tirto.id - Sejumlah mahasiswa menggelar aksi protes di berbagai wilayah mulai dari Jakarta, Jogja, Bandung hingga Malang. Salah satu tuntutan mereka yaitu menolak pengesahan RKUHP.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah meminta DPR RI agar menunda pengesahan RUU KUHP dan tiga RUU lainnya. Dalam keterangan persnya, ia mengatakan, penundaan itu dilakukan setelah melihat berbagai kritik atas sejumlah pasal.
“Dan setelah mencermati masukan-masukan dari berbagai kalangan yang berkeberatan dengan sejumlah substansi-substansi RUU KUHP, saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut,” ujar Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9/2019) siang.
Presiden Jokowi juga meminta agar RKUHP diserahkan kepada DPR periode 2019-2024. Namun Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo memastikan lembaganya akan kembali membahas RKUHP di sisa waktu kerja DPR periode 2014-2019.
Ia mengatakan, DPR melalui Panitia Kerja (Panja) RKUHP akan fokus membahas 14 isu yang menurut Jokowi masih perlu pendalaman lebih lanjut. Sebanyak 14 isu itu di antaranya soal pasal perzinaan, pasal penghinaan presiden, serta pasal santet.
Berikut pasal-pasal dalam RKUHP yang dianggap bermasalah:
Korupsi (Pasal 604)
Dalam pasal 604, korupsi di RKUHP justru dilengkapi hukuman yang lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.
Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar.
Alat Kontrasepsi (Pasal 414 dan 416)
Pasal tersebut memuat terkait pemidanaan kegiatan promosi atau mempertunjukkan tanpa diminta alat pencegahan kehamilan/kontrasepsi (PDF).
Aturan ini tertera dalam Pasal 414 RKUHP yang berbunyi: “setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (maksimal Rp1 juta).”
Aturan ini dianggap kontradiktif dengan upaya penanggulangan HIV. Sedangkan Pasal 416 RKUHP menyebutkan, pidana tersebut dikecualikan bagi: petugas yang berwenang, mereka yang melakukannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan, dan relawan yang kompeten yang ditugaskan pejabat yang berwenang.
Perzinaan (pasal 418)
Dalam draf RKUHP, Pasal tersebut mengatur tentang perzinaan yang mana ayat 1 menyebutkan laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Kategori 3.
Sementara ayat 2 disebutkan, dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kehamilan dan laki-laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan di pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori 4.
Penghinaan Presiden (Pasal 218-220)
Pasal ini juga dianggap bermasalah. Dalam draf RKUHP tercantum Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 218 mengatakan setiap orang yang dianggap "menyerang kehormatan" presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp150 juta.
Sementara Pasal 219 menyebut setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik, terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.
Sedangkan Pasal 220 menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari presiden atau wakil presiden. Hukuman lebih berat diberikan bagi yang menyiarkan hinaan tersebut. Pada Pasal 219, disebutkan ancamannya adalah 4,5 tahun penjara.
Santet (Pasal 252)
Seseorang dapat diancaman pidana terkait santet. Meaki dinilai sulit dibuktikan, penjelasan soal pasal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).
Aborsi (pasal 251, 470-472)
Pasal 251, 470-472 RKUPH tentang tindakan pidana aborsi dengan tanpa pengecualian, juga dinilai dapat mengkriminalisasi perempuan korban pemerkosaan. Selain itu, petugas medis yang membantu aborsi juga terancam dipidana.
Gelandangan (Pasal 432)
Pasal 432 RKUHP tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I atau denda Rp1 juta.
Hal ini dianggap berseberangan dengan UUD 1945 yang menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Unggas (pasal 278-279)
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 548-549 KUHP dan dimasukkan dalam draft RKUHP dalam Pasal 278-279. Bedanya hewan ternak pada KUHP diubah menjadi unggas pada RKUHP.
"Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II," bunyi Pasal 278 KUHP.
Editor: Agung DH