tirto.id - Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, serta dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan, baik secara fisik, seksual, maupun psikologis. Kekerasan yang dimaksud mencakup ancaman, paksaan, dan pengambilalihan kebebasan secara sewenang-wenang.
Dampak dari kekerasan terhadap perempuan melibatkan kerusakan fisik, psikologis, dan sosial. Kerusakan fisik dapat berupa luka-luka, memar, patah tulang, bahkan kematian. Kerusakan psikologis meliputi trauma, depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya. Sementara itu, kerusakan sosial mencakup isolasi, stigmatisasi, dan diskriminasi.
Upaya menanggulangi kekerasan terhadap perempuan terdiri atas pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban. Upaya tersebut utamanya dilakukan dengan membuat kebijakan yang berpihak pada korban kekerasan terhadap perempuan.
Di Indonesia, terdapat sejumlah undang-undang kekerasan terhadap perempuan, termasuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Undang-undang pelecehan terhadap wanita juga diatur dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Permen PPPA Nomor 2 Tahun 2022 tentang Standar Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak.
Pasal dalam KUHP tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam KUHP terdapat sejumlah pasal yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan. Dilansir situs Komnas Perempuan, dalam revisi KUHP, yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah pada 6 Desember 2022, terdapat definisi perkosaan yang sudah sesuai dengan hukum internasional.
Di sisi lain, dalam pasal KUHP terdapat pula penghubung dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memungkinkan korban memperoleh hak-haknya secara lebih menyeluruh.
Namun, Komnas Perempuan masih menyayangkan pengesahan revisi RKUHP. Meski terdapat sejumlah kemajuan, revisi tersebut dinilai masih menyisakan sejumlah persoalan terkait hak asasi manusia, terutama hak perempuan.
Menurut Komnas Perempuan, revisi tersebut memiliki potensi overcriminalization yang dapat merugikan perempuan secara tidak proporsional, termasuk perempuan pembela HAM. Berikut sejumlah pasal dalam KUHP tentang kekerasan perempuan.
1. Pasal 172 KUHP tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
Pornografi merujuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerakan tubuh, atau pesan suara lainnya, yang disampaikan melalui berbagai jenis media komunikasi atau pertunjukan di tempat umum.Materi pornografi ini mencakup unsur-unsur kecabulan atau eksploitasi seksual yang secara nyata melanggar norma kesopanan dalam masyarakat. Eksploitasi seksual ini telah diatur dengan definisi yang jelas dalam UU TPKS.
2. Pasal 454 KUHP tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam Pasal 454 ayat 2 tertulis bahwa setiap orang yang membawa pergi perempuan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap perempuan tersebut, baik di dalam maupun diluar perkawinan, dipidana penjara paling lama 9 tahun. Tindakan ini juga termasuk dalam tindak pemaksaan perkawinan yang diatur dalam UU TPKS.3. Pasal 463 KUHP tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban tindak perkosaan atau pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.4. Pasal 473 KUHP tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam pasal 473 ayat 1 sampai 11, dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan perkosaan akan dipidana penjara maksimal 12 tahun. Bila pemerkosaan dilakukan terhadap anak, pidana minimal 3 tahun dan maksimal 13 tahun.Dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa perbuatan yang termasuk dalam perkosaan meliputi persetubuhan dengan persetujuan yang salah (percaya bahwa itu suami/istri sah), persetubuhan dengan anak, persetubuhan dengan seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya dan persetubuhan dengan penyandang disabilitas mental/intelektual dengan penyalahgunaan wibawa atau penyesatan. Seluruh perbuatan dalam pasal 473 termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual.
Permen PPPA tentang Kekerasan terhadap Perempuan
Permen PPPA Nomor 2 Tahun 2022 tentang Standar Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak secara keseluruhan memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan.
Permen PPPA Nomor 2 Tahun 2022 punya kaitan dengan Permen PPPA Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Bencana. Aturan tersebut juga berkaitan dengan Permen PPPA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penyediaan Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan di Tempat Kerja, yang sebagian pasalnya diubah dalam Permen PPPA Nomor 1 Tahun 2023.
Berikut pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen PPPA), yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan:
1. Pasal 1 Ayat 1 Permen PPPA
Dalam Pasal 1 ayat 1 dijelaskan, perlindungan perempuan dan anak (selanjutnya disingkat PPA) adalah upaya penanganan untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan dan anak dari segala bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus, dan masalah lainnya.2. Pasal 1 Ayat 6 Permen PPPA
Pasal 1 ayat 6 menjelaskan bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) merupakan setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik di ranah privat maupun publik.3. Pasal 1 Ayat 8 Permen PPPA
Pasal 1 ayat 8 mengatur tentang perlindungan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).4. Pasal 1 Ayat 9 Permen PPPA
Masih pada pasal yang sama ayat 9, Permen PPPA menaungi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang mencakup tindak perekrutan, pengiriman, penipuan, penculikan, penyekapan dan sebagainya, baik dilakukan dalam negara maupun antar-negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.5. Pasal 3 Permen PPPA
Dalam Pasal 3 dijelaskan, fungsi layanan PPA meliputi pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban. Dalam pelayanannya, petugas akan mencatat dalam sistem pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan.Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin