Jl. Lintas Sumatera Lubuk Pakam-Perbaungan, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deliserdang. Hotel ini sudah pernah didemo juga dirazia aparat karena diduga menjadi tempat peredaran narkoba. Sebagai prajurit TNI, menurut Ilham, keberadaan Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu di tempat seperti itu juga layak dipertanyakan.
“Kami menduga keduanya bekerja sebagai pengamanan di sana. Sangat aneh kalau hal ini tidak diusut dan menjadi bahan pertimbangan dalam putusan hukum terhadap para pelaku,” ujar Ilham.
Sebenarnya, kata Ilham, kejanggalan sudah dia rasakan saat kasus ini pertama kali ditangani oleh Polres Serdangbedagai. Saat menggelar prarekonstruksi perkara pada Sabtu (7/9/2024), ujar Ilham, penyidik sempat melarang para tersangka menyebut nama dua prajurit TNI yang terlibat secara gamblang. Pengumuman keterlibatan keduanya terkesan sempat diulur-ulur dan ditutupi.
Selanjutnya, sejumlah saksi kunci juga terkesan enggan menghadiri persidangan Pengadilan Militer I-02 Medan. Termasuk Bayu, Bores dan Wisnu. Padahal, keterangan mereka sangat penting guna mengungkap peristiwa sesungguhnya. Ilham curiga para saksi takut karena diintimidasi oleh pihak tertentu. Buktinya, kata Ilham, mereka bersedia hadir pada persidangan Pengadilan Negeri Sei Rampah.
Lantaran banyaknya kejanggalan dalam proses ini, Ilham dan keluarga sempat berinisiatif mencari bukti-bukti secara mandiri. Dari situlah mereka mengetahui bermacam perlakuan keji para pelaku terhadap MAH. Misalnya pengakuan petugas rumah sakit yang menyaksikan jasad MAH sempat diseret dan ditendang meski sudah tidak berdaya. Perilaku yang bengis malam itu diduga tak lepas dari pengaruh minuman keras.
“Keberadaan prajurit TNI di tempat hiburan malam itu saja sudah janggal. Kenapa tidak diusut? Apalagi jelas di situ ada minuman keras yang bisa menyebabkan orang hilang kontrol. Tentu berbahaya jika dikonsumsi orang yang memegang senjata api,” ujar Ilham.
Terpisah, Kapendam I/Bukit Barisan Kolonel Asrul Kurniawan belum dapat memberikan keterangan perihal keberadaan sejumlah oknum TNI di tempat hiburan malam. Khususnya terkait kasus yang melibatkan Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu.
“Saya sedang sekolah di Bogor, Pak. Mohon maaf, nanti saya cek dulu,” ujar Kolonel Asrul kepada kontributor Tirto, Minggu (10/8/2025).
Hukuman Ringan dan Impunitas TNI
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai vonis 2,6 tahun terhadap Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu sebagai hukuman ringan sekaligus menambah daftar impunitas TNI di ranah pidana.
Hal ini berpotensi menormalisasi tindak kesewenang-wenangan aparat TNI di ranah sipil. Padahal, fakta persidangan menunjukkan para pelaku layak dihukum dengan pasal pembunuhan.
“Hukumannya receh, tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukan oleh terdakwa. Ini dikhawatirkan menjadi pembenaran bagi Hakim dan Oditur dalam Pengadilan Militer. Bila hal ini terus terjadi, maka impunitas akan semakin menjadi-jadi,” ujar Staf Pengorganisasian dan Jaringan KontraS Sumatera Utara Aulia Rahman, Rabu (13/8/2025).

Dalam kasus ini, Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu awalnya hanya dituntut hukuman penjara masing-masing 18 bulan penjara dan satu tahun penjara. Keduanya kemudian hanya dijerat dengan pasal kekerasan terhadap anak dengan vonis 2,6 tahun. Para pelaku lolos dari pasal pembunuhan meski fakta-fakta persidangan menunjukkan demikian.
Menurut Aulia, rendahnya tuntutan dan vonis telah mencederai semangat keadilan di Tanah Air. Apalagi hal serupa sudah berulang kali terjadi dan menambah tebal daftar impunitas TNI.
Berdasarkan catatan KontraS Sumatera Utara, terdapat 14 perkara kekerasan oknum TNI terhadap warga sipil di Sumatera Utara sejak 2023 lalu. Dari jumlah itu, hanya empat di antaranya yang sampai ke pengadilan.
“Dan itupun rata-rata hukumannya sangat receh,” ujar Aulia.
Menurut Aulia, persoalan geng motor yang semakin meresahkan di Sumatera Utara tidak bisa menjadi pembenaran oknum TNI menggunakan senjata api dan membunuh warga sipil seenak jidat, apalagi di negara hukum.
Di sisi lain, Aulia juga merasa heran dengan keberadaan Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu di tempat hiburan malam pada dini hari. Padahal, tempat tersebut relatif jauh dari markas kedua prajurit.
“Harusnya pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat sipil disidangkan di pengadilan umum,” pungkas Aulia.
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































