tirto.id - Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI sejak tanggal 1 sampai 26 Januari 2023 menyebutkan sudah ada 1.553 kasus kekerasan, yang 70% di antaranya terjadi di dalam lingkungan rumah tangga. Tercatat, jumlah korban perempuan selama rentang waktu tersebut sudah mencapai 1.414 orang.
Dari tahun ke tahun, jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan juga terus mengalami penambahan terutama selama masa pandemi. Pada tahun 2020 tercatat ada 17.575 perempuan di Indonesia yang menjadi korban kekerasan, disusul 21.753 perempuan pada tahun 2021 dan 25.050 perempuan pada tahun 2022.
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan bukan hanya bisa ditemukan di negara kita melainkan juga di dunia. Pada peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 25 November lalu, PBB menyatakan bahwa selama pandemi melanda ada 45% perempuan di dunia yang melaporkan bahwa dirinya atau perempuan yang mereka kenal telah mengalami kekerasan.
Hingga kini, masih banyak yang meyakini bahwa KDRT lebih banyak dialami oleh perempuan yang berstatus ibu rumah tangga dibandingkan mereka yang bekerja dan memiliki penghasilan. Ketimpangan ekonomi yang mengakibatkan seorang perempuan menggantungkan sumber penghidupannya pada suami dianggap menjadi penyebab utama KDRT lebih rentan dialami oleh perempuan yang tidak mandiri dari segi penghasilan.
Namun Kristi Poerwandari — Kepala Program Kajian Wanita di Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan salah satu pendiri Yayasan Pulih; mengingatkan bahwa KDRT merupakan suatu hal yang amat kompleks akar penyebabnya sehingga bisa terjadi pada siapa saja, apa pun status yang disandangnya.
Karena itulah, meski hasil riset yang dirangkum oleh Bank Dunia melalui program pemberdayaan Women’s Economic Empowerment (WEE) menyatakan bahwa secara statistik KDRT lebih banyak dialami oleh perempuan yang berstatus ibu rumah tangga, tidak tertutup kemungkinan hal itu terjadi pula para istri yang bisa dikatakan sudah berdaya serta mandiri secara ekonomi. Contohnya, kasus Venna Melinda dan Lesti Kejora yang viral beberapa waktu lalu.
“Hal itu bisa terjadi, salah satunya karena secara sosial, budaya dan agama, konsep yang berlaku di masyarakat mengenai peran-peran yang dianggap ideal bagi laki-laki dan perempuan masih tetap sama. Di Indonesia, laki-laki adalah kepala rumah tangga dan perempuan diharapkan untuk menjadi seorang istri yang berbakti mengurus anak dan suami,” ujar Kristi.
Peran sebagai kepala rumah tangga membuat laki-laki yang menjadi suami merasa memiliki privilese lebih besar dalam pengambilan keputusan sehingga berhak untuk dihormati secara khusus.
Dalam situasi seperti ini, ada sebagian perempuan yang memilih untuk menahan diri saja namun ada pula yang bersikap lebih asertif dan mampu mengekspresikan dirinya secara lebih terbuka.
“Perempuan yang asertif bisa mengajukan argumentasi atau bahkan mendebat apabila ada keputusan atau tindakan suami yang misalnya dinilai tidak masuk akal. Nah, yang sering menjadi masalah, peran laki-laki dan perempuan yang sudah terpatri sedemikian rupa di masyarakat bisa membuat pihak suami merasa tersinggung ketika menerima sanggahan dari istrinya, sehingga ia memberikan reaksi secara fisik. Dari sinilah KDRT bisa terjadi,” jelas Kristi.
Situasinya bahkan bisa menjadi lebih kompleks apabila seorang istri menempati posisi sebagai pencari nafkah utama.
Ketika seorang laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga tidak bisa menjalankan peran sebagai pencari nafkah utama atau setidaknya ikut andil secara ekonomi, maka di dalam hatinya akan muncul perasaan insecure yang cukup kuat. Kecuali laki-laki tersebut memiliki kepribadian matang dan memang memilih untuk menjadi seorang bapak rumah tangga.
