Menuju konten utama

Demo di Kantor Freeport Juga Serukan Penentuan Nasib West Papua 

Aksi demonstrasi di depan kantor Freeport Indonesia menuntut penutupan aktivitas perusahaan tambang itu di Papua. Aksi itu sekaligus menyerukan penentuan nasib sendiri bagi West Papua.

Demo di Kantor Freeport Juga Serukan Penentuan Nasib West Papua 
Puluhan orang yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua melakukan aksi menuntut penutupan PT Freeport Indonesia di depan Kantor Freeport, Jakarta, Kamis (29/3/2018). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Seruan penentuan nasib sendiri bagi West Papua muncul dalam aksi demonstrasi di depan gedung kantor PT Freeport Indonesia, Kuningan, Jakarta, pada Kamis (29/3/2018).

Aksi itu digelar oleh 70-an massa dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia (FRI) untuk West Papua. Mereka menggelar demonstrasi untuk mendesak penutupan aktivitas Freeport di Papua.

Surya Anta juru bicara FRI untuk West Papua menyatakan pihak internasional harus bersikap terhadap pemaksaan West Papua masuk ke dalam NKRI.

"Sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang, keberadaan West Papua di list dekolonialisasi Belanda dicopot tanpa rakyat West Papua tahu," ujar Surya.

Dia juga menuding keberadaan aktivitas PT Freeport Indonesia sebagai pintu masuk penjajahan di Papua.

Dia beralasan Kontrak karya pertama PT Freeport dan Indonesia diteken pada tahun 1967. Sementara Penentuan Nasib Sendiri (Pepera) untuk disahkan bergabung dengan NKRI dilakukan pada 1969. Ia menuduh Pepera itu dilaksanakan dengan praktik manipulatif serta tidak demokratis.

Dorlince Iyowau, salah seorang warga Timika yang ikut dalam aksi itu, menambahkan keberadaan Freeport tidak membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi rakyat Papua.

"Kekerasan terhadap kemanusiaan dan kerusakan alam karena limbah tailing yang dibuang ke Sungai Ajkwa menjadi bentuk nyata dari kejahatan kehadiran Freeport." ujar Dorlince.

Dalam rilis pernyataan sikapnya yang diterima Tirto, FRI West Papua dan AMP menyampaikan 9 poin tuntutan. Tiga tuntutan di antaranya ialah penutupan aktivitas Freeport di Papua, penarikan pasukan TNI/Polri dari Papua dan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Rilis itu juga menyatakan, berdasarkan Laporan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua pada 2002, terdapat banyak kekerasan aparat keamanan yang dilakukan di Papua.

Laporan itu mencatat ada ribuan orang meninggal, puluhan orang hilang, dan ratusan kasus penganiayaan serta penahanan. Selain itu, juga tercatat sejumlah kasus pembakaran rumah ibadah, kampung-kampung dan dugaan perusakan di tempat lain yang belum terdata dengan baik.

Massa mulai meninggalkan depan kantor Freeport di Jakarta sekitar pukul 15.30 WIB. Rencananya, aksi serupa akan dilakukan serempak pada 7 April 2018 di berbagai kota lainnya, yakni Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, Makassar, Palu, Ternate dan Papua.

Baca juga artikel terkait KASUS FREEPORT atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Addi M Idhom