“Pada sebuah kondisi saat seorang suami tidak memberikan sumbangan dari segi ekonomi namun tetap menuntut istrinya untuk menjalankan peran sebagai istri secara tradisional dengan sepenuh hati — misalnya melayani makan, berhubungan seks setiap kali diminta, dan sebagainya; maka akan terjadi ketidakseimbangan di dalam hubungan rumah tangga yang berpotensi menjadi konflik,” jelas Kristi.
Lebih lanjut, dalam ilmu psikologi sosial dikenal istilah ambivalensi dan disonansi. Secara ringkas, ambivalensi adalah suatu pertentangan antara apa yang dipercayai seseorang dengan apa yang dilihatnya dalam kenyataan.
Dalam hal ini, pertentangan yang dimaksud adalah posisi suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, namun tidak menunjukkan kualitas yang diharapkan yaitu mampu mengayomi dan mencukupi kebutuhan keluarga. Sebagai akibat kondisi ambivalen ini, seseorang akan mengalami perasaan tidak nyaman secara psikologis, yang disebut sebagai disonansi.
Kondisi disonansi ini kemudian menjadikan pihak perempuan termotivasi untuk melakukan sesuatu guna menyelaraskan hal-hal yang bertentangan tadi. Bisa dengan cara mengingatkan suaminya untuk ikut mencari nafkah atau mengurangi hal-hal yang biasanya ia lakukan untuk suaminya.
Di luar kecenderungan seseorang untuk bersikap kasar dan abusive, pada seorang laki-laki yang merasa insecure ditambah lagi menganut kultur patriarki yang kental, hal seperti ini kemungkinan tidak bisa diterima sehingga memicu munculnya konflik yang bukan tak mungkin berujung pada kekerasan.
“Sayangnya jika mau dilihat secara obyektif, hingga saat ini kultur patriarki masih dilestarikan di Indonesia bukan hanya oleh laki-laki melainkan juga perempuan. Meski menghormati mereka yang menerapkannya, saya pribadi kurang setuju dengan konsep laki-laki sebagai kepala keluarga,"ujar Kristi
"Bagi saya, itu adalah sebuah romantisme normatif yang tidak realistis dan tidak ada dasar empirisnya. Rumah tangga itu bisa kok dibangun atas dasar kesetaraan, dimana suami istri bersikap saling menghormati dan memberi dukungan kepada satu sama lain."
Cegah Sejak Dini
Terkait KDRT yang dialami perempuan, selain penting untuk mengetahui ke mana bisa mencari bantuan, tak kalah penting pula untuk mengetahui bahwa ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah malapetaka ini sejak dini.
Sebelum memutuskan untuk menikah, kenali dulu calon pasangan secara lebih baik dari segi ekonomi, sosial, minat, termasuk dari segi fisik. Kenal secara fisik artinya, selain memiliki chemistry yang cocok, kita juga perlu tahu apakah calon pasangan punya potensi untuk bersikap kasar atau tidak.
Misalnya, apakah dia suka memaksa kita untuk melakukan hal-hal yang tidak disukai dan apakah dia suka bersikap kasar baik terhadap diri kita maupun orang lain.
“Proses pengenalan secara intensif ini, minimal selama 6 bulan dan dilakukan secara langsung, penting dilakukan untuk meyakinkan diri kita bahwa hubungan tersebut bisa langgeng dalam jangka panjang. Nah masalahnya, sekarang ini kan banyak orang yang tergesa-gesa menikah karena sedang dimabuk kepayang atau istilah zaman sekarang bucin."
"Kalau terburu-buru seperti itu, yang dilihat hanya hal-hal yang bersifat permukaan dan sangat temporer. Itu sama sekali bukan realitas yang nantinya akan dihadapi dalam sebuah perkawinan,” jelas Kristi.
Karena konstruksi masyarakat, perempuan yang sudah mencapai usia tertentu juga dituntut untuk memiliki hubungan dengan lawan jenis, bila tidak ingin mendapat stigma negatif seperti ‘perawan tua’, ‘tidak laku’, dan sebagainya.
Sebagai akibatnya, sebagian perempuan memiliki harapan lebih besar untuk menjalin hubungan yang langgeng sehingga mengabaikan hal-hal negatif tentang pasangannya atau berusaha untuk mengubah karakter pasangan menjadi sesuai harapan. Padahal, kita tahu betul, mengubah karakter seseorang ketika sudah menginjak usia dewasa, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi